Share

bab 5

last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-02 22:25:03

"Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"

Sindiran Mbak Dita mampu membuat semua pasang mata menatap ke arahku. Mereka menatap ujung kepala hingga ujung kakiku. Tatapan menelisik hingga membuatku merasa tak nyaman.

Apa yang salah dengan penampilanku saat ini? Aku masih menutup aurat. Pakaianku masih sopan dan layak digunakan. Ya, meski sudah kupakai beberapa kali.

"Suami kamu gak mampu membelikan pakaian baru, Rat? Sampai baju lebaran tahun lalu kamu pakai ke acara ini."

Aku terdiam dengan amarah yang nyaris meledak. Namun sekuat tenaga kutahan karena aku tidak ingin menciptakan keributan di acara ini.

"Memangnya kenapa kalau bajuku tak baru? Bukankah sama saja?"

"Memalukan kamu, Rat!"

Aku tersenyum datar, "akan jauh lebih memalukan ketika Mbak Dita kebingungan saat pakaian yang menumpuk di lemari dihisab kelak. Belum lagi tanggung jawab karena menyakiti hati adik ipar sendiri."

"Kamu!" Mbak Dita menatapku tajam, tangan kanannya pun mengepal. Seolah menunggu hitungan detik tangan itu melayang di pipiku.

"Ayo, Dit! Tak usah didengarkan ucapan Ratna. Dia banyak ngomong karena mampu beli." Ibu mengajak Mbak Dita masuk ke dalam rumah.

Sebenarnya yang anak kandung itu aku atau Mbak Dita. Kenapa ibu lebih membela menantu dari pada aku, putri kandungnya. Tanpa sadar bulir bening nan hangat jatuh membasahi pipi.

"Sudahlah, tak udah kamu pedulikan sikap ibu dan iparmu, Rat!"

Seorang perempuan paruh baya mengelus pundakku yang sedikit bergetar. Aku hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Lagi-lagi aku terluka karena ucapan keluargaku sendiri.

Tepat pukul 08.30 kami berangkat menuju rumah mempelai wanita. Kami berangkat menggunakan bus yang sudah disiapkan oleh keluarga mempelai lelaki. Aku dan Mas Bima merupakan salah satu orang yang memilih berangkat menggunakan bus.

"Nak Ratna ndak ikut ibunya naik mobil toh?"

"Enggak Budhe, naik mobil bagus takut mabok," jawabku sekenanya.

"Sabar," bisik Mas Bima seraya menggenggam tangan kiriku.

Aku tersenyum meski hati tercabik, remuk. Bukankah sudah biasa pura-pura bahagia, Ratna? Kenapa kamu terluka?

Sesampainya di kediaman mempelai wanita, kami pun keluar dan menunggu tak jauh dari tempat resepsi. Rombongan pengantin lelaki belum boleh masuk hingga saatnya tiba. Saat pengantin pria dibawa masuk ke dalam pelaminan. Entah apa nama tradisi ini, aku sendiri kurang paham.

Setelah diberi aba-aba, kami pun masuk ke dalam. Kami berjalan berbaris dua-dua, tidak ada yang berjalan mendahului seperti kendaraan di jalan raya.

Kursi-kursi plastik telah tertata rapi di halaman rumah yang lumayan luas. Ada pula kursi yang ditata di jalan depan rumah. Namanya juga resepsi pernikahan di kampung, depan rumah tetangga dan jalan pun bisa digunakan untuk tempat resepsi pernikahan.

Aku berjalan menuju kursi yang telah disediakan oleh pihak mempelai perempuan. Biasanya rombongan besan berada di dekat panggung pengantin. Benar saja, kami pun diarahkan untuk duduk di sebelah kiri dan depan panggung pengantin. Hanya saja antara lelaki dan perempuan tak duduk dalam tempat yang sama.

"Sini saja, Rat!" Budhe Sulastri menarik tanganku. Aku pun duduk tepat di sebelah perempuan paruh baya tersebut. Kami duduk di barisan kedua dari depan. Aku sendiri duduk di paling ujung, samping jalan kecil.

Satu persatu rombongan pengantin lelaki telah duduk di kursi masing-masing.

"Lah, kok deketan sama kamu terus tho, Rat! Aku sampai bosan. Tiap ketemu kamu lagi ... kamu lagi," seru Mbak Dita ketika menoleh ke belakang.

Ibu dan Mbak Dita memang duduk di barisan pertama, tepat di depanku. Sebenarnya aku sendiri enggan duduk berdekatan dengan mereka. Namun Budhe Sulastri yang memaksaku duduk di dekatnya.

Bukan hanya dia yang bosan, aku sendiri juga bosan selalu berdebat dengan ibu dan Mbak Dita. Aku lelah, biarlah mereka tak menganggapku asal hidupku dapat tenang.

"Aku juga males, Mbak. Tiap ketemu selalu mendengar suara tak mengenakan dari kamu."

"Gak mengenakan gimana? Selama ini ucapanku selalu benar. Memang kamu dan suamimu itu kismin, beli baju 100 ribu saja gak bisa. Lha bisamu ki ngapain?"

Aku diam, tak ada kata yang mampu keluar dari bibir ini. Perasaan sesak kian memenuhi rongga dada. Mungkin baginya uang 100.000 tidaklah berarti. Namun bagi kami uang itu mampu memenuhi isi perut dalam beberapa hari.

Andai dia berada di posisiku, aku yakin kata itu tak akan keluar dari bibirnya. Namun kenyataannya akulah yang hidup serba kekurangan.

"Diam to? Memang apa yang aku ucapkan itu benar, kalian hanya keluarga miskin!"

"Dita, gak usah didengerin. Lebih baik kita lihat pengantinnya yang cantik dan ganteng itu." Ibu menyenggol lengan perempuan di sebelahnya. Dia mengisyaratkan Mbak Dita untuk menyudahi perdebatan ini.

Dua perempuan yang duduk di depanku itu menatap ke panggung. Mereka kembali mengabaikan aku setelah berhasil menggoreskan lukas di relung hati.

"Sabar, ndak usah dipikirkan, Rat. Mereka sedang di atas angin hingga melupakan pohon tempat berteduh. Mereka akan menyesal saat pohon itu telah digunakan orang lain."

Aku mengangguk mesti hati berkemelut. Ini bukan soal pohon, melainkan soal hati yang tidak lagi dihargai.

Acara demi acara telah terselenggara dengan baik. Namun aku sama sekali tidak memperhatikan pernikahan ini. Aku terlalu sibuk berusaha menyembuhkan luka seorang diri. Hingga mengabaikan keadaan sekitar.

"Mbak tolong digeser minumannya," ucap seorang pemuda menyentak lamunanku.

Aku pun segera menggeser minuman dan makanan yang ia berikan hingga semua orang mendapatkan jatah masing-masing.

Sambil menikmati acara kami menikmati hidangan yang diberikan. Namun fokusku terusik oleh gerakan dua perempuan di hadapanku.

"Tadi kamu ambil dobel to, Dit?" bisik ibu tapi masih mampu tertangkap indra pendengaranku.

"Dobel aku, Bu. Ini dibawah meja."

"Masukkan dalam tas, Dit! Sebelum orang lain lihat!"

Aku menggelengkan kepala melihat sikap mereka. Katanya mampu bahkan kaya tapi rela mempermalukan diri sendiri demi sepiring makanan ringan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hantaran Lebaran   Bab 33

    "Kenapa diam saja, Dek?" tanya Mas Bima ketika kami berada di dalam mobil. Aku menghirup dalam, mencari pasokan oksigen untuk menghilangkan rasa sesak di dalam dada. Pemandangan yang beberapa menit kulihat mampu menghancurkan rasa empati yang sempat singgah. Dia mana rasa cinta yang dulu ia junjung tinggi? Ke mana larinya semua perhatian itu? "Dek, kamu kenapa? Mas perhatian sejak mengambil santan instan kamu hanya diam. Apa gara-gara gamis tadi?""Bukan, Mas. Tadi aku melihat Mbak Dita di depan rak kopi instan. Dia menggandeng mesra seorang pria. Dan itu bukan kakakku."Kembali kuingat bayang dua insan yang tengah tertawa bahagia. Apa pantas seorang istri tertawa bahagia saat suaminya berada di dalam penjara? Apa pantas dia melakukan itu pada Mas Seno. Aku dan Mas Seno memang tidak dekat. Namun entah kenapa aku merasa luka saat melihat Mbak Dita bersama lelaki lain. Mungkin karena kita sedarah. "Mbak Dita sama lelaki, Dek? Yang bener kamu?"Aku mengangguk, dan memilih menatap lur

  • Hantaran Lebaran   Bab 32

    "Tolong keluarkan Seno dari penjara, Ratna, Bima. Ibu mohon tolong bebaskan kakak kalian." Ibu bersimpuh di hadapan kami. "Berdiri, Bu. Jangan seperti ini!" Aku angkat tubuh ibu meski berat. Perlahan aku menuntun dan mengajak ibu duduk di sofa. "Tolong keluarkan Seno, Bima. Ibu yakin dia gak salah."Mas Bima menggeleng pelan. Sama halnya denganku, dia pasti tersinggung dengan ucapan ibu. Kalau Mas Seno tak bersalah, mana mungkin dia berada di dalam penjara. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa mengeluarkan Mas Seno dari penjara. Dia sudah terbukti menyalahgunakan dana pembangunan gedung untuk kepentingan pribadinya.""Tapi dia kakaknya Ratna, istri kamu, Bima. Kenapa kamu tega memasukkannya ke dalam penjara. Masalah ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan, kan? Kasihan Dita terus menangis."Ada yang terasa nyeri di sini, di hatiku. Dari dulu ibu selalu membela Mas Seno meski dia salah. Detik ini dia kembali melakukan hal yang sama. Demi kebebasan putra kandungnya, ibu rela bersimpuh di kaki

  • Hantaran Lebaran   Bab 31

    "Halo... Pak Bima masih bisa mendengar saya? Tolong ke kantor polisi secepatnya."Aku masih mematung, kalimat yang orang itu katakan bak angin lalu. Bayang Mas Seno kini menguasai isi kepalaku. Benarkan Mas Seno melakukan itu?"Sayang."Aku tersentak, ponsel dalam genggaman terlepas begitu saja. "Lho... lho, awas Dek!" seru Mas Bima seraya mengambil ponsel yang sudah tergeletak di atas lantai. "Rusak gak, Mas?" Mas Bima membolak-balikan ponsel di tangannya. Netranya menatap goresan di layar depan. Beruntung hanya pelindung layar yang retak, bukan LCD-nya yang rusak. "Gak papa, Dek. Kamu kenapa memangnya? Kok tadi melamun?" Mas Bima menjatuhkan bobotnya, kemudian mengambil cangkir dan menyeruputnya. Aku masih membisu. Tidak ada kata bahkan kalimat yang terlintas di kepalaku kini. Hanya sebuah tanya, kenapa? "Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Bima karena mulutku terus terkunci rapat. Aku menghela napas, menepis sesak yang memenuhi rongga dada. Tidak dapat kupungkiri, ada malu yang be

  • Hantaran Lebaran   Bab 30

    "Kenapa, Mbak?""Gak, Mbak gak kenapa-napa," jawabnya sedikit gugup. Paper bag ibu yang hendak ia ambil ia kembalikan lagi. "Mbak pulang dulu, Bu, Rat.""Kenapa buru-buru, Mbak?""Itu ... Mbak ada acara lagi."Mbak Dita berjalan sedikit cepat meninggalkan ruang keluarga. Aku sedikit heran dengan tingkahnya hari ini. Kenapa dia begitu tergesa-gesa meninggalkan rumah ibu setelah membahas gedung yang roboh. "Mbakmu kenapa, Rat?"Aku mengangkat bahu. "Ratna juga tidak tahu, Bu."BRUG! "Aduh... sakit!"Seketika aku berlari menuju sumber suara. Aku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Dalam sekejap tawa menggema hingga memancing ibu keluar dari singgasana. "Malah diketawain! Ditolongin dulu kek!"Seketika mulut ini bungkam. Tawa yang menggema hilang, menjelma keheningan. Dalam hitungan detik perasaan tak enak menelusup di dalam sini, sanubari. Aku segera mendekat, kemudian mengangkat pot yang sempat ia peluk seraya tiduran di lantai. Entah kejadian apa yang membuat Mbak Dita te

  • Hantaran Lebaran   Bab 29

    "Mana Bima! Tak becus mengurus pembangunan gedung. Harusnya Seno yang handle semuanya."Aku diam sesaat, mengatur kesal yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Lelaki itu tak mengerti arti adab dalam bertamu. Kata salam saja belum terucap, tapi justru makin yang keluar dari bibirnya. "Mari masuk, Pak. Kita selesaikan di dalam."Aku memutar badan, kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dengan sofa yang berjajar rapi menjadi tujuanku kini. "Silakan duduk, Pak!"Lelaki itu pun duduk tepat di hadapanku. Tak ada senyum ramah layaknya seorang tamu. Hanya tatapan tajam dan kemarahan yang dia berikan kepadaku, tuan rumah. "Mana Bima!""Maaf ada perlu apa Bapak datang kemari?""Bukan urusan kamu! Panggilkan Bima SE-KA-RANG!"Aku menghela napas. "Baiklah, tunggu sebentar."Aku beranjak dari sofa. Dengan sedikit kesal aku melangkah meninggalkan ruang tamu. Satu persatu anak tangga aku pijak hingga akhirnya sampai di kamar kami. Perlahan aku dorong gagang pintu. Tatapan pertama tertuj

  • Hantaran Lebaran   Bab 28

    "Kita ke proyek dulu ya, Dek," ucap Mas Bima. "Iya, Mas."Setelah sampai di Bandara, aku dan Mas Bima segera menaiki taksi. Kali ini bukan rumah yang kaki tuju, melainkan sebuah tempat di pusat kota. Lebih tepatnya sebuah gedung yang kini ditangani suamiku. Kami memutuskan mengakhiri liburan karena keadaan mendesak. Proyek yang ditangani Mas Bima mengalami masalah. Bangunan yang baru 60 % selesai itu tiba-tiba roboh. Ada beberapa korban luka-luka. Beruntung tidak tidak ada korban meninggal dunia. Namun kerugian ditaksir mencapai ratusan juta. Keheningan kembali tercipta di dalam mobil, seperti ketika kami berada di dalam pesawat. Mas Bima tenggelam dalam masalah proyek. Aku sendiri memilih diam, membiarkan dia dengan pikirannya sendiri. Karena sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu menahu bagaimana proyek bisa berjalan. Pikiranku tak mampu mencerna proses pembangunan gedung itu. Dari mulai desain hingga menjadi bangunan bertingkat. Herannya Mas Bima bisa mengert

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status