Share

Handa
Handa
Penulis: Henny Djayadi

1. Patah Hati

Pagi hari yang cerah di kota Semarang, seorang gadis berusia sekitar 22 tahun memasuki sebuah warung soto di pinggir jalan, hampir setiap pagi warung itu ramai oleh pengunjung yang hendak sarapan. Dia meletakkan tas ransel di kursi dekat gerobak, melepas jaket dan melipat asal lalu diletakkan di atas tas tersebut. Setumpuk mangkok kotor sudah menunggunya untuk segera dicuci. Karena memang sudah terbiasa, dengan gesit gadis itu mengerjakan pekerjaan tersebut, hingga tak butuh waktu yang lama pekerjaan tersebut sudah dia selesaikan.

Handayani Tunggadewi Gunadi yang biasa disapa Handa, setiap pagi membantu di warung soto tersebut. Warung soto milik Gunawan pakdhenya, orang yang merawat Handa selama ini. Tetapi karena hari ini Handa ada jadwal bimbingan skripsi dengan dosennya sehingga tidak bisa banyak membantu di warung tersebut seperti biasanya. Handa menatap ke jam dinding yang di pasang asal-asalan, lalu dia bergegas menuju tasnya berada.

"Han!" Gunawan meletakkan semangkok soto di atas meja. "Sarapan dulu, biar bisa mikir."

"Aduh," gumam Handa, pandangannya kembali ke arah jam dinding.

"Duduk! Makan! Cepet! Kebanyakan mikir nanti telat," perintah Gunawan, seakan tak ingin dibantah lagi.

Tak ada pilihan lain, akhirnya Handa duduk menikmati soto yang sudah dibuat Gunawan untuknya. Dengan segera Handa habiskan karena memang dia sudah hampir terlambat. Setelah selesai makan, Handa bergegas membereskan bekas makannya, lalu meraih tasnya dan berjalan menuju Gunawan untuk berpamitan sambil mencium punggung tangan sang pakdhe. Pria paruh baya yang sedang sibuk meracik soto dagangannya untuk melayani para pelanggan yang tampak masih banyak yang antri itu, melepas kepergian keponakannya dengan tatapan sendu.

***

Hari ini Handa ada bimbingan skripsi dengan Pak Alim dosen pembimbingnya, seorang dosen muda yang tampan dan masih lajang hidupnya pun sudah mapan. Perhatian Handa tampak tak fokus pada apa yang dijelaskan oleh sang dosen. Meskipun beberapa kali ia mengangguk dan mengatakan "Ya pak" tetapi matanya tampak lebih memperhatikan wajah Pak Alim yang tampak berwibawa dan penuh kharisma.

"Kita bisa lanjutkan bimbingan ini di kafe Han."

"Nggak usah Pak, nanti ganggu kerjaan." Handa menolak tawaran Pak Alim.

"Tapi saya bosnya," Jawab Pak Alim dengan sikap arogan, seakan ingin menunjukkan posisinya di kafe tempat Handa bekerja. "Biar cepat selesai Han." Nada bicara Pak Alim berubah lembut sambil tersenyum. "Atau jangan-jangan kamu sengaja biar bisa dekat dengan saya lebih lama?" Senyum Pak Alim menggoda Handa.

Handa tampak salah tingkah mendengar pertanyaan sang dosen dan hanya bisa menunduk menyembunyikan pipinya yang merona. Tak bisa dipungkiri jika selama ini Pak Alim sangat membantu Handa. Pak Alim bukan hanya dosen di kampus tetapi juga bos bagi Handa di kafe tempatnya bekerja. Bahkan biaya kuliah Handa sebagian besar Pak Alim yang membayar, meskipun dicatat sebagai kasbon karyawan dan dibayar dengan sistem potong gaji setiap bulannya.

Bukan hanya rupa yang membuat Handa tertarik dengan dosen pembimbingnya tersebut, tetapi kebaikan hati sang dosen yang sering memberi bantuan disaat menghadapi masalah, terutama masalah keuangan. Salahkah Handa berharap jika Pak Alim juga memiliki rasa yang sama dengan apa yang ia rasakan, apalagi dengan sikap Pak Alim yang sangat perhatian padanya selama ini, dan bagaimana tadi Pak Alim menggodanya dengan kata-kata yang sampai saat ini Handa bingung untuk menjawabnya.

"Kalau kamu cepat lulus, kita bisa seharian bersama Han, pastinya dengan status yang berbeda."

"Apa? M..maksudnya apa pak?" tanya Handa dengan tergagap, Handa tampak gugup menghadapi sikap Pak Alim yang terasa lebih agresif dari biasanya.

Tiba-tiba pintu ruangan Pak Alim terbuka, dan muncullah seorang wanita cantik nan elegan walaupun dengan dandanan yang sederhana. Dialah Bu Najwa, salah satu dosen yang juga merupakan anak dari pemilik yayasan. Dengan langkah yang anggun Bu Najwa berjalan memasuki ruangan sambil memamerkan senyumnya yang menawan.

Bukan hal yang mengejutkan bagi Handa, karena hampir setiap kali bimbingan dengan Pak Alim, Bu Najwa pasti datang seolah-olah tak rela jika melihat Pak Alim hanya berduaan bersama Handa. Bahkan pernah pada saat bimbingan, Bu Najwa memasuki ruangan bersamaan dengan Handa, dan dia hanya duduk manis menghabiskan waktu sambil memainkan ponselnya hingga bimbingan Handa selesai.

"Bagaimana skripsinya Han? Lancarkan? Bisa wisuda tahun ini?" Pertanyaan dari Bu Najwa yang bertubi-tubi membuat Handa bingung menjawabnya. "Setelah lulus rencananya mau kerja dimana Han?" Bu Najwa sudah memberi pertanyaan lagi meskipun pertanyaan sebelumnya belum dijawab Handa.

"Belum tahu Bu, fokus skripsi dulu." Jawab Handa sekenanya.

"Ayahku punya banyak kenalan, kalau kamu mau di luar Jawa ada banyak lowongon, dan untuk kedepannya sepertinya sangat menjanjikan."

Pak Alim terkejut dengan tawaran Bu Najwa kepada Handa, lalu mengalihkan pandangan kepada Handa hingga mereka saling berpandangan. Handa segera mengalihkan pandangannya, ia tampak canggung dan gugup menghadapi Bu Najwa yang seakan-akan ingin menjauhkan dirinya dari Pak Alim.

"Nanti saya pikirkan dan bicarakan dengan keluarga saya." Handa berusaha tersenyum kepada Bu Najwa.

"Masih banyak yang harus direvisi, saya mau ke perpustakaan dulu." Handa merapikan berkas-berkas dan memasukkan ke dalam tas ranselnya. "Permisi pak, bu!" Handa berpamitan dan segera pergi.

"Ya Han." Pak Alim tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

Pak Alim menatap Handa yang tampak tergesa-gesa meninggalkan ruangnya. Setelah Handa pergi, Pak Alim mengalihkan pandangannya ke Bu Najwa yang hanya membalas dengan menganggkat bahunya sambil menyebikkan bibirnya. Menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar, Pak Alim berusaha menenangkan hatinya.

***

Suasana perpustakaan yang tenang menjadi pelarian Handa dari suasana hatinya yang sedang kacau. Buku diktat tebal terbuka lebar di depannya, tetapi tatapan mata Handa tampak menerawang jauh entah kemana. Tangan kiri yang menyentuh dahi menyangga kepala, seakan menunjukkan beban berat yang dihadapi Handa.

Waktu berlalu dengan cepat, matahari sudah tinggi saat Handa keluar dari perpustakaan. Berjalan menuju pintu gerbang sendirian, tanpa sengaja mata Handa melihat kebersamaan Pak Alim dan Bu Najwa di dalam sebuah mobil mewah, mobil yang Handa ketahui sebagai mobil milik Bu Najwa. Saat mobil tersebut hampir mendekatinya, kaca jendela kiri seat depan tampak diturunkan, terpampang wajah cantik Bu Najwa dan tak lupa senyuman manisnya.

"Duluan ya Han!" Bu Najwa melambaikan tangannya pada Handa.

Handa hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Logika Handa berkata bahwa Bu Najwa sedang menunjukkan bahwa dialah sang pemenang yang berhasil mendapatkan cinta Pak Alim. Dia berusaha untuk tidak berprasangka buruk terhadap dosennya tersebut, anggap saja Bu Najwa adalah seorang yang sangat beruntung hidupnya, selain lahir di keluarga kaya, mempunyai fisik sempurna, dan kecerdasan di atas rata-rata tetapi tetap rendah hati dan tidak sombong, sehingga tetap menyapa mahasiswanya yang merupakan kaum pedestrian yang sehat dan tetap semangat. Di mata Handa, Bu Najwa telah memonopoli segala kenikmatan dunia.

Tak bisa dipungkiri Handa jika ada perasaan yang berbeda dengan Pak Alim. Tetapi Handa berusaha tetap realistis mengenai siapa dirinya dan siapa Pak Alim, belum lagi Bu Najwa yang cantik yang menjadi saingannya. Harta, tahta, dan wanita yang katanya adalah ujian utama bagi seorang pria, dan kini Handa harus bersaing dengan seorang wanita yang mampu memberi harta dan tahta. Mundur teratur perlahan-lahan, sambil menata hati agar tidak berantakan saat semua rasa tak berbalas, itulah yang akhirnya menjadi pilihan Handa.

Memasuki bus kota, tampak dua anak kecil sedang mengais rejeki dengan cara mengamen. Menatap mereka Handa merasa lebih beruntung karena tak perlu hidup di jalanan saat masih belia, bahkan dia masih bisa mendapatkan pendidikan yang baik, meskipun harus dengan bekerja keras. 

"Aku ngalah dudu mergo aku wes ra sayang

Aku mundur dudu mergo tresnoku wes ilang

Nanging aku iki ngerteni

Yen dirimu lebih sayang arek kae

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung di goleki pas atimu perih

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung dibutuhno pas atimu loro

Aku ngalah dudu mergo aku wes ra sayang

Aku mundur dudu mergo tresnoku wes ilang

Nanging aku iki ngerteni

Yen dirimu lebih sayang arek kae

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung di goleki pas atimu perih

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung dibutuhno pas atimu loro

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung di goleki pas atimu perih

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung dibutuhno pas atimu loro"

Bukan menjual suara tetapi lebih mengharap simpati dari para penumpang, karena suaranya tak merdu, permainan kentrung yang asal-asalan. Handa berusaha menikmati lagu itu, tetapi setelah reff yang diulang-ulang pada lagu yang dinyanyikan membuat dada Handa terasa tersayat-sayat. 

Bukannya merasa ada yang telah menyuarakan isi hatinya, Handa justru merasa tersindir oleh lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi Nella Kharisma tersebut. Hingga membuat Handa akhirnya menyimpan kembali uang receh yang tadi sudah ia siapkan, bahkan ia memilih untuk pura-pura tidur saat pengamen cilik tersebut menghampirinya. Rasa simpati yang tadinya ada seakan-akan menguap bersama cuaca panas kota Semarang.

Jiwa jomblo Handa meronta, seraya berdoa agar ada Satpol PP yang segera datang dan membawa kedua pengamen cilik tersebut ke Dinas Sosial. Tapi ternyata keberuntungan masih berpihak pada kedua pengamen cilik tersebut, karena sampai lagu selesai dan pengamen itu meminta imbalan pun tak tampak Satpol PP.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Rasa penasaranku akhirnya terobati
goodnovel comment avatar
Siti Maryam
akhirnya rasa penasaran ku terobati. bs baca kisah handa & satria.. tinggal2 anak2 mereka nih sm anak2 nadia & gio
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status