Share

bab 2

last update Last Updated: 2024-06-02 22:22:45

"Coba lihat, Rat!"

Mbak Dita menarik tanganku hingga kantung plastik yang aku genggam terlepas. Jatuh semua isinya di lantai. Untung saja gula masih utuh meski terbentur dengan lantai keramik.

"Nah bener, kan, Pa." Mbak Dita tersenyum sinis. Tatapan mengejek ia layangkan padaku.

Aku tahan air mata yang hendak berseluncur bebas lalu mendarat di pipi. Biarlah mereka berbicara sesuka hati. Toh memang benar hanya gula dan teh yang mampu kuberikan untuk ibu.

Aku mengambil satu persatu isi kantung plastik dan meletakkannya di atas meja, tepat bersebelahan dengan hempers pemberian Mas Seno dan Mas Jaka. Langkah tanganku seketika berhenti kala melihat tiga hempers untuk ibuku.

Dari sini aku paham, hanya aku yang tidak mampu memberikan hantaran lebaran terbaik. Aku anak yang belum bisa membahagiakan orang tua.

"Kenapa, Rat? Baru sadar jika hantaran lebaran kamu yang terburuk? Harusnya sebagai anak perempuan satu-satunya kamu bisa memberi lebih baik, Ratna."

Aku membisu, perkataan Mbak Dita menampar telak diri ini. Sungguh aku tak sanggup memberikan yang terbaik.

"Ayo, Rat!"

Mas Bima mengangkat tubuhku, mengajakku duduk di kursi kayu dekat pintu. Dia mengelus pundak, mengatakan sabar berulang kali.

Aku mengangguk, meski batin remuk, tak berbentuk. Aku tak menyangka keluargaku sendiri yang menghina kami.

Apa kuli bangunan dan buruh cuci begitu hina di mata mereka?

Aku dan kedua kakakku memang berbeda. Dari dulu ibu selalu mementingkan mereka dibandingkan aku. Entah apa alasannya hingga ibu membedakan kasih sayangnya.

Baik Mas Seno dan Mas Jaka disekolahkan hingga sarjana. Sedangkan diriku hanya tamat SMA. Ibu bilang anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi, karena pekerjaannya hanya di rumah. Bukan seperti anak lelaki yang harus dituntut bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Ah, jangankan masalah sekolah. Masalah makan pun ibu sering kali membedakan. Entah aku ini anak kandung atau bukan?

"Kamu sudah datang, Rat?" tanya ibu yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.

Perempuan paruh baya itu melangkah seraya membawa nampan berisi lima gelas minuman berwarna merah.

"Kamu buat sendiri ya, Rat. Ibu gak tahu kalau kamu sudah datang."

Aku menelan ludah dengan susah payah. Baru beberapa detik aku mengatakan dalam hati. Namun kini kalimat itu kembali terbukti, aku selalu dibedakan dari anak ibu yang lain.

"Itu yang kantung kresek dari kamu, Rat?" Ibu menunjuk kantung kresek berwarna hitam yang berjajar dengan parcel mewah milik Mas Seno dan Mas Jaka.

Ada yang berdenyut kala mendengar ibu mengatakan hal tersebut. Dari nada bicaranya, aku paham ... ibu tak menyukai hantaran lebaran yang aku berikan. Beginikah nasib anak yang tak pernah dianggap? Jangankan dipuji dan disuguhkan minuman, ucapan terima kasih saja tidak kudengar keluar dari bibir ibu.

"Aku buatkan minum dulu, Mas."

"Nanti dulu minumnya, Rat. Kita minta maaf dulu sama ibu. Kita kemari intinya untuk meminta maaf, kan? Bukan numpang makan apalagi gaya-gayaan," ucap Mas Bima.

"Siapa yang gaya-gayaan, Bim? Bilang saja kamu gak mampu belikan ibu parcel lebaran yang bagus. Kami tu gak gaya, tapi buktiin dengan nyata," jawab Mas Seno yang tersulut emosi mendengar perkataan suamiku.

Aku tahu Mas Bima tak bermaksud menyindir saudaraku. Tidak ada orang yang terus diam saja saat diinjak harga dirinya, termasuk suamiku.

Bertahun-tahun kami hanya diam ketika hinaan dan makian terdengar di telinga. Kami sadar ucapan mereka benar, aku tak mampu memberikan yang terbaik untuk perempuan bergelar ibu.

Aku dan Mas Bima menyalami ibu dan keempat saudaraku bergantian. Kami meminta maaf jika tanpa sengaja melakukan kesalahan. Namun bukannya senyuman yang kami dapatkan. Melainkan sebuah cacian karena kami dianggap mempermalukan keluarga.

Lebaran adalah momen yang tepat untuk saling memaafkan. Bukan justru menghina dan merendahkan.

"Kalian kapan kaya? Gak malu, selalu membuat ibu dan saudaramu menjadi terhina?"

Perih, teramat perih kata yang terdengar dari mulut kakak iparku. Ternyata aku tak lebih dari sampah di hadapan mereka. Harta lebih berarti dari darah yang mengalir di tubuh yang sama.

"Kita pulang yuk, Mas. Percuma datang kemari jika akhirnya kita tidak dihargai."

Aku melangkah mendekati Maa Bima. Aku tarik tangannya hingga ia beranjak dari kursi yang baru saja dia duduki. Untuk apa berlama-lama berada di rumah orang yang tidak menghargai cerih payah kami.

Mas Bima menghentikan langkah tepat di mulut pintu. "Katanya kamu rindu rumah, Dek? Mas gak papa kalau kamu masih mau di sini?"

"Enggak, Mas. Ini bukan lagi rumah yang aku rindukan. Rumah yang aku rindukan adalah tempat kita berteduh, bukan di sini."

Sejak bapak meninggal 1 tahun lalu. Rumah ini bukan lagi menjadi rumah yang kurindukan. Dulu hanya bapak yang selalu membelaku, lainnya hanya membisu dan mencaci sesuka hati. Apalagi yang harus aku rindukan? Tidak ada ... di sini aku hanya terluka.

"Jangan sombong kamu, Rat! Rumah kamu tidak lebih bagus dari gudang rumahku."

"Ayo pulang, Mas!" Aku tarik tangan suamiku.

"Tunggu, Ratna!" teriak ibu menghentikan langkah kaki kami. Kami pun menoleh ke belakang, menatap segerombolan orang yang tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu gak minum dulu? Pasti haus kan jauh-jauh ke sini. Nanti sekalian cuci piring ya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hantaran Lebaran   Bab 33

    "Kenapa diam saja, Dek?" tanya Mas Bima ketika kami berada di dalam mobil. Aku menghirup dalam, mencari pasokan oksigen untuk menghilangkan rasa sesak di dalam dada. Pemandangan yang beberapa menit kulihat mampu menghancurkan rasa empati yang sempat singgah. Dia mana rasa cinta yang dulu ia junjung tinggi? Ke mana larinya semua perhatian itu? "Dek, kamu kenapa? Mas perhatian sejak mengambil santan instan kamu hanya diam. Apa gara-gara gamis tadi?""Bukan, Mas. Tadi aku melihat Mbak Dita di depan rak kopi instan. Dia menggandeng mesra seorang pria. Dan itu bukan kakakku."Kembali kuingat bayang dua insan yang tengah tertawa bahagia. Apa pantas seorang istri tertawa bahagia saat suaminya berada di dalam penjara? Apa pantas dia melakukan itu pada Mas Seno. Aku dan Mas Seno memang tidak dekat. Namun entah kenapa aku merasa luka saat melihat Mbak Dita bersama lelaki lain. Mungkin karena kita sedarah. "Mbak Dita sama lelaki, Dek? Yang bener kamu?"Aku mengangguk, dan memilih menatap lur

  • Hantaran Lebaran   Bab 32

    "Tolong keluarkan Seno dari penjara, Ratna, Bima. Ibu mohon tolong bebaskan kakak kalian." Ibu bersimpuh di hadapan kami. "Berdiri, Bu. Jangan seperti ini!" Aku angkat tubuh ibu meski berat. Perlahan aku menuntun dan mengajak ibu duduk di sofa. "Tolong keluarkan Seno, Bima. Ibu yakin dia gak salah."Mas Bima menggeleng pelan. Sama halnya denganku, dia pasti tersinggung dengan ucapan ibu. Kalau Mas Seno tak bersalah, mana mungkin dia berada di dalam penjara. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa mengeluarkan Mas Seno dari penjara. Dia sudah terbukti menyalahgunakan dana pembangunan gedung untuk kepentingan pribadinya.""Tapi dia kakaknya Ratna, istri kamu, Bima. Kenapa kamu tega memasukkannya ke dalam penjara. Masalah ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan, kan? Kasihan Dita terus menangis."Ada yang terasa nyeri di sini, di hatiku. Dari dulu ibu selalu membela Mas Seno meski dia salah. Detik ini dia kembali melakukan hal yang sama. Demi kebebasan putra kandungnya, ibu rela bersimpuh di kaki

  • Hantaran Lebaran   Bab 31

    "Halo... Pak Bima masih bisa mendengar saya? Tolong ke kantor polisi secepatnya."Aku masih mematung, kalimat yang orang itu katakan bak angin lalu. Bayang Mas Seno kini menguasai isi kepalaku. Benarkan Mas Seno melakukan itu?"Sayang."Aku tersentak, ponsel dalam genggaman terlepas begitu saja. "Lho... lho, awas Dek!" seru Mas Bima seraya mengambil ponsel yang sudah tergeletak di atas lantai. "Rusak gak, Mas?" Mas Bima membolak-balikan ponsel di tangannya. Netranya menatap goresan di layar depan. Beruntung hanya pelindung layar yang retak, bukan LCD-nya yang rusak. "Gak papa, Dek. Kamu kenapa memangnya? Kok tadi melamun?" Mas Bima menjatuhkan bobotnya, kemudian mengambil cangkir dan menyeruputnya. Aku masih membisu. Tidak ada kata bahkan kalimat yang terlintas di kepalaku kini. Hanya sebuah tanya, kenapa? "Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Bima karena mulutku terus terkunci rapat. Aku menghela napas, menepis sesak yang memenuhi rongga dada. Tidak dapat kupungkiri, ada malu yang be

  • Hantaran Lebaran   Bab 30

    "Kenapa, Mbak?""Gak, Mbak gak kenapa-napa," jawabnya sedikit gugup. Paper bag ibu yang hendak ia ambil ia kembalikan lagi. "Mbak pulang dulu, Bu, Rat.""Kenapa buru-buru, Mbak?""Itu ... Mbak ada acara lagi."Mbak Dita berjalan sedikit cepat meninggalkan ruang keluarga. Aku sedikit heran dengan tingkahnya hari ini. Kenapa dia begitu tergesa-gesa meninggalkan rumah ibu setelah membahas gedung yang roboh. "Mbakmu kenapa, Rat?"Aku mengangkat bahu. "Ratna juga tidak tahu, Bu."BRUG! "Aduh... sakit!"Seketika aku berlari menuju sumber suara. Aku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Dalam sekejap tawa menggema hingga memancing ibu keluar dari singgasana. "Malah diketawain! Ditolongin dulu kek!"Seketika mulut ini bungkam. Tawa yang menggema hilang, menjelma keheningan. Dalam hitungan detik perasaan tak enak menelusup di dalam sini, sanubari. Aku segera mendekat, kemudian mengangkat pot yang sempat ia peluk seraya tiduran di lantai. Entah kejadian apa yang membuat Mbak Dita te

  • Hantaran Lebaran   Bab 29

    "Mana Bima! Tak becus mengurus pembangunan gedung. Harusnya Seno yang handle semuanya."Aku diam sesaat, mengatur kesal yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Lelaki itu tak mengerti arti adab dalam bertamu. Kata salam saja belum terucap, tapi justru makin yang keluar dari bibirnya. "Mari masuk, Pak. Kita selesaikan di dalam."Aku memutar badan, kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dengan sofa yang berjajar rapi menjadi tujuanku kini. "Silakan duduk, Pak!"Lelaki itu pun duduk tepat di hadapanku. Tak ada senyum ramah layaknya seorang tamu. Hanya tatapan tajam dan kemarahan yang dia berikan kepadaku, tuan rumah. "Mana Bima!""Maaf ada perlu apa Bapak datang kemari?""Bukan urusan kamu! Panggilkan Bima SE-KA-RANG!"Aku menghela napas. "Baiklah, tunggu sebentar."Aku beranjak dari sofa. Dengan sedikit kesal aku melangkah meninggalkan ruang tamu. Satu persatu anak tangga aku pijak hingga akhirnya sampai di kamar kami. Perlahan aku dorong gagang pintu. Tatapan pertama tertuj

  • Hantaran Lebaran   Bab 28

    "Kita ke proyek dulu ya, Dek," ucap Mas Bima. "Iya, Mas."Setelah sampai di Bandara, aku dan Mas Bima segera menaiki taksi. Kali ini bukan rumah yang kaki tuju, melainkan sebuah tempat di pusat kota. Lebih tepatnya sebuah gedung yang kini ditangani suamiku. Kami memutuskan mengakhiri liburan karena keadaan mendesak. Proyek yang ditangani Mas Bima mengalami masalah. Bangunan yang baru 60 % selesai itu tiba-tiba roboh. Ada beberapa korban luka-luka. Beruntung tidak tidak ada korban meninggal dunia. Namun kerugian ditaksir mencapai ratusan juta. Keheningan kembali tercipta di dalam mobil, seperti ketika kami berada di dalam pesawat. Mas Bima tenggelam dalam masalah proyek. Aku sendiri memilih diam, membiarkan dia dengan pikirannya sendiri. Karena sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu menahu bagaimana proyek bisa berjalan. Pikiranku tak mampu mencerna proses pembangunan gedung itu. Dari mulai desain hingga menjadi bangunan bertingkat. Herannya Mas Bima bisa mengert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status