Share

bab 3

last update Last Updated: 2024-06-02 22:23:56

"Kamu gak minum dulu? Pasti haus kan jauh-jauh ke sini. Nanti sekalian cuci piring ya."

Dalam hitungan detik amarah sudah mencapai ubun-ubun. Aku hendak melangkah mendekati perempuan yang telah membesarkanku itu. Akan aku jelaskan perasaan kesal dan amarah yang kutahan sejak lama. Namun genggaman tangan Mas Bima seolah memintaku untuk diam dan mengalah.

Entah terbuat dari apa hati suamiku. Cacian dan makian hanya ia anggap sebagai angin lalu. Mungkin di dunia ini hanya ada satu lelaki seperti itu, dan dialah suamiku.

"Maaf, Bu. Kami tidak haus. Kami permisi, Assalamualaikum," ucapku lalu kembali melangkah meninggalkan teras itu.

"Sombong, awas jika kamu meminta minum pada kami. Ibu atau aku tak akan memberi!" pekik Mas Seno.

"Sudah, ayo kita pulang," ucap Mas Bima seolah memintaku mengabaikan ucapan kakak sulungku.

"Ayo, Mas!"

Mas Salim segera memasukkan kunci dengan bandul tali tersebut. Sengaja bandulnya tali karena kunci terkadang lepas sendiri. Mungkin karena motor kami terlalu antik. Dia pun menyalakan motor tersebut. Namun hingga peluh membanjiri kening motor kami tak dapat menyala.

"Gimana, Bim? Gak bisa ya?" sindir Mas Jaka. Kakak keduaku itu melangkah mendekat ke arah kami.

"Sepertinya mogok lagi, Dek."

Aku tidak heran jika kendaraan roda dua ini berhenti begitu saja. Ini bukan kali pertama si biru merajuk. Terkadang masalah busi, ban bocor atau kehabisan bensin. Namanya motor tua, ada saja masalahnya.

"Makannya beli motor baru, Bim. Kalau bisa beli mobil."

"Aamiin, Mas. Makasih doa-nya. Siapa tahu kami segera membeli mobil."

"Kalau ngimpi mah jangan ketinggian, Bim. Nanti kalau jatuh sakit rasanya."

Aku dan Mas Bima hanya diam. Kami enggan menanggapi sindiran kakakku. Terlalu melelahkan jika beradu mulut dengan mereka. Mereka hanya bisa berbicara tanpa mengerti penderitaan yang kami rasakan.

"Sudah ayo, Dek! Kita tuntun saja motornya."

Aku mengangguk lalu melangkah di samping kiri Mas Bima. Kami berjalan beriringan meninggalkan halaman rumah ibu.

"Dibantu dorong gak nih!"

Tawa menggema di rumah itu. Mereka begitu bahagia saat kami ditimpa musibah. Seperti itukah arti sebuah keluarga?

"Kenapa mengerucut begitu, Dek? Itu bibir, kan ... bukan tutup dandang?" ledek Mas Bima. Lelaki yang telah hidup bersamaku selama 2 tahun ini tersenyum tipis. Dia berusaha menghibur saat amarah sudah memenuhi rongga dada.

"Mas gak kesel atau marah dengan hinaan keluargaku? Mereka keterlaluan, Mas!" Aku menyilangkan kedua tangan di dada. Bayang mereka tertawa puas kembali menari di pelupuk mata .

Entah apa kesalahanku hingga mereka memperlakukan kami serendah itu. Aku kira darah lebih kuat dari segalanya. Rupanya aku salah, harta dan tahta jauh lebih utama dari ikatan apa pun.

"Marah tentu, Dek. Siapa yang tidak marah jika harga dirinya diinjak-injak. Namun apa marah dapat membuat mereka sadar atas perbuatan mereka?" Mas Bima diam, dia kembali menatap diriku lekat. Sebuah tatapan yang mampu menyihirku.

"Iya Mas, tapi kan kesel."

Mas Bima mengalihkan pandangan, menatap depan sambil terus menuntun sepeda motornya. Ada sendu yang nampak di sana. Entah karena apa, aku tak tahu apa yang ia pikirkan kini. Karena suamiku tidak pernah menceritakan keluh kesahnya.

"Ayo jalan lagi, Dek. Keburu panas ini."

Kami berjalan perlahan sambil berbincang. Sepanjang kaki melangkah kulihat orang-orang berkumpul di rumah sanak saudara. Mereka tertawa bahagia di hari penuh kemenangan ini. Namun lihatlah, kebahagiaan itu tidak menyelimuti kami. Nyatanya justru keluarga yang menghina keterbatasan kami.

Tidak ada orang yang mau hidup susah, begitu pula kami. Hanya satu yang membuatku kesal, kenapa aku selalu dibedakan dan dikucilkan.

"Ratna ... Bima, mampir sini!" teriak seorang perempuan yang suaranya sangat familiar di telingaku.

Tanpa dikomando aku dan Mas Bima berhenti bersamaan. Kami menoleh ke sebuah rumah di kanan jalan. Seorang perempuan paruh baya melambaikan tangan ke arah kami. Kami membalikkan badan, menyeberang jalan kemudian berhenti di rumah Budhe Salimah. Dia adalah sepupu bapak.

"Motornya kenapa kok dituntun, Rat?" tanyanya sambil melirikku yang kelelahan berjalan. Peluh sudah membanjiri sekujur tubuhku. Entah bagaimana aroma tubuhku saat ini ... pasti sangat sedap.

"Biasa budhe mogok. Namanya juga motor antik," jawab Mas Bima sambil melengkungkan senyum.

"Pasti capek, sini istirahat dulu."

Budhe Salimah mempersilakan kami masuk ke rumahnya. Dengan sedikit ragu aku dan Mas Bima berjalan mengikutinya.

"Duduk dulu, Budhe buatin minum."

Aku dan Mas Bima duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati. Ukiran yang ada di kursi terlihat begitu indah. Ini kursi yang terbuat asli dari kota Jepara.

Sambil menunggu budhe, mataku tak henti memandangi ruang tamu ini. Beberapa pernak-pernik terpasang rapi di sudut ruangan dan dinding. Meski terlihat sederhana tapi bagus dan elegant.

"Diminum, Rat, Bim!" Budhe Salimah meletakkan dua buah cangkir berisi teh hangat di atas meja. Tepat di sebelah makanan ringan yang berjajar rapi

Sudah menjadi tradisi setiap lebaran selalu ada berbagai makanan ringan di atas meja. Sayangnya hanya di rumahku saja yang meja kosong tanpa makanan apa pun.

"Kok diem, diminum dulu. Pasti kalian haus. Dimakan juga yang ada di atas meja."

Aku dan Mas Bima segera menyeruput teh hangat tersebut. Dalam hitungan detik minuman itu telah habis tak tersisa. Bagaimana tidak habis, kami belum minum dari rumah hingga di sini. Sejak tadi kami menahan haus karena tak kami temui warung kelontong yang buka di hari raya begini.

"Kehausan atau gimana to, Rat?"

Aku hanya tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun.

Krucuk ... Krucuk....

"Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hantaran Lebaran   Bab 33

    "Kenapa diam saja, Dek?" tanya Mas Bima ketika kami berada di dalam mobil. Aku menghirup dalam, mencari pasokan oksigen untuk menghilangkan rasa sesak di dalam dada. Pemandangan yang beberapa menit kulihat mampu menghancurkan rasa empati yang sempat singgah. Dia mana rasa cinta yang dulu ia junjung tinggi? Ke mana larinya semua perhatian itu? "Dek, kamu kenapa? Mas perhatian sejak mengambil santan instan kamu hanya diam. Apa gara-gara gamis tadi?""Bukan, Mas. Tadi aku melihat Mbak Dita di depan rak kopi instan. Dia menggandeng mesra seorang pria. Dan itu bukan kakakku."Kembali kuingat bayang dua insan yang tengah tertawa bahagia. Apa pantas seorang istri tertawa bahagia saat suaminya berada di dalam penjara? Apa pantas dia melakukan itu pada Mas Seno. Aku dan Mas Seno memang tidak dekat. Namun entah kenapa aku merasa luka saat melihat Mbak Dita bersama lelaki lain. Mungkin karena kita sedarah. "Mbak Dita sama lelaki, Dek? Yang bener kamu?"Aku mengangguk, dan memilih menatap lur

  • Hantaran Lebaran   Bab 32

    "Tolong keluarkan Seno dari penjara, Ratna, Bima. Ibu mohon tolong bebaskan kakak kalian." Ibu bersimpuh di hadapan kami. "Berdiri, Bu. Jangan seperti ini!" Aku angkat tubuh ibu meski berat. Perlahan aku menuntun dan mengajak ibu duduk di sofa. "Tolong keluarkan Seno, Bima. Ibu yakin dia gak salah."Mas Bima menggeleng pelan. Sama halnya denganku, dia pasti tersinggung dengan ucapan ibu. Kalau Mas Seno tak bersalah, mana mungkin dia berada di dalam penjara. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa mengeluarkan Mas Seno dari penjara. Dia sudah terbukti menyalahgunakan dana pembangunan gedung untuk kepentingan pribadinya.""Tapi dia kakaknya Ratna, istri kamu, Bima. Kenapa kamu tega memasukkannya ke dalam penjara. Masalah ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan, kan? Kasihan Dita terus menangis."Ada yang terasa nyeri di sini, di hatiku. Dari dulu ibu selalu membela Mas Seno meski dia salah. Detik ini dia kembali melakukan hal yang sama. Demi kebebasan putra kandungnya, ibu rela bersimpuh di kaki

  • Hantaran Lebaran   Bab 31

    "Halo... Pak Bima masih bisa mendengar saya? Tolong ke kantor polisi secepatnya."Aku masih mematung, kalimat yang orang itu katakan bak angin lalu. Bayang Mas Seno kini menguasai isi kepalaku. Benarkan Mas Seno melakukan itu?"Sayang."Aku tersentak, ponsel dalam genggaman terlepas begitu saja. "Lho... lho, awas Dek!" seru Mas Bima seraya mengambil ponsel yang sudah tergeletak di atas lantai. "Rusak gak, Mas?" Mas Bima membolak-balikan ponsel di tangannya. Netranya menatap goresan di layar depan. Beruntung hanya pelindung layar yang retak, bukan LCD-nya yang rusak. "Gak papa, Dek. Kamu kenapa memangnya? Kok tadi melamun?" Mas Bima menjatuhkan bobotnya, kemudian mengambil cangkir dan menyeruputnya. Aku masih membisu. Tidak ada kata bahkan kalimat yang terlintas di kepalaku kini. Hanya sebuah tanya, kenapa? "Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Bima karena mulutku terus terkunci rapat. Aku menghela napas, menepis sesak yang memenuhi rongga dada. Tidak dapat kupungkiri, ada malu yang be

  • Hantaran Lebaran   Bab 30

    "Kenapa, Mbak?""Gak, Mbak gak kenapa-napa," jawabnya sedikit gugup. Paper bag ibu yang hendak ia ambil ia kembalikan lagi. "Mbak pulang dulu, Bu, Rat.""Kenapa buru-buru, Mbak?""Itu ... Mbak ada acara lagi."Mbak Dita berjalan sedikit cepat meninggalkan ruang keluarga. Aku sedikit heran dengan tingkahnya hari ini. Kenapa dia begitu tergesa-gesa meninggalkan rumah ibu setelah membahas gedung yang roboh. "Mbakmu kenapa, Rat?"Aku mengangkat bahu. "Ratna juga tidak tahu, Bu."BRUG! "Aduh... sakit!"Seketika aku berlari menuju sumber suara. Aku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Dalam sekejap tawa menggema hingga memancing ibu keluar dari singgasana. "Malah diketawain! Ditolongin dulu kek!"Seketika mulut ini bungkam. Tawa yang menggema hilang, menjelma keheningan. Dalam hitungan detik perasaan tak enak menelusup di dalam sini, sanubari. Aku segera mendekat, kemudian mengangkat pot yang sempat ia peluk seraya tiduran di lantai. Entah kejadian apa yang membuat Mbak Dita te

  • Hantaran Lebaran   Bab 29

    "Mana Bima! Tak becus mengurus pembangunan gedung. Harusnya Seno yang handle semuanya."Aku diam sesaat, mengatur kesal yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Lelaki itu tak mengerti arti adab dalam bertamu. Kata salam saja belum terucap, tapi justru makin yang keluar dari bibirnya. "Mari masuk, Pak. Kita selesaikan di dalam."Aku memutar badan, kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dengan sofa yang berjajar rapi menjadi tujuanku kini. "Silakan duduk, Pak!"Lelaki itu pun duduk tepat di hadapanku. Tak ada senyum ramah layaknya seorang tamu. Hanya tatapan tajam dan kemarahan yang dia berikan kepadaku, tuan rumah. "Mana Bima!""Maaf ada perlu apa Bapak datang kemari?""Bukan urusan kamu! Panggilkan Bima SE-KA-RANG!"Aku menghela napas. "Baiklah, tunggu sebentar."Aku beranjak dari sofa. Dengan sedikit kesal aku melangkah meninggalkan ruang tamu. Satu persatu anak tangga aku pijak hingga akhirnya sampai di kamar kami. Perlahan aku dorong gagang pintu. Tatapan pertama tertuj

  • Hantaran Lebaran   Bab 28

    "Kita ke proyek dulu ya, Dek," ucap Mas Bima. "Iya, Mas."Setelah sampai di Bandara, aku dan Mas Bima segera menaiki taksi. Kali ini bukan rumah yang kaki tuju, melainkan sebuah tempat di pusat kota. Lebih tepatnya sebuah gedung yang kini ditangani suamiku. Kami memutuskan mengakhiri liburan karena keadaan mendesak. Proyek yang ditangani Mas Bima mengalami masalah. Bangunan yang baru 60 % selesai itu tiba-tiba roboh. Ada beberapa korban luka-luka. Beruntung tidak tidak ada korban meninggal dunia. Namun kerugian ditaksir mencapai ratusan juta. Keheningan kembali tercipta di dalam mobil, seperti ketika kami berada di dalam pesawat. Mas Bima tenggelam dalam masalah proyek. Aku sendiri memilih diam, membiarkan dia dengan pikirannya sendiri. Karena sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu menahu bagaimana proyek bisa berjalan. Pikiranku tak mampu mencerna proses pembangunan gedung itu. Dari mulai desain hingga menjadi bangunan bertingkat. Herannya Mas Bima bisa mengert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status