Share

Bertanya Pada Kavin

Chapter 3

Setelah menurunkan semua belanjaan ke dalam dapur, bahkan tanpa merapikannya terlebih dahulu. Yuya bergegas menuju lantai dua dan langsung saja menerobos kamar yang memiliki dua ranjang di tiap sisinya.

"Kavin bangun! Gue perlu bicara sama lo!" tukas Yuya seraya mengguncang-guncang tubuh sang Sahabat. 

Kavin yang merasa terusik, membuka kelopak matanya dengan malas.

"Apaan sih, Yu? Ini hari libur," keluh Kavin. "Lo bersyukur hari ini cuma mendung doang. Kalau gue bangun. Jakarta hujan lebat lagi. Lo mau tanggung jawab, heuh?"

"Buruan bangun! Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ujar Yuya yang masih mencoba menarik Kavin dari tempat tidur. Tubuh pria itu seperti batu. Tidak mau bergerak sama sekali.

"Bulan jatuh dari langit?" ngawur Kavin "Bintang jatuh udah biasa. Jadi bulan jatuh gitu?"

"Dasar aneh. Bukan itu! Lo harus bangun dan dengerin gue ngomong dulu."

Dipaksanya Kavin bangun. Entah dengan cara apa. Ditariknya selimut yang membungkus tubuh sang Sahabat. Lalu Yuya berpindah ke arah telapak kaki Kavin.

Dengan senyum jahil. Ia pun menggelitik telapak kaki Kavin. Alhasil, pria penyuka cuaca itu merasa geli tak karuan. Kavin yang sepenuhnya sudah bangun menatap jengah ke arah Yuya.

"Jadi, ada apa?"

"Lo ingat cewek yang kemarin gak?" tanya Yuya.

"Tuan Yuya yang terhormat. Kemarin banyak cewek yang gue temui. Lah iya? Gue bisa ingat semuanya. Lo ini memang ya."

"Ck, bukan itu," desis Yuya, "cewek yang kemarin di cafe. Waktu lo berceloteh tentang hujan dan BMKG itu."

Kavin pun ber-oh panjang.

"Lalu? Dia datang lagi? Tuh cewek gak bisa baca ya? Udah tahu hari ini tutup masih datang lagi. Eh, seharusnya gak ada sihir yang terbuka hari ini di cafe. Kenapa dia bisa datang lagi?"

Kavin benar. Halte Cafe memiliki sebuah keistimewaan. Tempat itu memiliki kekuatan magis yang cukup kuat, untuk menuntun orang-orang yang dalam masalah agar singgah di cafe.

Simpelnya tidak akan ditemukan jika dicari. Tetapi bakal ketemu, kalau tidak dicari. Semboyan ini biasanya berlaku pada kaum non magus. Yaitu isitilah untuk menyebut mereka yang tidak memiliki sihir.

"Bukan itu! Dengerin gue dulu. Cewek itu bisa lihat bunga Nephel. Secara hukum alam. Non magus tidak bisa melihat apapun yang berkaitan dengan sihir. Bukankah ini aneh?"

Kavin nampak terhenyak sejenak. Lalu menggeleng tidak percaya.

"Lo serius? Itu tidak mungkin."

"Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri. Bunga itu berada di pinggir jalan. Dan cewek itu ada di sana. Dia bahkan memotret bunga tersebut." Yuya bersikeras meyakinkan Kavin.

Kavin pun memperbaiki cara duduknya dengan cara duduk bersila.

"Lo yakin dia non magus?" selidik Kavin

"1000% gue yakin. Hanya non magus yang dapat memancarkan aura. Dan cewek itu memilikinya kemarin." Yuya yakin 100% tentang itu.

Keduanya sama-sama terdiam. Pikiran mereka mencoba fokus untuk mencari alasan mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi. Tetapi percuma saja, sekuat apapun mereka mencoba tidak ada satupun jawaban yang bisa mereka temukan.

"Aneh juga sih." Kavin membuka suara. "Tetapi lo gak perlu memikirkannya. Itu bukan urusan kita berdua."

Yuya hanya terdiam. Kavin sudah kembali meringkuk dalam selimut. Yuya tidak lagi meracau, Kavin ada benarnya. Pria itu pun akhirnya, turun kembali ke bawah. Ia membuat dirinya sibuk mengurus dan mengatur semua bahan sihir hasil belanjaan ke tempatnya masing-masing.

***

Malam semakin pekat. Guyuran hujan semakin turun dengan deras. Petir menyambar-nyambar ke segala arah. Dengan kedua tangan memegang toples kaca. Yuya mengangkat benda itu tinggi-tinggi ke udara. Lalu bunyi menggeledar terdengar dengan dentuman yang sangat besar dan keras.

Sebuah aliran petir mengalir masuk dalam toples yang dipegang Yuya. Lalu dengan gesit pria itu menutup toples tersebut. Bau gosong terendus dari tubuhnya.

"Gimana? Udah cukup?" tanya Kavin yang kini tubuhnya dibalut mantel hujan berwarna hitam polos. "Musim hujan akan mulai reda dan lo udah gak bisa mencari petir lagi."

Angin berhembus kencang. Embusannya seolah mampu menerbangkan dua penyihir tersebut dari landasan pacu helikopter. Ya, demi mendapatkan sebotol sambaran halilintar. Keduanya terpaksa berdiri di salah satu gedung pencakar langit di kota Jakarta.

"Cukup. Kita perlu menunggu lagi sampai subuh untuk menangkap cahaya fajar pertama." 

"Dih ogah! Gue gak mau! Di sini dingin woy!" seru Kavin yang memilih berjalan pergi meninggalkan Yuya.

Ditinggal pergi oleh sang Sahabat. Yuya memilih untuk berteduh di dalam apartemen yang telah dibeli sebelumnya. Ia sengaja, memilih kamar paling tertinggi untuk mempermudahnya naik di atas atap. Tentu saja, hal tersebut terjadi karena ia memiliki hak istimewa.

Menjelang fajar, Yuya sudah kembali naik di atas atap. Hujan sudah cukup reda. Namun, masih mengandung gerimis kecil. Dengan menggunakan toples lain yang telah kosong, Yuya kembali menangkap cahaya fajar pertama.

Cahaya itu masuk ke dalam toples dengan bentuk benang-benang halus yang berpendar keemasan. Setelah berhasil mengumpulkan apa yang ia cari. Lepas jam 6 pagi, mereka memilih untuk segera pulang.

Suasana pagi di jalan raya terasa lenggang. Tidak terlalu banyak kendaraan yang melintas. Hujan juga sudah reda, hanya saja meninggalkan jejak awan kelabu yang mengantung di langit.

Kembali tiba di lampu merah. Benak Yuya sekonyong-konyong teringat tentang Elea. Bunga Naphel ada di sana. Masih bergoyang-goyang ringan oleh embusan angin minggu pagi.

"Gue lihat cewek itu di sana." Telunjuk Yuya mengarah ke luar. Kavin pun menoleh.

"Tanaman liar yang beracun. Aneh juga kalau dia bisa lihat. Apa mungkin dia setengah magus?"

Kepala Yuya yang kini berpaling menghadap Kavin. Lalu sejenak ia menggeleng pelan.

"Gue gak yakin," ungkap Yuya pesimis

"Ya, siapa tahu aja, 'kan?" balas Kavin. "Sudahlah, itu bukan hal besar yang harus kita pikirkan. Buka cafemu seperti biasa dan bekerjalah. Gue mau cepat-cepat pulang."

Yuya pun mengiyakan permintaan Kavin. Lampu merah berganti warna hijau. Yuya kembali menginjak pedal gas.

Tetapi sesuatu terasa deja vu. Ia mendadak menginjak pedal rem. Kavin yang berada di sampingnya tersentak saking terkejutnya ia.

"Yuya! Lo mau bunuh gue? Atau lo mau bunuh diri couple'lan bareng gue?" Emosi Kavin naik ke ubun-ubun.

Untung bagi mereka, lalu lintas masih lenggang. Jika saja, jalanan ramai seperti kemarin. Tentu, akan ada kecelakaan yang dapat menelan banyak korban.

"Kavin! Lihat di sana!" seru Yuya. Kavin pun mengikuti arah jari telunjuk Yuya.

Di sana, di sebrang trotoar pejalan kaki. Elea kembali berada di sana. Kali ini bukan sedang berdiri memotret. Melainkan, ia sibuk mencabut bunga-bunga Naphel seorang diri. Kemudian mengisinya ke dalam kantung plastik berwarna hitam dengan tangan kosong.

"Yuya!" terik Kavin. "Buruan ke sana! Gadis itu bisa mati karena keracunannn!"

___//___//___///____

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status