Share

Bab 5 : Surat Cerai

Hamil di Malam Pertama

Bab 5 : Surat Cerai

“Vaulin, bangun, Nak!”

“Ya Tuhan, anakku.”

“Dek, sadarlah, jangan tinggalin Kak Zaki!”

Terdengar ada banyak suara di dekatku, ada yang memanggil namaku juga ada yang menangis. Apakah aku su-dah ma-ti dan sedang dima-kamkan? Aduh, sakit! Tapi mengapa aku masih merasakan sakit? Agghh ... tubuh ini terasa nyeri dari ujung rambut hingga ujung kaki. Apa kini aku sedang disiksa di ne-ra-ka karena hamil tanpa suami?

“Dek, sadarlah!” Itu suara Kak Zaki, kakakku yang paling baik dan selalu mengutamakan kepentinganku.

Kutarik napas panjang, lalu membuka mata perlahan dan menatap satu persatu orang yang ada di ruangan ini. Ada Kak Zaki, Mama, Papa juga Mas Yuta yang berdiri paling belakang. Mau apa dia? Bukankan aku sudah ia ceraikan? Aku mendadak muak melihatnya.

“Syukurlah, Vaulin, kamu udah siuman. Zaki, cepat panggil dokter ke sini!” ujur Mama senang dengan sambil duduk di kursi di samping tempat tidurku.

“Kenapa aku masih hidup?” Kutatap kecewa mereka yang terlihat bersedih.

Kak Zaki bergegas menuju pintu, sedangkan Papa terlihat mengusap matanya yang memerah. Mas Yuta membalikkan badan dan ikutan keluar dari ruangan ini. Mungkin ia hanya ingin memastikan ke-ma-tianku.

“Jangan lakukan hal bo-doh ini lagi, Vaulin!” Mama menggenggam tanganku.

Aku memalingkan wajah, kesal rasanya karena aku tak jadi ma-ti. Air mata kembali berjatuhan, aku ben-ci diriku dan aku ben-ci kehamilan tanpa suami ini.

Taklama kemudian, datanglah dokter berserta dua perawat dan mereka langsung memeriksaku. Perut ini kembali diUSG, semoga saja janin itu sudah ke ne-ra-ka.

“Alhamdulillah, bayinya tak kenapa-kenapa, semuanya normal. Untung saja cairan pembersih itu berhasil disedot keluar semuanya,” jelas sang dokter.

“Terima kasih, Dokter,” jawab Mama.

“Kok janin tak berayah ini tak ma-ti juga!” teriakku kesal dengan sambil menarik selang infus di tanganku.

“Vaulin, jangan seperti ini!” Mama berusaha memelukku.

Sang perawat langsung membenarkan infus di tangan infus di tangan ini dan aku berusaha untuk berontak dari mereka semua.

“Aku mau ma-ti!” teriakku lagi dengan pikiran yang sudah tak menentu.

Aku terus mengamuk dengan sisa-sisa tenaga, hingga akhirnya terasa tu-sukan ja-rum di bahuku.

“Agghhh ... lepaskan aku!”

Semuanya menjadi gelap dan aku tak mengingat lagi apa yang terjadi.

***

Tubuhnya ini masih terasa sakit dengan kepala yang berat, tanganku digenggam seseorang. Langsung kubuka mata ini dan mendapati Kak Zaki yang menyambutku dengan senyumnya.

“Kamu udah bangun, Dek?” sapanya lembut.

Aku tak menjawab, mata ini kembali menangis. Ternyata aku nggak ma-ti ma-ti juga.

“Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hi-dupmu lagi, Dek! Bukankah Kak Zaki sudah berjanji untuk selalu bersamamu?” ujarnya.

“Hidupku sudah tak ada artinya lagi, Kak, aku sudah hancur. Aku mau ma-ti saja!” lirihku.

“Kakak nggak akan biarin kamu ma-ti, jangan pernah melakukan ini lagi!” jawabnya sambil menyapu pipinya yang basah, dia menangis.

Aku terdiam, menatap lekat wajah pria yang kuanggap kakak itu, walau kami bukan dilahirkan dari rahim yang sama. Dia menganggap masalah akan selesai jika dia menikahiku, tidak sama sekali! Aku akan semakin terpuruk dengan keadaan hamil tanpa kuketahui siapa pelakunya, orang yang telah mencuri keperawananku hingga membuat suami yang kucinta menceraikanku di malam pertama kami.

Kalau pun aku mau melanjutkan hidup, aku mau anak tak berayah ini digu-gurkan dan aku juga tak mau menikah dengan Kak Zaki. Dia itu kakakku dan aku tak mau menjadikannya suami.

“Menurut Kak Zaki, siapa orang yang sudah tega mencuri kesucianku ini?” tanyaku tiba-tiba dengan tatapan tetap tertuju kepadanya, ingin membuktikan kecurigaan Mama terhadapnya.

Wajah Kak Zaki tak bereaksi, ia hanya menggeleng dengan tangan yang tetap menggenggam tanganku.

“Kakak nggak tahu, Dek, tapi anggap saja janin itu milik kita dan Kak Zaki akan bertanggung jawab kepadamu juga dia. Anggap saja, janin itu hadir untuk mempersatukan kita agar bisa selalu bersama.” Kak Zaki tersenyum.

“Kalau janin ini benih dari Kak Zaki, maka aku akan membenci Kakak selamanya karena hidupku hancur karenanya. Impianku untuk menjadi istri Mas Yuta sudah hancur, Kak.” Aku menatapnya tajam.

“Sumpah demi Allah, bukan Kak Zaki yang telah mencuri kesucianmu, Dek. Tapi Kak Zaki mau bertanggung jawab dan menikahimu.” Dia kembali mengatakan hal itu walau aku sudah jengah mendengarnya.

Aku terdiam sesaat.

“Aku mau Kak Zaki mencari pencuri itu!” ujarku lagi dengan menarik tanganku dari genggamannya.

“Iya, nanti akan Kak Zaki selidiki semua ini tapi kamu jangan berniat untuk bu-nuh diri lagi!” Dia mengusap dahiku.

“Tapi aku t a k  m a u  a n a k  ini!” Ku-pu-kuli perut ini dengan geram.

“Jangan bu-nuh dia, kasihan, dia tak berd*sa!” jawab Kak Zaki dengan sambil mengusap perutku.

Agghh ... kepalaku sakit memikirkan ini semua.

“Aku mau tidur, Kak!” lirihku jengkel karena melihat tingkahnya yang seperti menginginkan anak ha-ram ini, bagaimana Mama tak menuduhnya, coba? Aku juga jadi curiga kepadanya.

“Iya, tidurlah, Kakak akan tetap di sini, menjagamu!” jawabnya tetap lembut seperti biasanya.

Kak Zaki, tersangka utama memang dia sebab hanya dia laki-laki asing di rumah walau statusnya saudara angkatku. Kalau dia memperkosaku saat tidur, tak mungkin aku tak sadar. Bisa jadi, dia memberiku obat tidur atau semacamnya. Agghh ... tapi kayaknya nggak mungkin dia, tujuannya untuk apa coba? Dari dulu sampai sekarang, dia memang menyayangiku, begitu juga aku. Dia adalah kakakku. Aduh, aku pusing.

***

Setelah tiga hari di rumah sakit, aku dibawa pulang juga. Entah apalagi rencanaku selanjutnya, belum terpikirkan juga. Mau bu-nuh diri juga nggak bisa, sebab sudah dua kali gagal. Oke, akan kulahirkan anak ini lalu mem-bu-nuhnya. Hah, mungkin ini yang akan lebih menyenangkan. Aku tersenyum sendiri, lalu tertawa walau hati masih terasa perih atas semua ini.

“Vaulin, Yuta sudah mengirimkan gugutan cerainya. Kamu tanda tangani saja dan kabulkan keinginannya. Hubungan Papa dengan Papinya juga sudah berantakan, dia marah besar kemarin.” Papa duduk di sampingku dengan membawa sebuah kertas dalam map berwarna cokelat.

“Setelah Vaulin resmi bercerai, lalu apa rencanamu, Malik? Apa kamu tetap tak setuju menikahkan Vaulin dengan Zaki?” Mama muncul di hadapan kami lalu duduk di hadapanku dan Papa.

“Apa kamu masih mau menuduhkan Zaki anak hasil sel*ngk*hku, Della! Pikiranmu terlalu pi-cik!” ketus Papa.

“Stop, berhenti ribut! Masalah yang sedang kuhadapi ini sudah berat, kalian jangan menambah runyam!” bentakku kesal. “Sini yang mau ditanda tangani, aku siap bercerai dengan Mas Yuta!” sambungku dengan menunjuk map di atas meja.

Papa dan Mama terlihat saling pandang, aku ben-ci mereka yang tak bisa membantuku menyelesaikan masalah ini, bisanya hanya meributkan hal yang tak penting.

Papa segera meraih map itu, lalu memberikannya kepadaku. Tanpa menunggu waktu lagi, langsung kububuhi tanda tangan di kertas yang tak su-di untuk kubaca.

“Tunggu, Vaulin, masalah ini belum menemui titik terang!” panggil Mama saat aku sudah beranjak dari sofa ruang tengah dan melempar map itu ke meja.

“Apalagi, Ma? Nikahkah saja aku dengan Kak Zaki, biar kalian puas!” jawabku ketus karena emosiku benar-benar tak terkontrol sejak keluar dari rumah sakit.

“Masalah siapa yang akan menikahi Vaulin, akan kita bicarakan setelah keputusan cerai juga masa iddahnya habis!” jawab Papa sambil meraih map itu.

Mama terlihat siap menyemprot Papa kembali, entah dengan tuduhan apalagi. Aku tak mau mendengarnya, langsung kulangkahkan kaki menuju anak tangga. Dari omongan Papa, sepertinya dia tetap tak setuju menikahkan Kak Zaki denganku. Aku juga nggak mau sebenarnya menikah dengan Kakak sendiri, entah apa juga rasanya walau dia baik sekali kepadaku. Apakah Kak Zaki benaran anak selingkuhan Papa? Aku mulai ketularan pikiran Mama.

Bersambung .... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status