Pernikahannya dengan Alex Catalano—bosnya yang dingin dan penuh rahasia—memang dikarenakan janin yang dikandung Dewi. Hanya saja, wanita itu justru tak menyangka jika berakhir jatuh cinta pada pria itu. Sayangnya, cinta Dewi bertepuk sebelah tangan. Lantas, bagaimana nasib Dewi? Terlebih, Lucas, adik Alex, justru menawarkan ketulusan padanya...?
View More"Ada apa, Wi?"
Dewi mengigit pelan bibirnya sembari memainkan jemarinya. Kebiasaan yang dilakukannya ketika sedang gelisah. Perlahan ia mendongak. Pandangan matanya langsung bertemu dengan mata Alex yang juga tengah menatapnya. "Saya hamil, Pak." Hening... Alex terganga keheranan. Bibirnya yang semula terkatup rapat, kini terbuka sedikit. Kedua alisnya saling bertaut dengan mata yang memandang lurus pada wanita dihadapannya. Cukup lama lelaki itu memandangi Dewi, hingga ia mengedikkan kedua bahunya. "Well, Congrats ya." Dewi seketika melongo. Wajahnya nampak tertegun melihat respon Alex yang nampak datar dan sangat biasa. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat, lelaki itu bahkan telah kembali menatap layar komputer di samping tempat duduknya. Tidak ada wajah syok seperti dirinya ketika baru pertama kali mendengar kabar ini. Sungguh jauh di luar bayangan wanita itu. "Janin yang di perut saya ini anak bapak." "Apa?" Bagai tersambar petir di siang bolong, Perkataan Dewi barusan serasa menghantam belakang kepala Alex. Lelaki itu terbelalak. Bola matanya membulat, menatap Dewi tak percaya dengan perkataan yang baru saja di dengarnya. Namun sedetik kemudian, ia tertawa terbahak-bahak. "Hahaha... Hebat kamu, Wi. Bisa mengerjai saya dengan lelucon seperti itu. Oke. April mop, Right?" Dewi tersenyum getir begitu menyadari kalau saat ini tanggal 1 April. Wajar saja kalau Alex beranggapan ia sedang melempar lelucon seperti yang banyak dilakukan orang-orang untuk memperingati perayaaan April Fools Day. Sepertinya ia telah berharap terlalu tinggi. "Saya tidak sedang mengerjai pak Alex. Saya serius, Pak." Tawa Alex perlahan hilang. Wajahnya yang semula mengejek kini berubah datar. Bola matanya menyorot tajam ke arah Dewi. "Coba ulangi sekali lagi. Apa yang barusan kau katakan?" "Anu... Saya...." Ditatap seperti itu, Dewi jadi tergagap. Lidahnya mendadak kelu. Belum lagi bibirnya yang mengering, seakan membuatnya kehilangan kata-kata yang hendak diucapkan. Ia mengerakkan mulutnya dengan terbata-bata. "Saya sedang mengandung darah daging bapak," ulang Dewi seraya menunduk. "Kamu tidak asal bicara bukan?" Dewi hanya bisa tertunduk sembari mengangguk pelan. Tak sanggup melihat wajah Alex yang terasa sangat mengintimidasi. "Argh... Sial." Alex seketika terhuyung, menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil memijat pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut setelah mendengar pengakuan Dewi yang sangat mengejutkan baginya. "Tidak mungkin. Ini tak masuk akal." Lelaki itu berulang kali mengeleng. Ia tak bisa percaya begitu saja. "Jangan mengada-ada, Dewi. Saya bahkan tak pernah menyentuh satu ujung kukumu. Bagaimana bisa anak itu darah daging saya?" "Tak pernah bagaimana, Pak?" Dewi menyela dengan cepat. Hatinya seperti tertancap belati. Bagaimana bisa lelaki itu mengelak setelah berusaha memperdayanya. "Apa pak Alex sama sekali tak mengingat kejadian waktu itu?" Dewi mendesah pelan ketika Alex hanya terdiam menatapnya. "Tiga bulan yang lalu, Pak Alex meminta saya mengantikan rapat client dengan alasan sedang sakit. Saya bahkan menyanggupi datang saat bapak meminta agar saya secepatnya melaporkan hasil rapat itu. Tapi apa yang saya dapatkan ketika menemui pak Alex. Bapak malah..." Dewi tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Matanya seketika berkaca-kaca ketika menyadari tatapan Alex nampak kosong seperti tak mengingat sama sekali kebersamaan intim mereka. "Baiklah. Kalau pak Alex tak mengingatnya. Saya kesini hanya sekedar ingin memberitahu kabar kehamilan ini. Permisi." Dewi membungkuk hormat. Wanita itu berpikir mungkin Alex perlu waktu lebih lama untuk mencerna semuanya. Dengan berat hati ia berbalik badan, berjalan meninggalkan ruang kerja Alex. ☆☆☆ Dewi yang hendak menyeberang jalan, tiba-tiba di kagetkan dengan suara mobil yang berbunyi. Ia ingin mengumpat, namun teringat kalau tengah hamil dan tidak boleh bersikap sembarangan. Alhasil Dewi hanya bisa mengelus dadanya. Padahal ia sudah menyebrang pada tempatnya, tapi masih juga di salahkan. Matanya kini tertuju pada mobil kuda jingkrak yang berhenti tepat di depannya. Ketika kaca depan terbuka, Dewi berusaha mengintip ke dalam mobil. Ia sangat penasaran dengan pengemudi yang tadi membunyikan klakson. Alangkah terkejutnya Dewi begitu melihat Alex yang berada di kursi depan mobil itu. "Masuk ke mobil saya sekarang," teriak Alex dengan lantang. Walau awalnya sempat ragu pada akhirnya Dewi tetap menurut, membuka pintu samping dan duduk di sebelah Alex. "Rumahmu ada dimana?" tanya Alex sembari melihat layar GPS. "Hah?" Dewi mengernyit dahi setelah mendengar pertanyaan Alex. Ia tidak pernah menyangka lelaki itu menanyai alamat tempat tinggalnya. Matanya mengerjap berulang kali, memastikan kalau dirinya tak sedang bermimpi. "Kau tak dengar? Saya tanya dimana rumahmu?" ulang Alex mulai terdengar tidak sabar. Dewi tersentak dari lamunannya. Dengan sedikit terbata-bata, ia memberitahukan alamat tempat tinggalnya, sementara Alex sibuk mengetik pada layar GPS yang terpasang di mobilnya. "Oke. Sudah." Mata Alex tidak sengaja melirik ke arah dada Dewi, lalu beralih ke arah jalan raya. "Apa kau tidak tahu kalau naik mobil harus pakai selt belt dengan benar?" Pertanyaan Alex membuat Dewi tersadar belum memakai selt belt. Dengan cepat tangannya bergerak mencari seltbelt yang terselip di pinggiran kursi. Karena tidak pernah mengunakannya, ia bingung dan terlihat kesulitan. Alex yang sedari tadi mengawasi gerak-gerik Dewi melalui lirikan mata, lantas mendesah pelan. Perlahan ia bergerak membantu Dewi memasangkan selt belt. Posisi kepala Alex yang tiba-tiba berada dekat dengan Dewi, membuat wajah wanita itu memerah. Dari jarak sedekat ini, Dewi dapat melihat dengan jelas wajah Alex yang sangat menawan. Selain itu Dewi dapat mencium wangi parfum yang di kenakan oleh Alex. Aroma menthol terhirup kuat melalui indera penciumannya. Aroma yang sangat Dewi sukai. "Lihat apa kau?" Alex memundurkan kepalanya setelah selt belt itu terpasang, beralih menyalakan mesin mobil. Tatapan dingin lelaki itu seketika menyadarkan Dewi. Dewi hanya mengeleng pelan. Dalam hati ia merutuki tindakan bodohnya yang tertangkap basah tengah mengagumi ketampanan wajah Alex. Tak lama kemudian mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Hening... Tak ada kata yang terucap dari mulut keduanya. Hanya terdengar samar-samar suara mesin di dalam mobil. Mereka saling membisu, seakan larut dalam pikiran masing-masing. Sesekali Dewi menoleh sekilas ke Alex yang sedang menyetir. Begitu juga dengan Alex yang diam-diam melirik melalui cermin diatas kepalanya. Dan ketika mata mereka tak sengaja bertemu pandang, Dewi segera mengalihkan pendangan ke arah lain. Dewi berusaha memecah keheningan dengan menyetel musik. Lirikan matamu menarik hati Oh, senyumanmu manis sekali Sehingga membuat aku tergoda Keningnya seketika mengkerut saat mendengar lantunan lagu yang keluar dari speker mobil. "Maaf, Pak. Saya matikan saja ya musiknya." Alex hanya melirik ketika Dewi mematikan musik. Setelah Dewi mematikan musik, keheningan kembali menyelimuti keduanya. Akibat dari suara musik tadi, makin menambah kecangungan diantara mereka. Hingga Alex berdeham pelan. "Ada yang ingin saya katakan ke kamu," ucap Alex tanpa menoleh. BERSAMBUNG...Suara gemericik kopi yang dituangkan ke dalam cangkir memenuhi ruang tamu kecil di rumah Alex. Pagi itu terasa biasa saja bagi Dewi, yang sedang menyusun beberapa piring camilan untuk tamunya. Namun tidak bagi Fabio, momen ini adalah reuni yang sudah lama yang dinantikannya. Bukan hanya karena nostalgia, tapi karena ada sesuatu yang mengusik pikirannya sejak pertemuan mereka sebelumnya.“Sudah berapa lama ya kita enggak ketemu, Dewi? Sejak SMA, mungkin?” Fabio menyesap kopinya dengan santai, tapi matanya meneliti sekeliling ruangan dengan seksama.“Kurang lebih, ya. Aku bahkan hampir lupa wajahmu, sampai lihat fotomu di grup alumni,” Dewi tertawa kecil. “Oh iya, kenalin, ini suamiku, Alex.”Alex, yang sejak tadi berdiri di dekat pintu dengan sikap tenang, melangkah maju dan menjabat tangan Fabio dengan sopan. Cengkeramannya kokoh—tidak terlalu erat, tapi juga tidak longgar.
Pikirannya penuh dengan pertimbangan. Alex kini sudah duduk di sofa di seberangnya, sibuk dengan ponselnya, sementara suara televisi hanya menjadi latar tanpa ada yang benar-benar menyimak.Dewi menarik napas pelan sebelum akhirnya membuka suara. "Mas..."Alex mengangkat wajahnya, alisnya sedikit terangkat karena nada suara Dewi terdengar ragu. "Hmm?"Dewi menggigit bibirnya sejenak sebelum melanjutkan, "Aku mau cerita sesuatu. Tadi aku nggak sengaja ketemu seseorang."Alex menyandarkan punggungnya, kini memberikan perhatian penuh. "Siapa?""Fabio," jawab Dewi pelan. Ia memperhatikan ekspresi Alex yang awalnya tenang, kini tampak sedikit berubah, meski sulit diartikan."Fabio?" Alex mengulang nama itu dengan nada datar.Dewi mengangguk. "Dia teman lama. Kami kenal sejak SMA. Dulu... Fabio itu seperti kutu buku, nggak banyak omong, tapi kalau bicara selalu berbobot
Dewi mengerutkan kening, melihat Lucas berlarian menghampirinya. Remaja itu merentangkan tangan dengan telunjuk teracung, entah sedang menunjuk ke arah mana."Ada apa sih? Mbak lagi tanggung nih.""Sebentar aja, Mbak. Ayo! Sini dulu," kata Lucas sambil menarik-narik tangan Dewi.Dewi mendesah pelan, menaruh pisau yang sedang dipegangnya, lalu mengikuti Lucas yang tampak bersemangat. Saat mereka melangkah keluar, hawa dingin pagi menyambut, disertai sinar matahari yang masih lembut memantul di daun-daun basah."Lihat siapa yang datang, Mbak!" ujar Lucas dengan mata berbinar, menunjuk ke arah halaman depan.Dewi mengintip sekilas dari balik pintu, dan langkahnya seketika berhenti. Mata bulatnya terpaku pada sosok lelaki yang berdiri di sana— Alex. Meski hanya semalam tidak bersama, kerinduan itu terasa begitu menyesakkan. Ia menatap Alex lama, mengabaikan dingin di ujung jemarinya, seo
Dewi duduk di seberang Arman, sementara Lucas berdiri di dekat meja, bersandar dengan tangan terlipat. Wajahnya tetap menunjukkan rasa curiga yang tak disembunyikan. Arman membuka map cokelat dan meletakkannya di atas meja. Beberapa lembar dokumen terlihat, beberapa di antaranya penuh dengan angka-angka dan tabel yang sulit dipahami.Saat Arman bersiap berbicara, Lucas berbisik pelan ke telinga Dewi."Mbak, yakin kita harus percaya orang ini? Kita bahkan nggak kenal dia."Dewi menegang sejenak. Keraguan itu sejujurnya juga ada dalam benaknya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia menatap Lucas, memberikan isyarat agar tetap waspada.Arman mengamati mereka sebentar, seolah menyadari bisikan Lucas, sebelum akhirnya membuka suara. Sekilas, ada keraguan di wajahnya. Ia menatap Dewi, sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya.“Sebelum saya jelaskan lebih jauh, saya harus bertanya,” Arman memul
Dewi berdiri di ambang dapur, menatap pintu depan dengan hati berdebar kencang. Ketukan keras itu terus terdengar, seolah memukul setiap sudut rumah kecil mereka. menuntut perhatian, memukul setiap sudut rumah mereka yang sunyi. Ia bisa mendengar napasnya sendiri yang mulai tidak beraturan, berusaha keras melawan rasa takut yang merayap naik. Lucas yang biasanya santai kini berdiri kaku, wajahnya penuh tanya.“Mbak Dewi, itu bukan polisi lagi, kan?” bisik Lucas, matanya tak lepas dari pintu. Suaranya bergetar, mencoba terdengar tenang meski ketegangan jelas terpancar dari gerak tubuhnya.Dewi menggenggam kain celemek di tangannya lebih erat, jari-jarinya yang dingin terasa gemetar. Ia menelan ludah, memaksa dirinya tetap tenang. Tidak mungkin polisi kembali pagi-pagi begini tanpa pemberitahuan. Tapi… siapa lagi yang datang dengan cara seperti ini? Pagi yang seharusnya menjadi awal hari, kini terasa seperti akhir dunia.
Dewi duduk sendirian di ruang makan. Pagi itu terasa berat, meski cahaya matahari yang masuk melalui tirai menciptakan pola hangat di dinding. Dapur di belakangnya masih rapi setelah ia membersihkan piring dan gelas tadi malam. Bau sabun cuci yang samar bercampur dengan aroma kayu lemari membuat suasana semakin sunyi.Matanya memandang keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia teringat jelas suatu pagi di dapur—saat Alex dengan nada perintah yang tegas, hampir tanpa senyum, mengarahkan setiap langkahnya."Dulu, ketika aku salah melakukan sesuatu, Alex langsung mengoreksi dengan cara yang dingin. Namun, di balik itu semua, aku tahu ia hanya ingin segalanya sempurna demi kebaikan bersama. Meski terkesan bossy, namun setiap perintahnya adalah cerminan dari tanggung jawab besar yang selalu ia emban," pikir Dewi dalam hati. Kenapa semua ini harus terjadi? gumam Dewi dalam hati. Pertanyaan itu terus menghantui, ter
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments