Share

Tamu Tidak di Undang

Chapter 5

Elea memilih kembali ke apartemen. Tempat di mana ia dibesarkan oleh Nat, sejak ia berusia 6 tahun. Elea yatim piatu dan Nat telah mengadopsinya saat itu. 

Tetapi, wanita itu tidak ingin dipanggil ibu oleh Elea. Dia lebih suka dipanggil kakak, sebagai saudara perempuan. Awalnya Elea keberatan soal itu. Namun, ia memilih mengikuti kemauan Nat.

Seiring berjalannya waktu, Elea kecil mulai terbiasa dengan hal tersebut. Hari-harinya bersama Nat selalu penuh kebahagiaan. Nat selalu memanjakan Elea hingga wanita itu tidak pernah merasa kekurangan.

Hingga suatu hari, Elea tidak ingat kapan peristiwa itu terjadi. Ia tahu-tahu terbangun di ranjang rumah sakit dengan mata kanan yang telah diperban. Lalu Nat yang juga terbaring tidak sadarkan diri di sampingnya.

Elea menghela napas berat. Ingatannya tentang kejadian tersebut selalu menimbulkan sesak di dalam kalbu. Ia memantapkan diri, bahwa masa lalu yang pahit tidak perlu di kenang.

Di hari minggu, baskara bersinar dengan cerah. Elea sengaja bangun lebih awal untuk menyusuri area kota tua. Dia perlu kembali ke Halte Cafe, tempat di mana Yuya berada.

Lamun, sudah tiga kali ia berjalan memutar. Akan tetapi, Elea sama sekali tidak bisa menemukan cafe tersebut. Padahal, ia dengan jelas mengingat bahwa ia menemukan bangunan tersebut di sekitar area kota tua.

Karena tungkainya sudah lelah untuk berjalan. Ia pun memutuskan untuk duduk di salah satu bangku panjang yang terdapat tidak jauh dari kota tua.

Sengatan baskara ia abaikan. Toh, sudah lama ia tidak merasakan cahaya matahari. Elea terdiam dengan beribu-ribu pertanyaan dalam benaknya. Di mana lagi, ia bisa mencari Halte Cafe.

Ia agak penasaran tentang beberapa hal. Nat sedang keluar kota karena ada urusan bisnis yang ia jalani. Jangan tanya apa bisnis Nat pada Elea.

Bahkan, sejak menginjak usia 24 tahun. Elea sama sekali tidak tahu, bisnis apa yang sang Kakak jalankan. Toh, Elea pernah bertanya dan Nat hanya menjawab singkat 'hanya sesuatu yang disukai perempuan'. Jawaban yang ambigu dan sekaligus menekankan bahwa Elea tidak perlu tahu apa yang ia kerjakan.

Elea yang sedang sibuk memandang lalu lalang orang yang berjalan di hadapannya. Terhenyak begitu melihat Kavin sedang berlari di hadapannya.

"Oyyy!" teriak Elea. Walakin, yang dipanggil tidak merasa. Tentu saja, Elea tidak tahu siapa nama Kavin. Tidak ada seorang pun yang akan merasa dipanggil.

Dengan cepat, Elea pun bergegas mengikuti Kavin dari belakang. Pria itu nampak berlari-lari kecil. Elea berusaha sekuat mungkin menjaga jarak mereka berdua. Tidak terlalu jauh, dan juga tidak terlalu dekat.

Kavin terus berlari, bahkan tanpa menyadari Elea yang mengikuti dari belakang. Hingga pada akhirnya, Kavin menghentikan tungkainya di depan sebuah bangunan bergaya vintage dan sontak saja. Elea seakan menabrak dinding transparan yang menghadangnya di depan.

"Auwww!" erang Elea, begitu ia terjatuh. Kavin yang samar-samar mendengar suara tersebut pun menoleh.

Manik matanya pun sekonyong-konyong terbelalak lebar melihat Elea yang ingin melewati batas sihir yang dibuat Halte Cafe.

"Manusia ini," desis Kavin. "Apa yang dia lakukan? Jangan-jangan dia penguntit gue? Wah, bahaya ini."

Kavin segera menoleh ke arah Halte Cafe. Ia ingin memastikan bahwa Yuya tidak melihat kedatangan Elea. Tentu saja, wanita itu tidak di undang. Makanya, ia tidak bisa menembus dinding sihir yang dibuat sebelumnya.

"Kenapa?" ujar Elea pada dirinya sendiri. Matanya menatap sekitar. 

Tidak ada apapun di sana. Walakin, ia merasa seperti ada dinding tak kasat mata di depan. Lamun, bagaimana bisa? Elea tidak tahu alasannya.

Kavin yang melihat raut kebingungan dari wajah Elea. Sekonyong-konyong mendapatkan sebuah gagasan untuk mengerjai Elea. Mungkin, bagi Elea yang terjadi padanya akibat oleh hantu dan karena hal tersebut. Kavin ingin memanfaatkannya.

"Hihihihi." Kavin membuat suara ketawa lirih yang dibuat-buat. Mendadak bulu kuduk Elea meremang.

"Tidak mungkin! Ini masih jam 9 pagi. Gue pasti salah dengar." 

Elea mencoba bangkit. Dia ingat, Kavin tadi berjalan lurus di depannya. Lamun, saat ini justru ia tidak bisa melihat apapun. Apa mungkin ia salah lihat.

"Hihihihi," seru Kavin dengan suara lirih kembali. Ia memainkan jari-jarinya untuk menimbulkan kabut asap tipis yang mulai merayap naik ke tubuh Elea.

"Akhhh! Apa-apaan ini?!" Elea menjerit ketakutan. Dan Kavin benar-benar tidak bisa menahan tawanya. Ia pun tertawa terbahak-bahak melihat wajah Elea.

"Kavin, apa yang kau lakukan?" 

Mendadak, tawa keras Kavin lenyap. Dirinya membeku dan wajahnya yang tadi nampak bahagia. Kini, berubah menjadi pucat pasi setelah tertangkap basah oleh suara yang ia dengar.

"Eum, Yuya." Kavin menoleh dengan cengegesan. "Ngapain di sini?"

"Buang sampah." Lalu netranya bergerak ke arah Elea yang masih sibuk mengusir kabut dari tubuhnya. "Lo membawanya ke sini? Di hari minggu ini?"

"Etooo ... sebenarnya." Kavin segera memutar otak mencari alasan. "Dia penguntit gue," lanjut Kavin dengan suara lirih. Lamun, sepertinya Yuya tidak mempercayainya.

"Jangan menipu gue. Hentikan permainan lo. Dia terlihat ketakutan," titah Yuya.

Kavin pun merespon malas. Disingkapnya kabut tersebut dari tubuh Elea dan ia kembali menahan tawa melihat perubahan wajah Elea yang seperti orang linglung.

"Dia terlihat ingin kembali," komentar Yuya seraya memasukkan tangan kanannya dalam saku celana. "Apa yang diinginkan wanita itu?"

"Menurutmu apa?" komentar Kavin. "Lihat! Dia seperti ingin menerobos."

Benar, Elea kini seakan meraba-raba dalam udara hampa. Ia terus maju dengan gerakan penuh kehati-hatian. Hingga tiba-tiba tubuhnya kembali terpental beberapa meter ke arah belakang.

"Ini mustahil," seru Elea pada dirinya sendiri. Ia kini yakin bahwa ada dinding tak kasat mata di hadapannya sekarang.

Ia pun menoleh ke sekitar. Mungkin saja,ia bisa menemukan orang lain yang bisa membantunya menembus dinding tersebut. Walakin, percuma saja. Area di sekitar itu, nampak sepi. Tidak ada satu pun pejalan kaki yang bisa ia temui.

"Apa yang harus kita lakukan Yuya?" tanya Kavin. "Sepertinya ia merencanakan sesuatu. Apa gara-gara peristiwa kemarin? Jika dia berusaha mengungkapkan misteri tentang diri kita. Ini akan berbahaya dan sekaligus menjadi ancaman bagi dunia sihir."

Raut wajah Kavin berubah panik. Elea terlihat kembali mencoba untuk mendekati dinding.

"Yuya! Katakan sesuatu!" desak Kavin. "Atau lo mau membiarkan dia seperti itu?"

"Ada yang aneh," gumam Yuya. Sorot matanya mengarah tajam pada Elea. "Wanita itu memang non magus. Tetapi, dia memiliki aura yang aneh. Gue rasa, ini ada hubungannya dengan kemampuannya melihat bunga sihir. Jika ia memiliki mana sihir secara alami. Tentu saja, dia pasi bisa melewati pembatas. Tetapi yang ini ... seolah ada manipulasi energi sihir."

Yuya pun menoleh ke arah Kavin dengan raut wajah serius. 

"Gue ingin menyelidiki ini, Kavin," terang Yuya.

___///___////_____

bersambung... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status