Share

Bab 12

Author: Sylus wife
last update Last Updated: 2024-12-02 09:29:50

Setelah acara talk show berakhir, media sosial Aisyah meledak. Notifikasi tak berhenti berdatangan—jutaan orang mulai mengikuti akun pribadinya. Banyak yang memberikan dukungan, tetapi tidak sedikit pula yang mencemoohnya.

“Aisyah! Aku sudah lihat penampilanmu di talk show tadi. Kau wanita yang sangat kuat! Tetap semangat, ya!” tulis salah satu komentar yang membanjiri kolomnya.

“Aisyah adalah bukti bahwa perempuan bisa tetap berdiri meski dihancurkan oleh hidup. Terus bertahan, kami mendukungmu!” tulis pengguna lain dengan emoji hati yang memenuhi baris komentar.

Namun, tak semua suara semanis itu.

“Cantik darimana? Wajahnya biasa saja. Pasaran banget!” cemooh sebuah akun yang disertai tawa mengejek.

“Tch! Orang-orang ini mudah sekali terbuai cerita murahan. Lihat saja, sebentar lagi dia pasti jadi model kosmetik,” sindir komentar lain yang menuai ratusan tanda suka.

Namun ada pula yang membela.

“Berhenti menghujat! Aisyah itu cantik, dan lebih penting lagi, dia adalah korban. Bukankah kalian harusnya mendukung?”

“Kenapa kalian iri? Kalian cuma kesal karena kalian tidak secantik Aisyah, kan? Hah, dasar!”

Komentar-komentar lain ikut memanaskan suasana:

“Sepertinya kegugurannya itu bukan cuma karena ditendang, tapi juga karena fisik dan mentalnya belum siap. Banyak kasus seperti ini terjadi pada pengantin anak.”

“Memangnya salah kalau pria menikahi gadis muda? Asalkan si pria bersedia menerima apa adanya, kenapa harus ribut? Standar kalian semua terlalu tinggi!” balas seorang pengguna, yang langsung dihujani dislike.

Di sudut kamarnya, Aisyah membaca semua itu dengan ekspresi datar. Sesekali, ia terkekeh kecil, bukan karena bahagia, tetapi karena ironi yang begitu nyata.

“Lihat mereka…” gumamnya, menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. “Mereka bisa memilih pasangan berdasarkan standar sosial, berbicara tentang cinta dan penerimaan.” Ia meletakkan ponselnya di atas meja dengan kasar.

“Sedangkan aku?” lanjutnya, suaranya mulai bergetar, hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri. “Dinodai… lalu dinikahi demi menutupi aibnya. Cinta? Hah. Apa aku punya hak untuk membicarakan itu?”

Aisyah menghela napas panjang, menahan air mata yang mendesak keluar. Ia memandang cermin di seberang kamar. Sosoknya yang terlihat sempurna di depan kamera kini hanya bayangan seorang gadis muda yang dipaksa dewasa terlalu cepat.

“Mereka kasihan padaku?” Ia mendengus pelan, menatap bayangannya sendiri dengan getir. “Tidak ada yang lebih kasihan daripada diriku sendiri.”

Suara notifikasi dari ponsel kembali berdentang, tapi kali ini Aisyah tidak berniat membuka layar. Ia memejamkan mata, membiarkan kebisingan itu terus berlalu tanpa balasan.

Aisyah baru saja memejamkan mata, mencoba sejenak melupakan kekacauan hari itu, ketika suara ponselnya tiba-tiba berdering. Nada dering lagu pop favoritnya membuatnya langsung tersadar. Ia segera meraih ponsel dan menggeser layar untuk menerima panggilan.

“Halo, selamat siang. Dengan Aisyah di sini," sapanya, meskipun nada suaranya masih terdengar lelah.

“Selamat siang. Aku Nursyid. Kau pasti tahu diriku. Semua orang di negeri ini harusnya tahu,” jawab pria di seberang telpon dengan penuh percaya diri, tetapi sebelum ia sempat melanjutkan, Aisyah sudah memotong.

“Brand ambassador LightGlow Cosmetics?” tebak Aisyah, nadanya datar. Ia sudah bisa menduga apa maksud pria itu menghubunginya.

“Benar sekali!” seru Nursyid dengan nada puas. “Kau bisa mulai akting sekarang?”

“A-apa?” Aisyah tersentak. “Tapi aku baru pulang dari acara talk show! Tidak bisakah ini—”

“Hati-hati di jalan. Usahakan sampai dalam 30 menit!” kata Nursyid tegas, sebelum langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban.

“Huwaaa... Kenapa dadakan sekali?” Aisyah hampir melempar ponselnya ke tempat tidur, tapi ia sadar bahwa tak ada gunanya mengeluh. Dengan cepat ia keluar dari kamar, mencari sopir dan paspampresnya.

“Bapak-bapak! Aku harus pergi lagi! Kali ini ke kantor pusat LightGlow Cosmetics. Dan aku harus sampai dalam waktu 30 menit!” katanya tergesa-gesa.

Sopirnya menatapnya dengan ragu. “Kalau naik mobil tidak akan sempat, Nona.”

“Jadi bagaimana?” Aisyah panik, menatap mereka satu per satu, berharap ada solusi.

Seorang paspampres yang berdiri di dekat motor dinasnya tiba-tiba menyahut, “Tidak ada cara lain. Ini urgen, kan? Ayo, saya antar!”

Mata Aisyah berbinar. Meski sedang dikejar waktu, ada sedikit kegembiraan terselip di hatinya. Ia sudah lama tidak merasakan sensasi menaiki motor, sesuatu yang dirindukannya sejak hidupnya berubah menjadi serangkaian perjalanan di dalam mobil mewah.

“Ayo, Pak!” katanya, segera memasang helm yang diberikan paspampres itu.

Dengan kecepatan tinggi, motor melaju membelah jalanan kota. Angin yang menerpa wajahnya terasa menenangkan sekaligus mendebarkan. Selama beberapa menit, Aisyah lupa akan beban pikirannya. Ia memejamkan mata sejenak di tengah perjalanan, membiarkan angin membawa sedikit perasaan bebas yang hampir tak pernah ia rasakan lagi.

Setelah perjalanan yang terasa singkat tapi penuh adrenalin, mereka akhirnya tiba di kantor pusat LightGlow Cosmetics.

“Tepat waktu,” gumam Aisyah sambil tersenyum, menurunkan helmnya. Ia menatap gedung megah di depannya dengan perasaan bercampur aduk. Ada ketegangan, tetapi juga antisipasi.

“Terima kasih, Pak,” ucapnya pada paspampres yang membawanya.

“Semoga sukses, Nona,” jawab pria itu, memberi salam hormat.

Aisyah mengangguk, melangkah ke dalam gedung dengan langkah penuh keyakinan, meski hatinya berdegup kencang. Bagaimanapun, ini adalah babak baru dari drama yang harus ia mainkan.

"Aisyah? Sudah sampai? Bagus, kau datang tepat waktu!" Nursyid menyambutnya dengan senyum lebar, berdiri di depan pintu kantor seperti telah menunggu sejak lama. Langkahnya cepat, mengisyaratkan agar Aisyah mengikutinya.

"Eh? Aku baru saja masuk! Kau mau membawaku ke mana lagi?" protes Aisyah, dengan nada lelah yang tak dapat ia sembunyikan.

"Ke mansionku," jawab Nursyid dengan santai sambil terus berjalan. "Di sana jet pribadiku sudah siap. Kita akan syuting di berbagai lokasi wisata, baik dalam maupun luar negeri."

Aisyah menghentikan langkahnya seketika. "Apa?" tanyanya, setengah tak percaya.

"Selain itu, kau juga akan beradu akting dengan beberapa artis besar dari seluruh dunia. Ini skripnya, hapalkan baik-baik!" Nursyid menyerahkan sebuah buku tebal ke tangan Aisyah.

Aisyah membuka halaman pertama buku itu, matanya membelalak ketika membaca salah satu nama di daftar pemain. "Li Shen?" gumamnya, setengah teriak.

Seketika, rasa lelahnya hilang. Ia melesat melewati Nursyid menuju parkiran. "Ayo! Kita harus cepat! Mobilmu yang mana? Jangan biarkan Li Shen menunggu!" desaknya dengan antusias.

Nursyid hanya terkekeh melihat perubahan sikap itu. Dengan santai, ia menunjuk mobil sport mewahnya yang terparkir mencolok di tengah deretan kendaraan. "Ayo naik."

---

Dua bulan berlalu, Aisyah menjalani perjalanan syuting yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dari gedung-gedung pencakar langit di Higashiyama hingga pantai-pantai eksotis di Samudranesia, ia menjelajahi tempat-tempat indah, merasakan budaya yang berbeda, dan bertemu dengan para artis kelas dunia.

Bagi Aisyah, proyek ini lebih dari sekadar pekerjaan. Setiap lokasi, setiap adegan, adalah pengalaman hidup yang mengajarinya banyak hal. Namun, lelah tetap menghampiri. Di penghujung perjalanan, Nursyid akhirnya mengantarnya kembali ke bandara, tampak puas dengan hasil kerja mereka.

"Baiklah, paspampresmu sudah datang. Aku pamit dulu," kata Nursyid, melambaikan tangan santai.

"Sampai jumpa, dan terima kasih banyak!" balas Aisyah, melambaikan tangan dengan senyuman lebar yang tulus. Ia bersyukur untuk semua pelajaran dan kenangan yang baru saja ia dapatkan.

Namun, rasa senang itu hanya bertahan sejenak. Sesampainya di istana negara, senyum Aisyah seketika memudar. Di ruang tamu yang megah, berdiri seorang gadis muda bersama keluarganya, mengenakan kebaya anggun dengan hiasan rambut yang sempurna. Aura keanggunannya terpancar jelas.

"Aisyah, perkenalkan. Ini Citra Ayu, putri gubernur Suryaloka. Calon istri Sulistyo," ujar Ratri dengan penuh kebanggaan, senyumnya seolah menantang.

Aisyah membeku, matanya menatap lurus ke arah gadis itu. Gadis itu menunduk dengan sopan, lalu berkata dengan lembut, "Salam kenal, nona." Suaranya halus, begitu menawan, namun terasa menusuk di telinga Aisyah.

Aisyah terperangah, napasnya tercekat. Seketika, sebuah kalimat meluncur tanpa ia sadari. "Kalian gila!"

Ruang tamu itu langsung sunyi, hanya menyisakan gema dari kata-kata Aisyah. Semua mata menatapnya, namun Aisyah tidak peduli. Matanya masih terpaku pada Citra Ayu, yang kini tersenyum kecil, seolah puas telah memenangkan sesuatu yang belum Aisyah mengerti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 150

    Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 149

    Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 148

    Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 147

    Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 146

    Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 145

    Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 144

    Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 143

    Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 142

    Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status