Share

Bunga Naphel

Chapter 4

Setelah memutar balik mobil dalam keadaan cepat. Yuya dan Kavin bergegas menghampiri Elea. Wanita itu beringsut saat melihat dua orang pria mendekat padanya dengan wajah panik luar biasa.

Mengenali salah satu dari mereka. Sontak membuat tubuh Elea untuk merespon dengan gerakan melarikan diri.

"Woy tunggu!" teriak Kavin. "Yuya! Ayo kejarrr!" Ia berlagak seperti seorang superhero dengan tangan mengepal ke udara.

Yuya melirik sekilas ke arah Kavin. Tatapan matanya seolah berkata 'Oh apa yang sedang di lakukan pria ini?' Tetapi dia tetap memilih mengejar Elea. Wanita itu melarikan diri dengan cepat. Kavin dan Yuya membututi dari belakang.

"Sial! Kenapa gue bisa ketemu mereka lagi sih?!" batin Elea. Tungkainya terus bergerak cepat. Ia berlari sepanjang trotoar. Lalu berbelok pada sebuah jalan.

Kavin dan Yuya semakin mempercepat gerak mereka. Hingga pada saatnya, ujung jari-jemari Yuya menggapai ujung kerah hoodie merah marrun Elea dari belakang dan memaksanya untuk berhenti.

"Stop!" tukas Yuya. Mau tidak mau, Elea menghentikan tungkainya untuk berlari.

"Lepaskan gue!" Elea memberontak. Dengan cepat, Kavin merebut kantong plastik hitam dari tangan Elea. Lalu terdengar bunyi mendesis. Yang sekonyong-konyong membakar plastik tersebut.

"Hey!!!" marah Elea. "Kenapa bungannya dibakar? Itu gue kumpulin capek-capek tahu!" Matanya menatap nyalang pada Kavin dan Yuya secara bergantian.

"Sis," ucap Kavin. "Ini bunga beracun. Sekali menyentuh dengan tangan kosong. Lo bisa terpapar racunnya. Aneh kalau lo bilang, dari tadi lo ngumpulin nih bunga."

Kavin pun sontak meraih telapak tangan Elea. Memperhatikannya sejenak. Biasanya ada jejak samar berwarna keunguan. Tetapi, jejak tersebut tidak nampak di tangan Elea.

"Lo pakai krim khusus?" cecar Yuya yang ikut menarik telapak tangan Elea dari tangan Kavin. "Tangan lo terlihat wajar."

"Lepaskan!" Elea menghepas tangan Yuya. "Kalian berdua minggir! Gue mau lewat!"

Kavin tertawa congkak. "Tidak semudah itu Ferguso. Beri penjelasan pada kita kenapa lo ngumpulin bunga aneh itu. Penyihir bodoh mana yang mengajarimu? Auh!"

Sekonyong-konyong, Yuya menginjak telapak kaki Kavin dengan kuat dan matanya melotot tajam pada sang Sahabat.

"Penyihir? Siapa penyihir?" tanya Elea bingung

"Jangan mendengarkannya," sahut Yuya. "Anda tidak seharusnya memetik bunga-bunga itu."

Elea menatap keduanya dengan tatapan kebingungan. Lalu tersenyum sinis ke arah Yuya.

"Oh, hebat. Cara bicaramu tampak sopan, Bung. Ada apa ini?" Ia menatap remeh ke arah Yuya. "Rasanya lo kemarin gak kek gini bicaranya."

Elea menuntut penjelasan. Yuya masih menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Sedangkan Kavin masih menelisik jejak-jejak bunga Naphel. Yang mungkin saja membekas di bagian tubuh lain Elea. Hening, sesaat merayapi mereka bertiga.

Yuya melirik ke arah Kavin. Sahabatnya benar, pada dasarnya mereka tidak memiliki urusan dengan apa yang dikerjakan oleh Elea. Tetapi tetap saja, membiarkan seseorang dengan tanaman beracun itu tidak mungkin. Rasanya, seperti membiarkan seseorang begitu saja bertemu malaikat maut. Bersikap sok baik atau mengabaikan dengan cuek? 

"Jangan mengumpulkan benda itu. Lo bisa terbunuh." Yuya buka suara.

"Kenapa? Itu kan hanya bunga liar aneh. Tidak ada yang memperhatikannya pula. Kenapa kalian bersikap seolah bunga itu dilindungi?" tanya Elea

"Sebaiknya kita pergi."

Tahu-tahu saja, Yuya memilih angkat kaki daripada menjelaskan atau bertanya apa yang terjadi.

"Yu! Tunggu! Kita perlu---"

"Tidak perlu!" potong Yuya. "Ayo pergi."

Kavin menatap sejenak ke arah Elea. Ia mendengkus kesal. Lalu memilih mengejar Yuya. Elea sendiri terpaku menatap dua punggung yang terus menjauh. Ia pun menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. 

*** 

Seorang wanita dengan gaun berwarna navy, tersenyum penuh makna. Saat mengecap sebuah anggur dari gelas wine.

Gincunya yang semerah darah merekah, begitu ia tersenyum lembut. Dimainkan gelas tersebut dengan jari-jari lentiknya.

"Tidak terlalu buruk. Yuya masih juara soal rasa," ujarnya lirih.

Lalu seorang pria bertubuh tegak dengan balutan jas berwarna hitam datang mendekat. Ia menyerahkan sebuah map yang senada dengan warna fashionnya.

"Nona Nat, ini rekomendasi yang Anda inginkan." Pria tersebut menunduk saat menjelaskannya. "Sejauh ini, itulah yang bisa saya temukan. Dan juga, Nona Elea sedang menunggu Anda di lobi."

Nat atau lebih dikenal dengan nama Natasya Akwirina membalas ajudan setianya dengan sebuah suara deheman kecil. Pria itu segera mengerti maksud sang Majikan. Ia mengganguk singkat, kemudian bergegas pergi meninggalkan Nat sendirian.

Tak lama berselang, Elea tiba dengan wajah sedikit kucel. Wanita itu menatap sedih melihat mata kanan Nat yang ditutup oleh penutup mata hitam ala perompak.

Hati Elea selalu saja terasa perih, begitu mengingat bagaimana Nat bisa mendapatkan hal tersebut.

Natasya tersenyum lembut, saat Elea menghampirinya. 

"Bagaimana? Bunga yang kulukis sudah ditemukan?"

Elea menggeleng pelan.

"Maafkan Elea, Kak. Bunga itu dibakar dua pria aneh."

Mata Nat memincing tajam.

"Siapa?"

"Ada seorang owner cafe dan temannya. Mereka terus mengatakan bahwa bunga rambutan itu beracun. Elea gak ngerti maksud mereka apa. Tapi, aneh aja. Elea dua kali bisa bertemu mereka di tempat yang sama."

Binar mata Nat sedikit berubah. Tetapi, ia mampu menjaga perubahan wajahnya agar tetap terlihat elegan dan memukau. 

"Duduklah dan ceritakan padaku apa yang terjadi," pinta Nat. Elea mengganguk kecil, lalu menuruti.

Elea menghela napas berat. Sekonyong-konyong ia pun mulai bercerita. Nat menyimak dengan seksama. Menjelang akhir, ia seakan menemukan sesuatu dari kejadian yang Elea alami.

Bagaimana tidak, Elea menjelaskan dari awal ia bisa mampir ke Halte Cafe hingga kejadian tadi pagi. Nat seolah puas mendapatkan informasi tersebut.

Rencanaku berhasil, setidaknya pengorbananku pada mata kananku ke Elea tidak sia-sia. Nat membatin penuh kemenangan. Pria yang sejak lama ia cari kini hanya tersisa beberapa langkah.

"Tidak apa, Elea. Orang-orang itu mungkin benar."

"Tapi kata Kak Nat, bunganya tidak beracun. Racunnya hanya berlaku pada hewan pengerat saja. Jika pada manusia, tidak akan ada efek sama sekali."

Nat terkekeh pelan. Lalu menyesap anggur dalam gelas wine-nya kembali. Mata ambernya menatap Elea lurus dan tajam.

"Pria-pria itu mencoba menggodamu adik sayang." Mata Elea terbelalak lebar. Kemudian Nat pun melanjutkan. "Untuk apa, seseorang repot-repot mengejar orang lain demi hal sepele seperti itu."

Elea terdiam. Benaknya seakan tidak yakin dengan apa yang diucapkan sang Kakak. Nat benar, tetapi ... Elea seperti merasa ada yang janggal.

Benar, ia menceritakan pada Nat, tentang Kavin yang merampas dan membuang bunga tersebut. Tetapi Elea merahasiakan, bagaimana ia melihat Kavin memancarkan petir dari telapak tangannya, kemudian membakar kantung hitam tersebut.

Elea menggeleng, ia tidak mempercayai apa yang ia lihat. Sihir? Di dunia ini tidak ada hal seperti itu. Bahkan Elea takut membicarakan masalah tersebut pada Nat. Sang Kakak bisa saja menggangapnya gila. Dan jalan satu-satunya bagi Elea adalah memastikan kebenaran itu sendiri.

___///____///_____///___

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status