Hamil di Malam Pertama
Bab 4 : Bunuh Diri
“Zaki, apa benar kalau kamu yang telah menghamili Vaulin?!” Papa menatap tajam ke arah Kak Zaki, anak angkatnya yang kini sudah berusia 28 tahun itu.
Kini semua mata tertuju kepada pria berkemeja cokelat itu, yang kesehariannya bekerja di kantor Papa. Raut wajahnya terlihat menegang, apa benar Kak Zaki yang telah menghamiliku? Aku menanti jawaban dari mulutnya dengan jantung yang berdebar kencang.
“Kalau Mama dan Papa mau saya menikahi Vaulin, saya bersedia,” jawabnya dengan menatap ke arah Mama dan Papa.
“Nah, kan, akhirnya mengaku juga!” Mama bangkit dari tempat duduknya dan memukul wajah Kak Zaki dengan geram.
“Demi Allah, Ma, bukan Zaki yang menghamili Vaulin tapi Zaki bersedia menikahi Vaulin nanti ... jika urusan cerainya dengan Yuta telah beres,” jawab Kak Zaki yang membuat tuduhan Mama luntur seketika.
“Jangan bohong kamu! Mengaku saja!” hardik Mama lagi dengan mendaratkan pukulan keduanya di wajah kakak angkatku itu.
“Maaf, Tuan, Nyonya, ada Mas Yuta dan kedua orangtuanya di ruang tamu ....” Bik Ijah berbicara dengan takut-takut kepada Papa.
Papa mengangguk dan menyuruh Bik Ijah untuk pergi.
“Aku mau menemui keluarga Hardinata, apa kamu mau ikut ke ruang tamu atau tetap di sini dengan menuduh Zaki atas hal yang tak dilakukannya?” Papa melirik tajam Mama lalu melangkah menuju ruang tamu.
Mama terlihat menghela napas panjang, lalu mengekor di belakang Papa. Sedangkan aku memilih untuk naik ke kamarku karena masalah ini takkan bisa terselesaikan jika Mama dan Papa malah bertengkar hal yang lainnya.
Dengan setengah berlari aku menaiki anak tangga, Mas Yuta datang ke sini pasti dengan membawa surat cerai. Aku telah resmi dicampakkan di malam pertama pernikahan. Takdir ini sungguh gila, ditambah juga dengan kenyataan kehamilan ini. Hanya satu cara jalan penyelesaian dari semua yaitu membuat nama Vaulina tiada. Dari pada hidup hanya menanggung masalah akan kesalahan yang tak pernah kulakukan, lebih baik kuakhiri saja hidup.
Dengan cepat, segera kucari pisau cutter di laci, sebagai alat untuk mengakhiri hidup ini. Selamat tinggal semuanya, selamat tinggal masalah juga beban hidup. Aku memilih mati dari pada terus tersiksa akan semua derita.
“Jangan, Dek!” Kak Zaki tiba-tiba sudah berada di kamar, dia merebut pisau cutter yang sudah siap kubenamkan ke pergelangan tangan.
“Kak!” teriakku marah dengan menatap nanar kepadanya.
“Jangan lakukan ini, Vaulin, jangan mengakhiri hidupmu dengan cara begini!” Kak Zaki memelukku.
Tangisku kembali pecah di pelukan Kak Zaki sambil memukuli dadanya karena ulahnya yang telah menggagalkan cara penyelesaian masalahku.
“Jangan melakukan hal nekat seperti ini lagi! Kak Zaki akan ikutan bunuh diri juga kalau kamu mati. Masalah ini akan kita selesaikan bersama, Kakak akan menikahimu. Kita akan selalu bersama sampai kapan pun,” ujarnya yang membuatku melepaskan diri dari pelukannya dan menatapnya marah.
“Kenapa Kak Zaki mau menikahiku? Kita ini saudara, dan sudah sama-sama sejak kecil,” tanyaku menyelidik.
“Karena Kakak sayang sama kamu, Dek,” jawab sambil tersenyum.
“Apakah anak yang sedang kukandung ini ... benih Kak Zaki?” Kutatap tajam matanya, ini pertanyaan kedua setelah Mama tadi.
Kak Zaki menggeleng.
“Anggap saja ... anak yang sedang kamu kandung itu adalah pemberian Tuhan yang harus kita jaga, dan Kakak akan siap mendampingimu untuk menjaganya.” Kak Zaki meraih tanganku.
“Tidak, aku tak mau seperti itu. Aku tak mau anak ini, aku juga tak mau menikah dengan siapa pun lagi!” teriakku dengan menjatuhkan barang-barang di kamar, aku mengamuk. Agar rasa sakit hati berlawanan.
“Vaulin, sudah! Jangan seperti ini!” Kak Zaki kembali memelukku dan berusaha menenangkan amukanku.
Tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki memasuki kamar dan aku langsung menoleh dan melepaskan diri dari pelukan Kak Zaki.
“Maaf ... lanjutkan saja, saya hanya mau ambil ponsel juga pakaian yang tertinggal.” Mas Yuta sudah berdiri di kamarku dan melihat adegan peluk-pelukan kami.
“Mas, maafkan aku .... “ Aku kembali mendekat kepadanya.
“Jangan meminta maaf lagi, anggap saja tak pernah terjadi apa pun diantara kita!” jawabnya sambil melangkah menuju nakas dan mengambil ponselnya, lalu menuju lemari lalu mengambil koper kecilnya.
Aku duduk di tempat, sambil menyeka air mata yang terus saja berjatuhan. Semuanya memang takkan bisa kembali seperti dulu lagi, hubunganku dengan Mas Yuta benar-benar sudah berakhir dan semua terjadi karena janin gaib yang ada di dalam perutku ini.
Kupukuli perut yang diagnosa hamil 3 bulan ini, aku benar-benar tak tahu lagi harus berbuat apa. Masa depanku sudah hancur, kehidupan bahagia takkan kutemui lagi dan semua karena kehamilan tanpa kuketahui siapa pelakunya. Dengan cepat, aku berlari masuk ke dalam kamar mandi, aku harus bisa mengakhiri hidup bagaimana pun caranya.
“Vaulin, buka pintunya, Dek! Kamu jangan melakukan hal yang macam-macam!” Terdengar teriakan Kak Zaki dari depan pintu kamar mandi.
Tak kuperdulikan teriakan juga pintu yang digedor olehnya, mataku kini sibuk mencari sesuatu yang bisa kujadikan alat bunuh diri. Mata ini langsung menangkap cairan perbersih lantai di pojokan dan langsung kuraih dengan cepat.
Selamat tinggal dunia, aku memilih mati dari pada tersiksa! Kubuka tutup botol itu dengan tergesa-gesa dan langsung menenggak isinya. Tak kuhiraukan bau menyengat, aku terus saja menenggaknya hingga akhirnya tubuh ini ambruk ke lantai kamar mandi hingga akhirnya aku tak ingat lagi apa yang terjadi.
Bersambung .....
Hamil di Malam PertamaBab 5 : Surat Cerai“Vaulin, bangun, Nak!”“Ya Tuhan, anakku.”“Dek, sadarlah, jangan tinggalin Kak Zaki!”Terdengar ada banyak suara di dekatku, ada yang memanggil namaku juga ada yang menangis. Apakah aku su-dah ma-ti dan sedang dima-kamkan? Aduh, sakit! Tapi mengapa aku masih merasakan sakit? Agghh ... tubuh ini terasa nyeri dari ujung rambut hingga ujung kaki. Apa kini aku sedang disiksa di ne-ra-ka karena hamil tanpa suami?“Dek, sadarlah!” Itu suara Kak Zaki, kakakku yang paling baik dan selalu mengutamakan kepentinganku.Kutarik napas panjang, lalu membuka mata perlahan dan menatap satu persatu orang yang ada di ruangan ini. Ada Kak Zaki, Mama, Papa juga Mas Yuta yang berdiri paling belakang. Mau apa dia? Bukankan aku sudah ia ceraikan? Aku mendadak muak melihatnya.“Syukurlah, Vaulin, kamu udah siuman. Zaki, cepat panggil dokter ke sini!”
Hamil di Malam PertamaPart 6 : Ingin Membunuhnya“Aku memang sudah tak setuju saat kamu membawa Zaki ke rumah ini, Malik! Akan tetapi kamu tak pernah mau mendengarkan omonganku dan sekarang lihatlah hasil perbuatanmu itu? Putri kita satu-satunya diperkosa secara diam-diam, mungkin Vaulin diberi obat tidur atau semacamnya!”“Dari dulu sampai sekarang pikiranmu masih saja kotor, Della. Tak mungkin Zaki melakukan perbuatan tercela itu kepada adiknya sendiri!”“Apa, adik?! Hah, akhirnya mengaku juga. Filingku selama 18 tahun ini terbukti juga, ternyata Zaki itu memang anak hasil perselingkuhanmu. Pantas saja kamu tak mau menikahkan Zaki dan Vaulin! Entah apa jadinya janin hasil hubungan sedarah itu?”“Della, berhentilah berbicara omong kosong! Kamu memang sakit jiwa, dasar psikopat!”“Hey, kalau aku psikopat, sudah kumutilasi beberapa salingkuhanmu itu, Malik!”‘Brakk&rsqu
Hamil di Malam PertamaBab 7 : Masa Iddah“Mas Yuta!” gumamku saat melihat pria yang menuduhku hamil setelah menggauliku itu.“Siapa, Dek?” Kak Zaki menoleh ke arah tatapanku.Air mata yang sudah mengering tadi mendadak berjatuhan lagi saat melihat mantan suamiku itu bersama wanita lain sedang bersantai di kafe pinggir pantai, walau saat ini mereka terlihat sedang bertengkar. Apa wanita itu pacar barunya? Aku mendadak pilu dan menyesali tragedi hamil anak setan ini.“Ayo pulang ah!” Kak Zaki kembali menggandeng tanganku menuju mobil kami.“Mas Yuta sama siapa itu, Kak? Siapa wanita itu? Apa dia sudah menemukan penggantiku?” Air mata semakin deras saja.“Biar saja, kamu tak perlu memikirkan dia lagi. Ayo kita pulang!” Kak Zaki menarik tanganku untuk masuk ke dalam mobilnya.Kak Zaki mulai menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mas Yuta, aku memang tak perlu memikirk
Hamil di Malam PertamaBab 8 : Menikah Karena AibHari ini Mama dan Papa akan menikahkanku dengan Kak Zaki, katanya demi menutupi aib. Cih, aib! Dikira hanya mereka saja malu akan omongan orang-orang, aku lebih lagi. Kutatap perut yang kian membuncit, yang membuatku kesesahan untuk bergerak dan membuatku risau akan gerakannya di dalam sana, entah anak siapakah dia? Sungguh menyebalkan sekali takdir ini, seenaknya saja Tuhan membuatku hamil tanpa kuketahui siapa pelakunya.‘Cekrek’Terdengar pintu kamarku dibuka seseorang dan itu ternyata Mama yang sekarang sudah mendapat gelar nenek sihir karena sepak terjangnya sekarang, yang masih saja suka marah tak jelas.“Nak, kamu udah mandi?” tanyanya lembut.“Udah, ada apa?” Kulirik tajam dirinya yang terlihat sudah rapi.Kuraih ponsel yang ada di samping bantal dan membuka game favoritku, yang biasa kumainkan setiap detik jika sedang bosan.“Ko
Hamil di Malam PertamaBab 9 : Peralihan Status“Kak, aku numpang tidur di sini, ya? ‘Kan udah sah juga walau masih drama,” ujarku saat Kak Zaki membuka pintu kamarnya setelah gedoran heboh dariku beberapa saat yang lalu.Mama dan Papa yang ternyata ikutan keluar dari kamar dan menatap aneh ke arah kami, tumben sekali mereka akur? Aku melengos kesal. Malam ini ‘kan malam pertamaku bersama Kak Zaki, walau kami masih masa penyesuaian pergantian status, dari saudara menjadi suami-istri. Lucu, bukan? Emang, aku aja geli menjadi pemeran utama dalam drama aneh ini.Kak Zaki terlihat menghela napas panjang tapi menuntunku masuk juga dengan wajahnya yang letih. Nih suami emang nggak ada akhlak, masa dia tidur di kamarnya sendiri tanpa mengajakku tidur bersamanya. Aku ‘kan bosan kalau cuma main game sendirian di kamarku, kalau mabar mungkin akan semakin seru.“Kak, sini ponselnya kudownlodkan game kesukaan aku! Biar kita
Hamil di Malam PertamaBab 10 : Mulai Menduga-duga“Janinnya sehat, ya, Bu, usianya 28 minggu. Panjangnya 40cm dengan berat satu kilo gram. Posisi kepala juga udah di bawah, udah bagus ini. HPLnya tanggal 10 Agustus, bisa maju dan bisa mundur,” jelas sang dokter yang kemungkinan besar adalah selingkuhan Mas Yuta itu.“Jenis kelaminnya, Dok?” tanya Kak Zaki dengan mata menatap layar monitor di sebelahku.“Hmm ... jenis kelaminnya perempun, Pak,” jawab Dokter itu lagi.“Alhamdulillah, anak kita perempuan nanti, Dek. Jadi kita mesti siapin yang serba pink ini.” Senyum Kak Zaki semakin mengembang saja.Aku hanya melengos kesal, apalagi saat melihat penampakanan bayi manusia di dalam layar monitor dengan metode USG 4 dimensi itu. Ternyata dia bukan anak setan yang tak berwujud, aku semakin sakit hati akan pemilik benih sialan ini. Agghh ... kutepis tangan dokter itu dan menatapnya berang.&ld
Hamil di Malam PertamaBab 11 : Mungkinkah?Dokter Yuta, Dokter Caroline, mungkinkah kedua manusia itu bersekongkol? Mungkinkah semua yang terjadi kepadaku adalah rencananya agar bisa menalakku tepat di malam pertama kami, dan membuat seolah aku yang bersalah. Padahal semua ini hanya akal-akalan dia agar tetap bisa bersama selingkuhannya.Sadis sekali dia kalau memang begitu skenarionya! Kalau dia memang tak mau dijodohkan denganku, lalu kenapa dia setuju dan kami juga sempat berpacaran setahun walau LDR. Katanya dia mencintai ketika pertama kali bertemu, tapi nyatanya apa ... semua itu hanya bulshit saja! Aku benci Yuta, dokter gila perawan itu!Air mata ini mulai membanjiri wajah, mengapa takdirku sepahit ini? Apa salah dan dosaku, Tuhan?! Kembali kupukuli perut ini, gara-gara bayi tak bertuan ini hidupku hancur.“Dek, kamu kenapa? Kok nggak tidur?” Kak Zaki yang langsung tertidur ketika kepalanya jatuh ke bantal tadi terlihat terkejut meliha
Hamil di Malam PertamaBab 12 : Bertemu Teman YutaJalanan lumayan ramai, aku jadi teringat game balap mobil yang baru kudownload tadi pagi. Sepertinya aku harus mencobanya di alam nyata, wuuss ... mobil putih milikku ini mulai melaju kencang dan menyalip kendaraan di depannya hingga banyak bunyi klakson dari arah depan juga belakang. Heran, manusia di bumi ini pada nyebelin. Apa aku harus pindah ke khayangan? Hahah ... menyenangkan sekali, berasa sedang terbang.Kupelankan laju mobil saat melewati taman kota yang di depannya terlihat jejeran aneka gerobak yang menjual jajanan. Ada cilok, cireng, siomay, bakso bakal, pentol kuah, aneka rujak dan aneka es. Wuuuhh ... air liur seakan mau menetes saja. Segera kuparkirkan mobil di dekat para gerobak pedagang itu, lalu menghampiri aneka cemilan yang mendadak membuatku lapar ini.“Bang, bungkus semuanya yang ada itu, satu jenis satu kantong!” ujarku.“Baik, Non!” jawab si ma