Suara bel yang berbunyi nyaring memutus pembicaraan Lucas dengan pemilik rumah. Cuaca sore itu terasa cukup panas, matahari yang mulai condong ke barat memancarkan sinar keemasan yang menyinari halaman rumah yang teduh dengan pohon-pohon besar. Angin sore yang lembut berdesir, namun tidak cukup untuk menyejukkan udara yang terasa gerah.
"Diam kau di situ! Jangan kemana-mana. Awas saja kalau sampai kabur," ancam pemilik rumah sebelum pergi membukakan pagar. Suaranya keras dan tegas, menggema di sepanjang halaman rumah yang tampak sepi. Suasana yang awalnya tenang kini berubah tegang.
Begitu pagar dibuka, Dewi yang berdiri di balik pagar langsung menyapa pemilik rumah itu sembari tersenyum ramah. Pemandangan di sekitar rumah cukup indah, dengan kebun bunga yang tertata rapi di dekat pintu masuk, menambah kesan asri pada rumah itu.
"Maaf, Bu. Anu... Itu... Adik saya, Lucas, tadi manjat pohon..."
Dewi tampak bingung menjel
Dewi nampak duduk di sebuah kursi panjang. yang terbuat dari kayu jati, dikelilingi oleh semak-semak hijau yang tak terawat. Sore hari yang tenang dengan sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah pohon tinggi di sekitarnya. Suara burung-burung kecil yang berkicau merdu mengisi udara, sementara angin semilir yang lembut berhembus, memberikan kesejukan yang menenangkan. Dewi sesekali mengelus perut buncitnya yang makin besar, menunggu kedatangan Lucas yang sudah lama hilang dari pandangan."Ke mana dulu sih anak itu? Lama sekali," gerutunya pelan, matanya berkeliling, mencari tanda-tanda kehadirannya."Mbak Dewi..."Dewi menoleh tak kala seseorang memanggil namanya. Matanya seketika memandang lurus, menatap seorang remaja laki-laki yang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arahnya dengan penuh semangat.Dewi memasang ekspresi cemberut seiring langkah kaki remaja semakin mendekat kearahnya. "Buang air keci
“Aduh. Duh…”Dewi meringis pelan, menundukkan kepala dan mengelus perutnya dengan lembut, mencoba menenangkan ketegangan yang muncul. Matahari sore mulai merendah, memancarkan cahaya keemasan yang menciptakan bayangan panjang di pasir pantai. Udara terasa sejuk setelah siang yang terik, angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan, dan ombak yang pelan menyapu bibir pantai seolah turut meredakan ketegangan dalam dirinya.“Kenapa, Mbak?”Lucas menoleh, mendengar suara Dewi yang meringis pelan. Dengan cepat ia mendekat, menyadari perubahan raut wajah kakak iparnya yang terlihat tidak nyaman.“Enggak apa-apa, Cas,” jawab Dewi sambil tersenyum tipis, mencoba menenangkan Lucas yang jelas terlihat cemas. Suara deburan ombak di belakang mereka memberi sentuhan ketenangan, namun Dewi merasakan getaran aneh di perutnya.Lucas memiringkan kepala, dahinya berkerut. “E
Lucas berjalan menghampiri Dewi dengan napas yang agak tersengal-sengal. Keringat mengucur deras di sekitar wajahnya yang terlihat cerah meski letih. Langit di atas mereka mulai memerah, seperti menyimpan kisah-kisah senja yang tak terungkapkan. Angin pantai yang semilir menyapu kulitnya, membawa aroma laut asin yang menyegarkan. Walaupun begitu, ia masih bisa tersenyum cerah ketika matanya bertemu pandang dengan Dewi, yang duduk di atas batu besar, menikmati pemandangan senja.“Minum dulu nih,” tawar Dewi sambil memberikan sebotol air dingin yang baru saja ia ambil dari tas.“Makasih, Mbak," jawab Lucas, menerima botol air itu dengan cepat dan langsung meminumnya hingga setengah.“Capek?” ledek Dewi dengan senyum tipis, matanya mengamati adik iparnya yang masih terlihat bersemangat meski keringat membasahi wajahnya.“Enggak, cuma keringatan aja.”“Wajar dong, main bola pasti bikin keringa
“Bukankah tadi Kakak sendiri yang membolehkan kami pergi?”Suara Lucas terdengar kecil di ruang tamu yang sempit. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan udara dingin mulai merambat masuk melalui celah-celah jendela kayu. Lampu gantung kecil di langit-langit ruangan memancarkan cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang di dinding.Dewi mendengar suara geram yang keluar dari mulut Alex saat Lucas menyela. Ia mulai menyesali keputusannya menerima ajakan Lucas melihat matahari terbenam. Kalau tahu suaminya akan semarah ini, mungkin dia lebih baik menolak sejak awal.“Lucas tadi kan udah telepon Kakak buat minta izin,” lanjut Lucas dengan nada lirih, seolah tahu ia sudah melanggar batas.“Tapi kamu tadi bilang mau ke mana? Ke pantai?” Alex mengangkat suaranya, menatap adiknya tajam. “Enggak kan?”Lucas menundukkan kepala, menatap lantai seme
Dewi duduk sendirian di ruang makan. Pagi itu terasa berat, meski cahaya matahari yang masuk melalui tirai menciptakan pola hangat di dinding. Dapur di belakangnya masih rapi setelah ia membersihkan piring dan gelas tadi malam. Bau sabun cuci yang samar bercampur dengan aroma kayu lemari membuat suasana semakin sunyi.Matanya memandang keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia teringat jelas suatu pagi di dapur—saat Alex dengan nada perintah yang tegas, hampir tanpa senyum, mengarahkan setiap langkahnya."Dulu, ketika aku salah melakukan sesuatu, Alex langsung mengoreksi dengan cara yang dingin. Namun, di balik itu semua, aku tahu ia hanya ingin segalanya sempurna demi kebaikan bersama. Meski terkesan bossy, namun setiap perintahnya adalah cerminan dari tanggung jawab besar yang selalu ia emban," pikir Dewi dalam hati. Kenapa semua ini harus terjadi? gumam Dewi dalam hati. Pertanyaan itu terus menghantui, ter
Dewi berdiri di ambang dapur, menatap pintu depan dengan hati berdebar kencang. Ketukan keras itu terus terdengar, seolah memukul setiap sudut rumah kecil mereka. menuntut perhatian, memukul setiap sudut rumah mereka yang sunyi. Ia bisa mendengar napasnya sendiri yang mulai tidak beraturan, berusaha keras melawan rasa takut yang merayap naik. Lucas yang biasanya santai kini berdiri kaku, wajahnya penuh tanya.“Mbak Dewi, itu bukan polisi lagi, kan?” bisik Lucas, matanya tak lepas dari pintu. Suaranya bergetar, mencoba terdengar tenang meski ketegangan jelas terpancar dari gerak tubuhnya.Dewi menggenggam kain celemek di tangannya lebih erat, jari-jarinya yang dingin terasa gemetar. Ia menelan ludah, memaksa dirinya tetap tenang. Tidak mungkin polisi kembali pagi-pagi begini tanpa pemberitahuan. Tapi… siapa lagi yang datang dengan cara seperti ini? Pagi yang seharusnya menjadi awal hari, kini terasa seperti akhir dunia.
Dewi duduk di seberang Arman, sementara Lucas berdiri di dekat meja, bersandar dengan tangan terlipat. Wajahnya tetap menunjukkan rasa curiga yang tak disembunyikan. Arman membuka map cokelat dan meletakkannya di atas meja. Beberapa lembar dokumen terlihat, beberapa di antaranya penuh dengan angka-angka dan tabel yang sulit dipahami.Saat Arman bersiap berbicara, Lucas berbisik pelan ke telinga Dewi."Mbak, yakin kita harus percaya orang ini? Kita bahkan nggak kenal dia."Dewi menegang sejenak. Keraguan itu sejujurnya juga ada dalam benaknya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia menatap Lucas, memberikan isyarat agar tetap waspada.Arman mengamati mereka sebentar, seolah menyadari bisikan Lucas, sebelum akhirnya membuka suara. Sekilas, ada keraguan di wajahnya. Ia menatap Dewi, sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya.“Sebelum saya jelaskan lebih jauh, saya harus bertanya,” Arman memul
Dewi mengerutkan kening, melihat Lucas berlarian menghampirinya. Remaja itu merentangkan tangan dengan telunjuk teracung, entah sedang menunjuk ke arah mana."Ada apa sih? Mbak lagi tanggung nih.""Sebentar aja, Mbak. Ayo! Sini dulu," kata Lucas sambil menarik-narik tangan Dewi.Dewi mendesah pelan, menaruh pisau yang sedang dipegangnya, lalu mengikuti Lucas yang tampak bersemangat. Saat mereka melangkah keluar, hawa dingin pagi menyambut, disertai sinar matahari yang masih lembut memantul di daun-daun basah."Lihat siapa yang datang, Mbak!" ujar Lucas dengan mata berbinar, menunjuk ke arah halaman depan.Dewi mengintip sekilas dari balik pintu, dan langkahnya seketika berhenti. Mata bulatnya terpaku pada sosok lelaki yang berdiri di sana— Alex. Meski hanya semalam tidak bersama, kerinduan itu terasa begitu menyesakkan. Ia menatap Alex lama, mengabaikan dingin di ujung jemarinya, seo
Dewi mengerutkan kening, melihat Lucas berlarian menghampirinya. Remaja itu merentangkan tangan dengan telunjuk teracung, entah sedang menunjuk ke arah mana."Ada apa sih? Mbak lagi tanggung nih.""Sebentar aja, Mbak. Ayo! Sini dulu," kata Lucas sambil menarik-narik tangan Dewi.Dewi mendesah pelan, menaruh pisau yang sedang dipegangnya, lalu mengikuti Lucas yang tampak bersemangat. Saat mereka melangkah keluar, hawa dingin pagi menyambut, disertai sinar matahari yang masih lembut memantul di daun-daun basah."Lihat siapa yang datang, Mbak!" ujar Lucas dengan mata berbinar, menunjuk ke arah halaman depan.Dewi mengintip sekilas dari balik pintu, dan langkahnya seketika berhenti. Mata bulatnya terpaku pada sosok lelaki yang berdiri di sana— Alex. Meski hanya semalam tidak bersama, kerinduan itu terasa begitu menyesakkan. Ia menatap Alex lama, mengabaikan dingin di ujung jemarinya, seo
Dewi duduk di seberang Arman, sementara Lucas berdiri di dekat meja, bersandar dengan tangan terlipat. Wajahnya tetap menunjukkan rasa curiga yang tak disembunyikan. Arman membuka map cokelat dan meletakkannya di atas meja. Beberapa lembar dokumen terlihat, beberapa di antaranya penuh dengan angka-angka dan tabel yang sulit dipahami.Saat Arman bersiap berbicara, Lucas berbisik pelan ke telinga Dewi."Mbak, yakin kita harus percaya orang ini? Kita bahkan nggak kenal dia."Dewi menegang sejenak. Keraguan itu sejujurnya juga ada dalam benaknya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia menatap Lucas, memberikan isyarat agar tetap waspada.Arman mengamati mereka sebentar, seolah menyadari bisikan Lucas, sebelum akhirnya membuka suara. Sekilas, ada keraguan di wajahnya. Ia menatap Dewi, sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya.“Sebelum saya jelaskan lebih jauh, saya harus bertanya,” Arman memul
Dewi berdiri di ambang dapur, menatap pintu depan dengan hati berdebar kencang. Ketukan keras itu terus terdengar, seolah memukul setiap sudut rumah kecil mereka. menuntut perhatian, memukul setiap sudut rumah mereka yang sunyi. Ia bisa mendengar napasnya sendiri yang mulai tidak beraturan, berusaha keras melawan rasa takut yang merayap naik. Lucas yang biasanya santai kini berdiri kaku, wajahnya penuh tanya.“Mbak Dewi, itu bukan polisi lagi, kan?” bisik Lucas, matanya tak lepas dari pintu. Suaranya bergetar, mencoba terdengar tenang meski ketegangan jelas terpancar dari gerak tubuhnya.Dewi menggenggam kain celemek di tangannya lebih erat, jari-jarinya yang dingin terasa gemetar. Ia menelan ludah, memaksa dirinya tetap tenang. Tidak mungkin polisi kembali pagi-pagi begini tanpa pemberitahuan. Tapi… siapa lagi yang datang dengan cara seperti ini? Pagi yang seharusnya menjadi awal hari, kini terasa seperti akhir dunia.
Dewi duduk sendirian di ruang makan. Pagi itu terasa berat, meski cahaya matahari yang masuk melalui tirai menciptakan pola hangat di dinding. Dapur di belakangnya masih rapi setelah ia membersihkan piring dan gelas tadi malam. Bau sabun cuci yang samar bercampur dengan aroma kayu lemari membuat suasana semakin sunyi.Matanya memandang keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia teringat jelas suatu pagi di dapur—saat Alex dengan nada perintah yang tegas, hampir tanpa senyum, mengarahkan setiap langkahnya."Dulu, ketika aku salah melakukan sesuatu, Alex langsung mengoreksi dengan cara yang dingin. Namun, di balik itu semua, aku tahu ia hanya ingin segalanya sempurna demi kebaikan bersama. Meski terkesan bossy, namun setiap perintahnya adalah cerminan dari tanggung jawab besar yang selalu ia emban," pikir Dewi dalam hati. Kenapa semua ini harus terjadi? gumam Dewi dalam hati. Pertanyaan itu terus menghantui, ter
“Bukankah tadi Kakak sendiri yang membolehkan kami pergi?”Suara Lucas terdengar kecil di ruang tamu yang sempit. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan udara dingin mulai merambat masuk melalui celah-celah jendela kayu. Lampu gantung kecil di langit-langit ruangan memancarkan cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang di dinding.Dewi mendengar suara geram yang keluar dari mulut Alex saat Lucas menyela. Ia mulai menyesali keputusannya menerima ajakan Lucas melihat matahari terbenam. Kalau tahu suaminya akan semarah ini, mungkin dia lebih baik menolak sejak awal.“Lucas tadi kan udah telepon Kakak buat minta izin,” lanjut Lucas dengan nada lirih, seolah tahu ia sudah melanggar batas.“Tapi kamu tadi bilang mau ke mana? Ke pantai?” Alex mengangkat suaranya, menatap adiknya tajam. “Enggak kan?”Lucas menundukkan kepala, menatap lantai seme
Lucas berjalan menghampiri Dewi dengan napas yang agak tersengal-sengal. Keringat mengucur deras di sekitar wajahnya yang terlihat cerah meski letih. Langit di atas mereka mulai memerah, seperti menyimpan kisah-kisah senja yang tak terungkapkan. Angin pantai yang semilir menyapu kulitnya, membawa aroma laut asin yang menyegarkan. Walaupun begitu, ia masih bisa tersenyum cerah ketika matanya bertemu pandang dengan Dewi, yang duduk di atas batu besar, menikmati pemandangan senja.“Minum dulu nih,” tawar Dewi sambil memberikan sebotol air dingin yang baru saja ia ambil dari tas.“Makasih, Mbak," jawab Lucas, menerima botol air itu dengan cepat dan langsung meminumnya hingga setengah.“Capek?” ledek Dewi dengan senyum tipis, matanya mengamati adik iparnya yang masih terlihat bersemangat meski keringat membasahi wajahnya.“Enggak, cuma keringatan aja.”“Wajar dong, main bola pasti bikin keringa
“Aduh. Duh…”Dewi meringis pelan, menundukkan kepala dan mengelus perutnya dengan lembut, mencoba menenangkan ketegangan yang muncul. Matahari sore mulai merendah, memancarkan cahaya keemasan yang menciptakan bayangan panjang di pasir pantai. Udara terasa sejuk setelah siang yang terik, angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan, dan ombak yang pelan menyapu bibir pantai seolah turut meredakan ketegangan dalam dirinya.“Kenapa, Mbak?”Lucas menoleh, mendengar suara Dewi yang meringis pelan. Dengan cepat ia mendekat, menyadari perubahan raut wajah kakak iparnya yang terlihat tidak nyaman.“Enggak apa-apa, Cas,” jawab Dewi sambil tersenyum tipis, mencoba menenangkan Lucas yang jelas terlihat cemas. Suara deburan ombak di belakang mereka memberi sentuhan ketenangan, namun Dewi merasakan getaran aneh di perutnya.Lucas memiringkan kepala, dahinya berkerut. “E
Dewi nampak duduk di sebuah kursi panjang. yang terbuat dari kayu jati, dikelilingi oleh semak-semak hijau yang tak terawat. Sore hari yang tenang dengan sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah pohon tinggi di sekitarnya. Suara burung-burung kecil yang berkicau merdu mengisi udara, sementara angin semilir yang lembut berhembus, memberikan kesejukan yang menenangkan. Dewi sesekali mengelus perut buncitnya yang makin besar, menunggu kedatangan Lucas yang sudah lama hilang dari pandangan."Ke mana dulu sih anak itu? Lama sekali," gerutunya pelan, matanya berkeliling, mencari tanda-tanda kehadirannya."Mbak Dewi..."Dewi menoleh tak kala seseorang memanggil namanya. Matanya seketika memandang lurus, menatap seorang remaja laki-laki yang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arahnya dengan penuh semangat.Dewi memasang ekspresi cemberut seiring langkah kaki remaja semakin mendekat kearahnya. "Buang air keci
Suara bel yang berbunyi nyaring memutus pembicaraan Lucas dengan pemilik rumah. Cuaca sore itu terasa cukup panas, matahari yang mulai condong ke barat memancarkan sinar keemasan yang menyinari halaman rumah yang teduh dengan pohon-pohon besar. Angin sore yang lembut berdesir, namun tidak cukup untuk menyejukkan udara yang terasa gerah."Diam kau di situ! Jangan kemana-mana. Awas saja kalau sampai kabur," ancam pemilik rumah sebelum pergi membukakan pagar. Suaranya keras dan tegas, menggema di sepanjang halaman rumah yang tampak sepi. Suasana yang awalnya tenang kini berubah tegang.Begitu pagar dibuka, Dewi yang berdiri di balik pagar langsung menyapa pemilik rumah itu sembari tersenyum ramah. Pemandangan di sekitar rumah cukup indah, dengan kebun bunga yang tertata rapi di dekat pintu masuk, menambah kesan asri pada rumah itu. "Maaf, Bu. Anu... Itu... Adik saya, Lucas, tadi manjat pohon..."Dewi tampak bingung menjel