Di sebuah sudut kafe, seorang wanita muda nan cantik duduk dengan anggunnya, mengenakan mini dress berwarna mint dengan aksen ruffle yang cantik membuat penampilan Hanin semakin terlihat anggun. Polesan make up tebal dan lipstick dengan warna merah menyala sepertinya berhasil menutupi gurat-gurat kesedihan di wajahnya, hingga yang kini terlihat adalah kecantikan yang paripurna dari seorang Hanindya Maheswari Gunadi.Disesapnya perlahan vanilla cappuccino yang selama ini menjadi minuman favoritnya. Lagi-lagi dilihatnya jam tangan mewah pemberian Satria yang melingkar di pergelangan tangannya. Sepertinya Hanin sedang menunggu kedatangan seseorang. Berkali-kali pandangannya beralih pada pintu masuk, penuh harap sosok yang dia tunggu segera hadir di depannya.Dari kaca besar yang menjadi dinding kafe, pandangan Hanin memindai sebuah mobil mewah yang sedang parkir. Dahulu dia sering bepergian dengan mobil itu, duduk berdampingan sambil bercengkerama dengan sang pengemudi yang tak lain adal
Gemericik suara air yang keluar dari shower seakan mengiringi tangis pilu Hanin. Setelah mengulang pergulatan panas dengan Asta, kini yang tersisa tinggalah sebuah penyesalan. Sungguh Hanin tidak menduga jika akhirnya dia harus kembali terbuai rayuan mantan atasannya itu.Flashback :"Jangan terus kau pupuk kebencian di hatimu, Nin! Apalagi yang kau benci adalah keluargamu sendiri. Seburuk-buruknya papamu, dia adalah lelaki yang telah mengorbankan kesenangannya untuk mencari nafkah, untuk bisa memenuhi segala kebutuhanmu. Sedangkan Handa, dia tidak bersalah, dia tidak tahu apa-apa."Dharma dan Hanin duduk di lesehan di atas hamparan pasir putih, menikmati indahnya pemandangan di Pantai Ancol. Liburan sekolah tahun ini Dharma mengantar Handa ke Jakarta untuk melepas rindu dengan keluarganya. Dan kini mereka sedang menikmati liburan di Pantai Ancol."Mungkin karena Mas Dharma mempunyai keluarga yang sempurna, tidak seperti keluargaku.""Setiap orang, setiap keluarga pasti mempunyai coba
Dengan perlahan Handa meletakkan ponsel di samping laptopnya. Benda itu tak lagi bisa menghubungkan dirinya dengan Satria walaupun baru saja diisi ulang paket datanya. Terlihat jelas gurat kekecewaan dan kesedihan di wajah Handa, meskipun sejak awal Handa sudah menyiapkan diri jika akhirnya Satria akan meninggalkannya, tetapi tidak bisa Handa pungkiri jika sampai detik ini dirinya tetap tidak siap.Malam yang semakin larut membuat suasana hati Handa semakin tidak menentu. Sepinya malam menemani kesendirian Handa, rindu yang menggebu di hatinya seolah tak berbalas, saat Satria tak lagi bisa dia hubungi, mungkin saat ini suaminya sedang menghabiskan malam dengan yang lain. Dan yang paling menyakitkan bagi Handa, saat dia terbayang wajah cantik Hanin sedang berdua bersama suaminya.Handa mendengus kasar, sungguh dirinya tidak ingin berlarut-larut menghabiskan waktu dan energi dengan membayangkan suaminya sedang bersama wanita lain, karena halite hanya akan menambah rasa sesak di dada. In
"Han! Handa!" Handa terjingkat kaget saat dia mendengar suara Bu Najwa yang cukup keras memanggil namanya.Panggilan Bu Najwa akhirnya berhasil menyadarkan Handa dari lamunannya. Beberapa kali Handa menarik nafas panjang untuk mengembalikan kesadarannya. Dipandanginya sang suami yang kini berdiri tepat di samping Pak Alim. Beruntung semua hanyalah lamunan belaka, bagaiman seandainya Handa benar-benar mencium Satria di depan banyak orang, terutama tepat di depan mata Pak Alim dan Bu Najwa, tentu saja Handa akan merasa sangat malu dan mungkin akan memilih untuk tidak pernah datang ke kampus lagi.Ternyata panggilan Bu Najwa bukan hanya menyadarkan Handa dari lamunannya, tetapi juga berhasil mengalihkan perhatian Satria dan Pak Alim yang telah melangkah menuju ruang yayasan. Satria dan Pak Alim menghentikan langkah mereka. Dua pria itu akhirnya mengalihkan perhatiannya pada Handa yang sedari tadi masih bergeming di depan ruang yang biasa Pak Alim tempati.Pak Alim merasa bersalah, karena
Seperti biasanya, di saat hatinya bersedih, di saat hatinya sedang kacau, Handa akan menyibukkan dirinya dengan berbagai pekerjaan. Seperti hari ini, setelah dia melihat Satria di kampus, dan sikap suaminya yang seolah-olah tidak mengenalinya, Handa berusaha untuk segera melupakannya dengan melakukan semua pekerjaan rumah yang bisa dia lakukan. Gunawan, Laksmi dan juga Damar sudah sangat hafal dengan kebiasan Handa tersebut. Mereka akan membiarkan Handa yang tiba-tiba tenaganya akan berlipat ganda saat sedang galau, mungkin ini waktunya bagi mereka sedikit istirahat. Nanti akan ada waktunya Handa bercerita dan meminta pendapat pada mereka yang sudah Handa anggap sebagai orang tua dan kakaknya. Setelah motor yang ditumpangi Gunawan berhenti di depan rumah, Handa bergegas mengambil barang-barang belanjaan di dalam karung yang diikat dengan karet ban di jok belakang. Tampak pontang-panting Handa membawa masuk barang-barang belanjaan Gunawan tersebut. "Han! Yang itu biar Pakdhe yang ba
Rumah Gunawan sudah rapi, barang-barang belanjaannya sudah dimasukkan ke dalam kulkas. Gunawan akan libur jualan besok, tidak sopan rasanya saat ada tamu yang datang dia dan keluarganya sibuk sendiri membuat dagangan dan mengabaikan sang tamu."Apa dia akan membawa Handa pergi dari rumah ini?" tanya Laksmi pada Gunawan di sela-sela waktu dia membersihkan rumahnya. Tampak ada rasa kehilangan di sorot mata Laksmi. Bagi istri Gunawan itu, Handa sudah seperti anaknya sendiri. Dia tidak pernah membeda-bedakan Handa dengan anak-anaknya, bahkan mungkin Laksmi lebih dekat dengan Handa, karena mereka sering menghabiskan waktu bersama di warung dan juga saat memasak. Handa menjadi tempat Laksmi berkeluh kesah tentang kenakalan kedua anak lelakinya dan juga atas sikap Gunawan yang kadang-kadang menyebalkan. Untuk urusan pekerjaan rumah, Handa sangat cekatan, tanpa disuruh gadis itu sudah tahu apa yang harus dia lakukan, sehingga keberadaan Handa di rumahnya selama ini sangat membantu Laksmi."D
"Astagfirullah!" seru Handa saat dia melihat ponselnya sudah berada dibawah kakinya, Handa yang memasuki kamar dengan terburu-buru menginjak ponsel yang berada di dekat kasurnya. Dia segera memungut ponselnya yang nyaris hancur, Handa tampak lemas tak berdaya saat menjatuhkan bobot tubuhnya di tepian kasur. Segala rasa campur aduk di hati Handa, karena selain menjadi satu-satunya alat komunikasi andalannya, di ponsel itu ada menyimpan banyak data-data penting. "Ada apa, Han?" Satria segera bangun dari kasur yang biasanya digunakan oleh Handa untuk istirahat, dengan apiknya dia pura-pura baru bangun dari tidur dan terkejut melihat keadaan ponsel sang istri yang sudah hampir hancur. "Bagaimana bisa sampai sehancur itu?" tanya Satria dengan naifnya. Handa hanya terdiam sambil memperhatikan ponselnya, dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Seingatnya ponselnya dia letakkan di atas meja, bagaimana bisa berpindah ke bawah hingga akhirnya terinjak olehnya. Handa menga
Handa dan Satria keluar dari gerai resmi ponsel ternama, tangan kiri Handa sudah menenteng tas berlogo sebuah merk ponsel ternama tersebut sedangkan tangan kanannya berada dalam genggaman Satria. Langkah Satria yang lebar membuat Handa setengah berlari untuk mengimbanginya, tampaknya dia sedang buru-buru atau mungkin sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu berdua dengan istrinya.Di dalam mobil, Handa mulai memasukkan kartu SIM ke dalam ponsel barunya. Setelah semua data sudah dipindahkan, Handa ingin menghubungi Pak Alim untuk kembali meminta ijin karena dia tidak bisa masuk kerja hari ini. Saat dilihatnya panggilan terakhir yang masuk ternyata dari Pak Alim, ada rasa takut yang tiba-tiba menyusup di dalam hatinya. Handa segera mengubah nama kontak yang semula "Dosen Ganteng" dia ganti dengan nama "Pak Alim" dalam hati dia berharap sang suami tidak pernah mengetahui atau membaca nama kontak yang dia berikan untuk dosen pembimbingnya tersebut."Mau menghubungi siapa?" tanya Satria