Share

four; all i ask

Nadiar menghela napas untuk menenangkan dirinya. Ia lalu melepaskan pelukannya dari laki-laki yang kini bersamanya di dalam lift. Tangan Nadiar menarik jas lelaki itu, sedangkan ia melangkah mundur dan kembali menyandarkan tubuhnya di dinding lift. "Hey, sini dong! Gue takut, tau!!" suruhnya saat sadar tubuh lelaki itu masih terpaku di tempat.

"Lepas."

Nadiar cemberut mendengar suara dingin itu. Ia lalu menghempaskan pegangannya di jas lelaki itu dengan sebal. Mata Nadiar kemudian menatap sekelilingnya yang gelap, membuatnya berdecak sebal. "Ini lift kenapa, sih? Perusahaannya elit, tapi liftnya gak elit."

Sesaat setelah mengatakan hal tersebut, cahaya muncul saat lelaki yang bersama Nadiar menyalakan ponsel dan terlihat mengutak atik layarnya. Nadiar lalu mengambil ponsel di tasnya, kemudian menyalakan flash agar mendapat cahaya lebih banyak.

"Halo?"

Tatapan Nadiar beralih pada lelaki itu. Ternyata, lelaki itu sedang menelfon. Nadiar lalu mendekat dan berdiri tepat di samping lelaki itu.

"Saya terjebak di lift," ucap lelaki itu dengan dingin dan tegas. "Bereskan."

Dingin banget, pak, batin Nadiar berkomentar. Omong-omong, Nadiar belum memperhatikan lelaki itu dengan seksama. Jadi, ia kemudian mengangkat wajahnya agar dapat melihat wajah lelaki itu.

Dan Nadiar terpaku melihat betapa tegas rahang lelaki itu. Kulitnya putih dan bersih. Tidak ada kumis, ataupun jenggot. Alisnya tebal dan matanya sempurna dengan bulu mata lelaki itu yang panjang. Satu kalimat yang dapat mendeskripsikan lelaki yang baru di temui Nadiar itu, "Ganteng bangett."

Wajah yang sedang di tatap Nadiar itu menoleh dan balik menatap Nadiar. Dingin.

Nadiar tidak menghentikan pandangannya. Begitupun sebaliknya. Mengetahui lelaki itu terpaku pada Nadiar, Nadiar mengedipkan sebelah matanya dengan genit.

Mata lelaki itu mengedip cepat, sedangkan bahunya sedikit terangkat dengan kaget.

Melihatnya, Nadiar tertawa kencang. "Lo lucu banget, sih!"

Lelaki itu menatap Nadiar dingin, lalu menyimpan ponselnya di saku jas.

Nadiar berdecak sebal. "Tapi, sayang dingin," ucapnya, di balas dengan dengusan sinis. "Eum, ngomong-ngomong, gue karyawan baru disini," Nadiar kembali menambah topik pembicaraan, dan respon yang diberikan lelaki itu hanya menoleh,lalu kembali membuang pandangannya. Nadiar tidak menyerah. Ia lalu tersenyum lebar. "Lo tau? Jabatan gue lumayan lohh."

Respon sekali lagi dari lelaki itu. Yaitu, mengedikan bahu dengan acuh.

"Hey, gue ntar jadi sekertaris Presdir lo!" Nadiar berucap semangat. Namun, reaksi lelaki itu hanya diam. Tidak ada kaget-kagetnya. Nadiar mendengus. "Nama gue Nadiar Gabriela Putri. Kalo lo?"

"Alvis."

Nadiar cemberut lagi mendengar kedinginan lelaki itu. "Nama panjangnya apa? Jangan jawab Alviiiiiissss. Karna gue tau itu cuma lawakan."

"Lucifer Gideon." jawab lelaki itu sambil menatap Nadiar lekat, seolah menunggu respon yang di tunggu dan diharapkan lelaki itu.

Mata Nadiar membulat kaget. "Alvis Lucifer Gideon, gitu?" tanyanya, dan Alvis masih menatap Nadiar lekat. Mulut Nadiar menganga lebar. "Gila!! Lo kebalikan nama tengah gue, ya? Kalo Gabriel adalah malaikat terkuat, Lucifer itu iblis terkuat. Bener, kan?"

Tatapan Alvis yang tadinya ada sepercik binar penasaran kini kembali datar dan Alvis kembali membuang pandangannya dari Nadiar.

Nadiar cemberut karena tidak mendapatkan respon yang di harapkan. Padahal, Nadiar ingin lelaki itu excited dan bilang, "Oh ya? Oh, gue baru tau lohh. Lo tau darimana? Ih, kok bisa tau gitu, sih?? Kok nama kita bisa gitu sih??" Atau yang lainnya. Lah ini? Cih, dingin!

Namun, Nadiar tidak menyerah. Ia memutar otak, mencari topik lainnya yang bisa membuat lelaki itu merespon. "Lo tau, gak, kenapa gue meluk lo barusan?"

"Gelap."

Nadiar menggeleng cepat. "Salah," balasnya, dan berhasil membuat lelaki itu menoleh pada Nadiar. Hal itu sukses membuat Nadiar tersenyum lebar. "Karna kaget, lah! Semisal, nih, ya, kalo gue ngeliat film horor, trus tiba-tiba ada setannya, kan gue teriak, tuh! Nah itu karna kaget, bukan takut."

Alvis mendelik, lalu kembali membuang pandangannya.

Nadiar mendengus sebal. Keterlaluan! Nadiar dulu punya mantan yang sifatnya dingin. Tapi, gak gini-gini amat, ah. Seenggaknya, si mantannya itu masih bisa senyum walaupun semilidetik dan sepercik. Lah ini? Mendelik, buang muka, trus mendengus doang. Apa Nadiar kurang manis, ya? Apa karena dadanannya yang tante, lelaki ini jadi malas respon?

Nadiar cemberut karena pemikirannya itu. Nadiar lalu menatap ponselnya, dan menyadari bahwa ini sudah 10 menit. Dan Nadiar, telat 3 menit. Mengetahuinya, Nadiar menghela napas panjang. "Gue telat 3 menit nih," ucapnya, lalu berdecak. "Si gendut marah, gak, ya?"

Dan pertanyaan itu, sukses membuat Alvis menoleh dengan raut penasaran.

Nadiar tersenyum. "Gue lagi ngomongin bos kita. Menurut abang gue, yang namanya bos itu pasti gendut, kumisnya tebel, punya jenggot panjang, dan mukanya nyeremin. Kalo ngomong, pasti muncrat dan kalo marah pasti omongannya pedes dan seenak udel. Apa bos di sini kaya gitu juga?"

"Internet."

Nadiar sempat diam beberapa saat sebelum mencerna ucapan Alvis. "Maksud lo, gue harus searching, gitu?"

Alvis menganggukan kepalanya sekali.

Nadiar nyengir. "Gue gak punya aplikasi browser. Hape gue penuh aplikasi kekinian sama medsos," ujarnya, namun Alvis tetap diam tak merespon. "Apa dia punya IG?"

Nadiar lalu memutuskan untuk membuka aplikasi Instagram miliknya. Ia kemudian menekan simbol eksplor. Setelah itu, dia terdiam karena tidak tahu kata apa yang harus dia ketik.

Nadiar lalu menoleh pada Alvis. "Al, lo tau gak nama bos kita?"

Alvis tidak menjawab. Hanya menatap Nadiar lekat-lekat dengan matanya yang agak memincing. Dan Nadiar baru sadar jika mata Alvis benar-benar bagus. Dalam artian, indah. Warnanya coklat kemerahan, dan Nadiar baru saja berpikir bahwa lelaki dihadapannya kini adalah lelaki yang paling sempurna di dunia. Dan hal itu, membuat Nadiar mengingat Jungkook.

Kalau Jungkook dulu Nadiar pikir adalah lelaki yang paling sempurna di dunia, Alvis adalah lelaki paling sempurna di muka bumi.

"Gila, ganteng banget lo," ucap Nadiar gemas sambil menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tahan gue, tahan! Siapapun, tahan gue supaya gak bawa anak orang balik!!, batinnya berteriak.

Guncangan dalam lift membuat tatapan keduanya beralih. Lift kembali bercahaya dan naik menuju lantai yang mereka tuju. Pintu lift terbuka, dan Nadiar langsung berucap hamdallah dalam hati.

Alvis merapikan jasnya, lalu melangkah keluar lift. Nadiar ikutan melangkah keluar, lalu celingukan karena tidak tahu di mana ruang CEO di sini. Nadiar lalu memutuskan untuk berlari menyusul Alvis dan berjalan di samping lelaki itu. "Al, lo tau, gak, ruangan bos lo di mana?"

Alvis tidak menjawab dan malah mempercepat langkahnya. Nadiar mencoba menyamakan langkah agar bisa sejajar dengan Alvis.

"Al, jawab dong," ucap Nadiar agak terengah karena kesusahan menyamakan langkah panjang Alvis dengan langkah pendek Nadiar karena memakai heels. "Al, ih!"

Alvis lalu berhenti di sebuah ruangan dengan pintu panjang. Lelaki itu menoleh pada Nadiar. Tatapannya dingin saat berucap, "Selamat bergabung di perusahaan kami, Nadiar. Perkenalkan, saya Alvis Lucifer Gideon, CEO sekaligus Presdir perusahaan ini."

Jantung Nadiar berhenti saat itu juga. Matanya melotot sedangkan mulutnya menganga lebar. Satu kalimat yang dapat ia ucapkan mendapati kesialan ini, "Mampus gue."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status