Share

Bab 11

Penulis: Sylus wife
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-02 08:53:19

Aisyah duduk di perpustakaan istana dengan tenang, tenggelam dalam dunia buku yang ia baca. Hening dan damai, seperti pelarian kecil dari realitas yang menyiksa. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama.

"Sedang membaca? Baguslah," suara sinis Sulistyo memecah keheningan.

Aisyah menghela napas panjang, mencabut earphone bluetooth dari telinganya dengan gerakan malas. "Langsung saja. Apa maumu kali ini?"

Sulistyo melangkah mendekat, meletakkan tumpukan kertas di atas meja dengan senyum miring. "Baca ini, dan hapalkan semuanya."

Mata Aisyah menatap tajam ke arah dokumen itu. "Apa ini?" tangannya terulur, mulai membolak-balik halaman dengan cepat.

"Skrip acara talk show," jawab Sulistyo dengan nada penuh kemenangan. "Kau harus tampil besok. Tunjukkan akting terbaikmu!"

Aisyah membaca sekilas, lalu terkekeh kecil. "Jadi ini semua demi pengalihan isu jet pribadimu? Menonjolkan betapa malangnya nasibku, seorang perempuan yang keguguran karena ditendang ayah tirinya? Sungguh, kau tak pernah berhenti mencari cara licik, ya?"

"Licik atau tidak, kau tahu ini akan berhasil," Sulistyo berbisik di telinganya, dingin dan menusuk. "Dan jangan sampai kau keceplosan mengatakan bahwa dia ayah tirimu. Kita tak butuh skandal baru."

Aisyah mendongak, tatapannya menusuk balik. "Apa untungnya untukku?"

Sulistyo menyeringai tipis. "Bayaran talk show itu cukup besar. Itu semua untukmu. Anggap saja ini bonus kecil."

"Bonus kecil?" Aisyah menyipitkan matanya, nada bicaranya penuh ejekan. "Kalau begitu, aku juga ingin sesuatu yang lebih besar."

Sulistyo mendengus. "Apa lagi yang kau inginkan?"

Aisyah menegakkan punggungnya, menatap Sulistyo dengan dingin. "Biayai kedua orang tuaku dan adikku. Kalau kau benar-benar ingin aku ikut permainan ini, kau harus membayar harga yang pantas."

"Tidak!" Sulistyo menggeram, nada suaranya berubah tajam. "Itu terlalu berlebihan!"

"Kalau begitu, aku juga tidak mau," balas Aisyah sambil membuang muka, wajahnya penuh kekesalan.

Sulistyo mendekat lagi, kali ini lebih intens. Ia berbisik di telinga Aisyah, suaranya rendah tapi menekan. "Yakin kau mau menolak? Setelah acara ini, kau akan terkenal. Dan aku sudah memastikan kau menjadi brand ambassador produk LightGlow Cosmetics."

Aisyah terdiam sejenak, bibirnya mengatup rapat. Ia tahu tawaran ini menggiurkan, tapi juga penuh jebakan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mengulurkan tangan. "Deal," katanya dingin.

Sulistyo menyeringai, menjabat tangannya erat. "Kita punya kesepakatan, Aisyah. Jangan kecewakan aku."

Aisyah menarik tangannya, tatapannya kembali dingin. "Kita lihat saja nanti siapa yang akan kecewa," gumamnya pelan, cukup keras untuk didengar Sulistyo.

Sulistyo hanya tertawa kecil, lalu berbalik pergi, meninggalkan Aisyah sendiri di perpustakaan yang kembali sunyi. Tapi kali ini, sunyi itu terasa menyesakkan, seolah menyimpan ribuan rahasia yang siap meledak kapan saja.

Keesokan paginya, Aisyah bersiap dengan hati yang bercampur aduk. Gaun elegan yang ia kenakan terasa seperti belenggu, sementara makeup sempurna di wajahnya seolah menjadi topeng yang memaksa senyum di bibirnya. Ia melangkah keluar, menaiki mobil mewah yang telah menunggu. Sopir dan paspampres duduk di depan, membawa dirinya menuju studio acara talk show yang akan segera disiarkan secara langsung.

Setibanya di lokasi, Aisyah langsung disambut dengan antusias. Para kru dan host acara sudah bersiap menyambutnya dengan penuh keramahan yang terasa palsu.

"Wah... Ini dia istri wakil presiden kita!" seru Gita, salah satu host acara, dengan nada berlebihan. "Pasukan pembawa bendera yang terkenal karena kecantikannya itu, kan? Dilihat dari dekat, kau jauh lebih menawan!"

Aisyah hanya tersenyum tipis, mengikuti alur permainan. "Terima kasih," jawabnya singkat, berusaha tetap terlihat hangat meski ada kilatan dingin di matanya.

"Ayo, ayo, masuk! Sebentar lagi kita mulai live!" Gita menuntun Aisyah ke studio syuting dengan penuh semangat.

Beberapa menit kemudian, lampu sorot menyala terang, menandakan dimulainya siaran langsung. Aisyah duduk di sofa berlapis kain mewah, diapit oleh dua host acara. Kamera mulai merekam, menampilkan wajahnya ke seluruh penjuru negeri.

"Baiklah, pemirsa! Hari ini kita kedatangan tamu spesial, seorang wanita luar biasa yang mencuri hati wakil presiden kita! Inilah dia, Aisyah!" seru Gita, dengan suara yang terdengar penuh energi.

Tepuk tangan riuh terdengar di studio, membuat Aisyah semakin merasa muak di dalam hati. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya untuk goyah.

"Aisyah," Gina melanjutkan dengan senyuman lebar, "bisa ceritakan kepada kami semua? Bagaimana kau bisa menikah dengan wakil presiden kami? Apakah ada kisah khusus yang romantis di baliknya?"

Aisyah menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum manis, senyum yang sudah ia latih semalaman di depan cermin. Dengan suara lembut tapi tegas, ia mulai menjawab sesuai dengan skrip yang telah disiapkan Sulistyo.

"Wakil presiden kalian adalah pria yang sangat baik," katanya, setiap kata terasa seperti belati yang menyayat hatinya sendiri. "Beliau bilang terpesona dengan kecantikanku. Karena itulah beliau sangat menginginkan diriku. Tepat dua minggu setelah upacara kemerdekaan, beliau melamarku. Beberapa hari kemudian, kami menggelar resepsi pernikahan yang sederhana tapi penuh kebahagiaan."

"Wah, sungguh luar biasa!" seru Gita dengan mata berbinar, meski jelas sekali ia hanya mengikuti naskah. "Wakil presiden kita memang pria yang sangat baik dan penuh perhatian. Tepuk tangan semua!"

Seluruh studio bergemuruh oleh tepuk tangan. Aisyah ikut bertepuk tangan, tetap memamerkan senyum manis yang tak pernah lepas dari wajahnya. Tapi dalam hatinya, ia mendidih.

"Pria baik? Omong kosong!" pikirnya sambil menahan diri untuk tidak meremas tangannya sendiri. "Dia menikahiku bukan karena cinta atau kagum, tapi untuk menutupi kebejatannya. Untuk menutupi fakta bahwa dia memperkosaku!"

Hatinya berteriak, tapi ia hanya bisa menelan semua amarah itu bulat-bulat. Di depan jutaan pasang mata, ia harus terus memainkan peran ini. Topengnya tak boleh retak, tidak sekarang. Tidak di sini.

“Omong-omong…” suara Gilang, host pria yang sejak tadi hanya menjadi pengamat, akhirnya terdengar. Ia menatap Aisyah dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Aku dengar kau sempat dibawa ke rumah sakit menggunakan jet pribadi oleh wakil presiden kita. Ada apa sebenarnya?”

Aisyah menarik napas panjang, menjaga agar suaranya tetap tenang meski hatinya bergemuruh. Ia melatih senyuman manis yang tampak alami, lalu menjawab, “Oh, itu… Pak Wakil Presiden dan keluarganya sangat peduli padaku. Setelah acara pelantikan, aku pingsan dan tidak sadarkan diri. Dengan panik, keluarganya langsung membawaku ke rumah sakit terbaik menggunakan jet pribadi milik salah satu pengusaha terbaik di negeri Dwipantara.”

“Pingsan?” Gita memiringkan kepalanya, memasang ekspresi terkejut yang hampir teatrikal. “Lalu… kau keguguran? Bagaimana bisa? Ada apa ini sebenarnya?”

Aisyah menunduk perlahan, memberikan jeda agar atmosfer studio terasa semakin hening. Air mata mulai menggenang di matanya, perlahan mengalir, menciptakan momen dramatis yang begitu sempurna untuk kamera.

“Karena… ayahku…” Suaranya mulai bergetar, seperti mencoba menahan luka mendalam. “Ayah kandungku sendiri… telah menendang perutku hingga aku jatuh…”

“Hah?!” seruan terkejut dari Gilang dan Gita terdengar serempak, meski mereka tahu ini adalah bagian dari naskah. Studio langsung dipenuhi desahan kaget dari kru di belakang layar.

“Bagaimana bisa seorang ayah melakukan itu pada putrinya sendiri?” Gilang menatap Aisyah dengan pandangan yang tampak benar-benar terkejut dan emosi yang hampir tak terbendung.

Aisyah kembali terisak, air matanya mengalir deras. “Ayahku… dia marah karena aku tidak memberikan uang untuk sekolah kedua adik laki-lakiku. Padahal aku selalu rutin mengirim uang… Aku selalu berusaha memenuhi kebutuhannya… Tapi bagaimanapun juga, semua yang kulakukan… tidak pernah cukup di matanya.”

Ia mengangkat wajahnya, menatap kamera dengan mata merah yang penuh air mata. “Aku hanya anak perempuan yang tidak diinginkan oleh ayahku… Sejak kecil, aku tahu itu. Ayahku hanya menyayangi adik-adikku. Karena mereka anak laki-laki… anak yang ia inginkan.”

Gita segera merangkul Aisyah, mengusap punggungnya dengan penuh perhatian. “Sayang… tenang ya… Pelan-pelan saja ceritanya. Jangan terlalu memaksakan diri,” ucapnya lembut, memainkan perannya dengan sempurna.

Di sisi lain, Gilang mengambil napas panjang, lalu memalingkan pandangannya ke arah kamera. Raut wajahnya penuh dengan amarah dan kekecewaan, seolah-olah ia benar-benar merasakan derita Aisyah.

“Inilah salah satu alasan,” ucap Gilang dengan nada penuh penekanan, “mengapa negara Dwipantara menjadi salah satu negara dengan angka fatherless tertinggi di dunia. Padahal, apa salah gadis ini? Apakah salah dilahirkan sebagai seorang perempuan?”

Studio hening sejenak, hanya terdengar isakan kecil Aisyah.

“Ini pelajaran untuk kita semua,” lanjut Gilang, menatap lurus ke kamera dengan penuh intensitas. “Untuk para laki-laki, untuk para calon ayah di luar sana… Apapun gender anakmu, mereka adalah anugerah. Mereka adalah tanggung jawabmu. Sayangilah mereka dengan adil… Karena anak perempuan atau laki-laki, keduanya berharga.”

Tepuk tangan kecil mulai terdengar, diikuti gemuruh tepuk tangan dari penonton studio. Aisyah mengusap matanya, lalu tersenyum samar, meski hatinya hancur berkeping-keping. Semua ini hanya sandiwara, pikirnya. Namun, ia tahu… sandiwara ini harus terus dimainkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 150

    Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 149

    Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 148

    Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 147

    Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 146

    Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 145

    Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status