共有

Bab 10

作者: Sylus wife
last update 最終更新日: 2024-12-01 19:05:05

Keesokannya, Nursyid mengunggah di akun media sosial pribadinya, dengan caption: "Suatu kehormatan bisa membuat wakil presiden dan keluarganya menumpang dengan nyaman di jet pribadi milik saya."

Unggahan itu langsung menuai beragam komentar netizen. Beberapa membela Sulistyo, beberapa membela Nursyid, dan banyak yang menghujat keduanya.

"Lihat? Keluarga wakil presiden kita tidak mungkin menggunakan uang rakyat untuk jet pribadi! Itu pasti milik salah satu pengusaha yang meminjamkan pesawatnya!" komentar akun penjilat keluarga Nugroho, menanggapi unggahan Nursyid yang menyebut pesawat itu miliknya.

"Nursyid sayang... Berapa banyak uang yang kau terima untuk menipu kami semua? Kami, penggemar setia LightGlow Cosmetics, merasa dikhianati!" tulis netizen lainnya dengan nada kecewa.

"Pangeran tampan... Kenapa kau tega menipu kami demi uang haram? Kembalilah ke jalan yang benar!" tambah komentar berikutnya, penuh rasa marah dan kecewa.

"Tidak pemimpin negara, tidak pemimpin perusahaan, sama saja!" tulis seorang netizen dengan nada sinis.

"Bagaimana logikanya keluarga Nugroho menumpang jet pribadi orang lain tanpa orang itu ikut di dalamnya? Ini seperti teman yang menumpang motor, tapi pemilik motor tidak ikut mengendarai motor itu bersama." komentar lain dengan penuh keraguan, mencerca kebohongan yang tak masuk akal.

"Menumpang? Atau meminjam? Atau... Tidak tahu! Otakku bodoh!" sahut netizen lain dengan tawa sarkastis, mengekspresikan kebingungannya.

"Pfft!" Nursyid menggigit bibirnya, menahan tawa saat membaca komentar-komentar itu. Matanya menyipit penuh olok-olok. "Lucu sekali! Wakil presiden kalian memang bodoh! Sudah kuduga alasan ini sangat konyol!"

Kekesalan dan kebanggaan bercampur menjadi satu dalam dirinya. Ia tahu apa yang telah ia lakukan akan terus menyulut amarah, tapi itu justru semakin menambah kesenangan di hatinya.

Tak lama, pintu ruangan Nursyid terbuka dengan keras, memperlihatkan Sulistyo yang wajahnya dipenuhi kemarahan. "Nursyid!" teriaknya.

Nursyid memutar bola matanya, malas. "Mentang-mentang wakil presiden, seenaknya masuk tanpa mengetuk pintu dulu!" suaranya datar, menahan jengkel.

Sulistyo, tak bisa menahan amarah, mencengkeram kerah kemeja Nursyid dengan kasar. "Kenapa? Kenapa jadi begini?" tanyanya dengan suara mendesak, nafasnya terasa berat.

Nursyid hanya mengangkat tangan dengan santai, seolah tak terpengaruh sedikit pun. "Kenapa? Alasanmu tidak masuk akal, orang-orang tidak akan percaya," ujarnya dengan nada meremehkan.

Sulistyo, marah dan kecewa, melepaskan kerah kemeja Nursyid dengan kasar. "Kontrak yang kau tandatangani kemarin... dibatalkan!" serunya dengan suara gemetar.

"Mana bisa begitu? Kita sudah sepakat!" Nursyid membalas tegas, mencoba mempertahankan posisinya.

"Untuk apa aku menyerahkan kontrak yang begitu berharga jika ujungnya hanya sia-sia?" amarah Sulistyo meledak, suaranya penuh dengan rasa pengkhianatan.

Nursyid berdiri dan dengan tenang menepuk pundak Sulistyo. "Sudahlah... Rencana pertama gagal, masih ada rencana lain," ujarnya dengan nada santai, seolah semuanya hanya permainan.

"Apa maksudmu?" Sulistyo menoleh dengan tatapan penuh rasa penasaran dan sedikit ketidakpastian.

"Pengalihan topik," jawab Nursyid sambil kembali duduk, matanya menatap tajam. "Kita buat isu yang lebih besar dari kasus jet pribadi ini agar perhatian masyarakat teralihkan."

Nursyid menatap Sulistyo dengan serius, tatapan penuh perhitungan. "Jika ingin tahu lebih detail, pastikan kontrak itu tidak dibatalkan." Suaranya menuntut, tak memberi pilihan lain.

"Beritahu dulu apa rencanamu, baru kupikirkan nasibmu selanjutnya!" Ucap Sulistyo dengan tegas.

"Hmm..." Nursyid memegangi dagunya, terlihat sedang berpikir. "Pertama-tama... Aku ingin tahu, apa yang memulai kasus jet pribadi itu? Maaf, aku tidak pernah sempat mengikuti berita sampah seperti itu. Jadwalku sebagai pemilik perusahaan dan aktor profesional sangat padat!"

Sulistyo duduk di kursi, menatap Nursyid dengan ekspresi kesal. "Apa lagi? Ini semua karena gadis miskin itu!"

"Chk... Chk... Tidak baik menghina istri sendiri seperti itu..." Nursyid menggeleng kepala, sedikit mengejek.

"Kau mau mendengarkan atau tidak?" Tanya Sulistyo, suara mulai meninggi.

"Dengar!" Nursyid memiringkan tubuhnya ke depan, menatap dengan serius, seperti murid yang menunggu pelajaran dari gurunya. "Ayo lanjutkan, Pak Wakil Presiden..."

Sulistyo menghela napas panjang, berusaha mengatur emosinya sebelum berbicara. "Aisyah, istriku itu... keguguran."

Nursyid mengangguk pelan, tampak tidak peduli. "Kronologinya?"

"Dia ditendang ayahnya sendiri!" Suara Sulistyo tercekat, penuh amarah.

Brak!

Nursyid memukul meja dengan keras, ekspresinya penuh kejutan dan kemarahan. "Bagaimana bisa? Ayahnya sendiri?"

Sulistyo menyeringai. "Hei! Kenapa marah? Bukankah kau menganggap wanita sebagai alat? Sama sepertiku." Sulistyo tersenyum sinis.

"Haha... Maaf, beberapa waktu lalu aku baru saja memerankan peran ayah tunggal yang merawat anak perempuannya seorang diri. Sepertinya peranku masih terbawa sampai sekarang," kata Nursyid, terkekeh pelan meski dalam hati ia sangat ingin meledak.

"Yah... Lagipula... Ternyata dia bukan ayah kandung istriku," lanjut Sulistyo, santai, sambil menyalakan rokok dan menghisapnya.

"Dilarang merokok di sini..." Nursyid menghela napas panjang, berusaha menahan amarahnya. "Sabar..."

"Omong-omong, aku ingat istrimu itu binti Mustofa Arifin. Aku mendengar sekilas di TV. Apa itu nama ayah kandungnya?" Tanya Nursyid dengan penasaran.

Sulistyo menghembuskan asap rokok ke arah Nursyid, membuatnya semakin sulit menahan amarah. "Bukan. Tidak ada yang ingat nama ayah kandung Aisyah, bahkan ibunya sendiri. Jadi, pakai saja nama ayah tirinya."

"Itu kan tidak sah menurut agama!" Nursyid menjawab, nadanya sedikit meninggi.

"Siapa peduli? Lagipula, pernikahan ini terjadi karena sebuah kesalahan," jawab Sulistyo dengan santai, tak merasa sedikit pun bersalah.

Nursyid mengepalkan tangan, hampir tak bisa menahan diri untuk meninju pria bejat itu. "Sabar... Dia wakil presiden..." gumamnya, mencoba menenangkan diri.

"Jadi bagaimana? Sudah ada rencana untuk pengalihan isu?" tanya Sulistyo sambil terus menghisap rokoknya.

"Bagaimana dengan ayah tiri istrimu? Apa dia sudah dihukum?" Nursyid membalas, tetap tenang meski dalam hati bergolak.

"Tentu saja sudah! Penjara seumur hidup." Sulistyo menjawab sambil menghembuskan asap rokok.

Nursyid mengangguk. "Kenapa tidak hukuman mati saja?"

"Entahlah." Sulistyo menjawab santai.

"Begini saja," Nursyid berkata, menjentikkan jarinya. "Untuk pengalihan isu, kita manfaatkan kronologi keguguran istrimu."

"Bagaimana maksudmu?" Sulistyo bertanya, wajahnya penuh rasa penasaran.

"Kau tahu, warga Dwipantara ini sangat suka mengikuti berita yang tidak ada faedahnya. Bagaimana jika sebelum istrimu menjadi brand ambassador untuk perusahaanku, dia diundang ke acara talk show untuk menceritakan kronologi kejadian dan mengundang empati masyarakat? Seperti yang kau tahu, masyarakat kita sangat empati," jelas Nursyid, dengan penuh perhitungan.

Sulistyo mendengarkan dengan saksama. "Dengan begitu, perlahan-lahan warga akan memaklumi kenapa keluargaku menggunakan jet pribadi untuk mengantar istriku ke rumah sakit."

"Bingo!" Nursyid menjentikkan jarinya sekali lagi. "Sekalian juga untuk menyamarkan kontrak kita. Setelah Aisyah lebih terkenal, baru aku angkat dia jadi brand ambassador. Orang-orang tidak akan ada yang menduga kau menyerahkan istrimu untuk kontrak sebelumnya."

Sulistyo tersenyum puas, menepuk pundak Nursyid. "Bagus! Ini ide yang brilian." Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Nursyid, berbisik tajam, "Jangan sampai gagal lagi."

"Siap, Wakil Presiden!" jawab Nursyid, memberi hormat.

"Baiklah, aku tunggu kabar baik darimu." Sulistyo berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah pasti.

"Sampai jumpa!" Nursyid masih tersenyum, namun begitu Sulistyo pergi, senyum itu memudar. Ia terduduk lemas di kursinya.

"Hah... Lagi-lagi aku menggunakan cara kotor..." Nursyid memejamkan mata sejenak. "Kapan aku bisa kembali menjadi diriku sendiri? Tiada hari tanpa akting, bahkan saat aku bukan aktor."

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 150

    Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 149

    Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 148

    Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 147

    Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 146

    Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 145

    Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 144

    Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 143

    Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 142

    Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me

無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status