Share

5. Tawanan Kabur

Jalanan lenggang membuat Dinara berhasil tiba lebih cepat. Dia membelokkan mobil masuk kompleks perumahan dan akhirnya sampai tepat di kediamannya. 

Ketika hendak menutup kembali gerbangnya, Dinara melirik rumah sebelah yang nampak ramai dengan beberapa mobil- mobil asing. Pikirnya, mungkin keluarga Sandi kedatangan beberapa tamu berhubung mereka baru saja pindah. 

Dinara tentu tak ambil pusing. Dia langsung masuk kedalam rumah dan menemukan situasi sepi seperti biasanya. Dia mengambil segelas air lebih dulu sebelum memutuskan naik kearah kamar tidurnya. 

Sebelum masuk, lebih dulu Dinara memeriksa kamar Dikta, adiknya. Didapatinya remaja itu sedang tekun di meja belajarnya. 

"Mama sama papa udah berangkat, dek?" tanyanya. 

Memang semalam kedua orang tuanya itu sudah memberi info bahwa mereka akan pergi keluar kota selama beberapa hari untuk mengurus pekerjaan. 

Dikta membalik tubuhnya dan mengangguk pada Dinara. Remaja laki- laki itu melepas kaca mata belajar miliknya. 

Dinara tersenyum lembut, "udah makan? atau mau beli cemilan malam lagi?" tanya Dinara. 

Dia cukup peka saat melihat sang adik yang terlihat frustasi dengan beberapa lembar kertas dan buku dihadapannya. Belum lagi mata memerah Dikta membuat Dinara jadi sedikit tidak tega.

"Aku mau langsung tidur aja deh, kak," ucap Dikta sembari berjalan lemas menuju ranjangnya. Dinara kembali menutup pintu perlahan dan membiarkan sang adik beristirahat. 

Menjadi siswa tingkat akhir memang selalu memberikan sensasi tersendiri. Dinara jadi ingat bagaimana dia dulu berjuang sampai dilabeli  siswa 'ambis' oleh teman- temannya. Dinara dan Dikta sepertinya memang mewarisi ambisi ayahnya, mereka cukup perfeksionis kalau menyangkut tentang belajar dan pekerjaan. Tidak heran dua anak itu selalu jadi yang pertama di kelas mereka masing- masing.

Meski begitu, mama dan papanya juga sebenarnya tak pernah mendorong Dinara ataupun Dikta untuk keras pada diri mereka masing- masing. Hanya saja sejak kecil dua anak itu memang punya tekad kuat untuk berhasil dalam hal akademik.

Setelah selesai bersih-bersih dan segar kembali, Dinara turun ke bawah untuk menyiapkan makan malamnya sendiri. Gadis itu memang sudah terbiasa memasak dan melakukan tugas rumahan sendiri. Keluarganya tidak mempekerjakan pembantu rumah tangga untuk setiap harinya.

Hanya ada satu orang yang akan datang untuk membersihkan rumah seminggu sekali. Untuk sehari- hari mereka masih bisa melakukannya sendiri. Keluarga Dinara juga hanya punya seorang supir untuk mengantar dan menjemput Dinara dan Dikta. Namun setelah Dinara bisa menyetir sendiri, supir tersebut tentu hanya bertugas mengantar jemput Dikta dan papanya sesekali. 

Dinara dan Dikta tidak pernah merasa keberatan dengan itu karena  sejak kecil memang telah terbiasa hidup mandiri. Bahkan meskipun kedua orang tuanya sering  bepergian seperti ini, mereka sudah tak perlu khawatir karena Dinara telah dipercaya dan cukup mandiri serta mampu  menjaga adiknya. 

Saat membuka kulkas, Dinara menemukan semuanya telah tertata rapi dan lengkap. Dia beruntung karena orang tuanya selalu menyediakan hampir semuanya di rumah. Secara fasilitas, Dinara tidak merasa kekurangan apapun.

Karena perutnya terus meronta minta diisi, Dinara memutuskan untuk membuat nasi goreng saja. Pilihan paling tepat yang bisa Dinara buat dengan cepat dan pasti enak. Entah kenapa Dinara paling percaya diri dengan nasi goreng buatannya sampai Dikta pernah bergurau bahwa Dinara bisa mencoba menjadi pedagang nasi goreng saja sepulang kerja. 

Ketika Dinara baru saja mematikan kompor, telinganya menangkap suara denting bel. Melihat jam yang tergantung di dinding membuat Dinara mengernyit heran, siapa yang bertamu malam- malam begini?

Dinara memantau via monitor, mendapati lelaki dengan pakaian hitam dan rambut sedikit acak-acakan menunggu di depan gerbang rumahnya. Dia sedikit ngeri sebenarnya. Sejauh yang dia tahu, tidak mudah bagi orang luar masuk kompleks rumahnya karena penjagaan keamanan yang cukup  ketat. Tapi siapa orang aneh itu?

Setelah memfokuskan matanya berkali- kali, Dinara seolah baru sadar bahwa presensi yang berada diluar adalah tetangganya sendiri, Sandi. 

Meskipun dia masih kesal, Dinara tak sampai hari membiarkan tetangganya itu berdiri lama di depan gerbang. Apalagi lelaki itu terus mondar-mandir tak karuan. Mau tak mau Dinara berjalan keluar dan menemui Sandi dengan tanda tanya tercetak jelas di dahinya. 

"Ngapain?" tanyanya was-was sembari membuka gerbang sedikit.

Sandi tersenyum kecil, "bantuin gue kali ini aja, Nar, please!" mohonnya. 

Dinara mengernyit heran, lelaki itu terlihat gelisah sembari sesekali mencuri pandang kearah rumahnya sendiri. 

"Bantuin apa?" tanya Dinara.

Sandi terlihat sedikit panik lalu mendorong pelan Dinara untuk masuk kedalam rumah. Setelah itu dia menarik Dinara untuk bersembunyi disamping pagar.

Dinara hendak protes karena aksi tak sopan ini, namun pada akhirnya dia hanya diam karena lelaki itu seolah memberinya kode untuk diam dulu. Telinganya menangkap derap beberapa sepatu disertai keluhan.

"Biarin gue sembunyi sebentar disini, please! Temen- temen gue lagi pada di rumah, tapi ada penyelinap yang ikut masuk!" ujar Sandi dengan suara pelan. 

Suara sepatu menjauh dan kini Dinara memberi pandangan menghakimi kearah Sandi.

"Gimana ceritanya lo justru gak ada di rumah padahal lo sendiri yang punya acara?" tanya Dinara sewot.

Sandi menggaruk kepalanya yang tidak begitu gatal, "yah niatnya sebenarnya cuma semacam makan- makan sama beberapa temen aja, tapi yang dateng ternyata rame banget. Mana ketua fansclub gue di kampus juga ikutan dateng, bikin runyam aja," keluh Sandi.

Dinara hendak tertawa namun dia mengurungkannya karena melihat Sandi yang benar- benar terlihat ketakutan. "Jadi cewek- cewek tadi itu semacam fansclub lo di kampus? Astaga, masih aja ya ada begituan di lingkungan lo?!" ujar Dinara.

Gadis itu tidak sepenuhnya heran mengingat ini juga sempat terjadi sebelumnya. Sandi memang golongan siswa populer incaran setiap gadis sejak dulu. Waktu SMA juga ada kumpulan gadis- gadis yang meneriakkan nama Sandi setiap lelaki itu lewat di koridor. Fansclub Sandi juga terkenal ganas karena kerap meneror gadis- gadis yang dirasa punya kedekatan khusus dengan Sandi. 

Meskipun Dinara termasuk salah satu gadis yang mengagumi Sandi dulu, setidaknya dia bangga tidak pernah ikut- ikutan masuk fansclub gila begitu. 

"Please bantuin gue malem ini, Nar! Gue bakal balas budi dengan cara apapun!" Sandi memohon padanya dengan dua tangan ditangkupkan di depan.

"Cara apa aja?" Dinara menggaris bawahi kalimat Sandi tadi dengan senyuman miring yang tercetak di wajahnya. 

Lelaki itu mengangguk, nampaknya dia benar- benar tak punya pilihan lain sekarang. Namun senyuman penuh arti di wajah Dinara kini justru membuat Sandi mempertanyakan lagi keputusannya. 

"Tapi please jangan aneh- aneh ya, Nar!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status