Share

Bab 6

last update Last Updated: 2024-06-02 22:25:43

Rintik hujan menyambutku pagi ini. Belum lagi awan hitam yang menutupi hangatnya sinar mentari. Dia seolah memintaku kembali merebahkan badan dan tenggelam dalam mimpi.

Sayangnya baik cerah atau hujan, aku harus tetap bekerja. Aku bukan orang kaya, tinggal menengadahkan tangan lalu semuanya akan tersedia. Biar pun keluargaku kaya, tapi aku tak akan meminta. Sudah cukup penghinaan yang selalu aku dapatkan. Aku akan berusaha sekuat tanaga untuk membahagiakan keluarga kecilku, meski bukan dengan limpahan materi.

"Sudah mau berangkat, Dek?" tanya Mas Bima yang baru saja keluar dari kamar. Sarung dan koko masih menempel di tubuhnya.

Mas Bima baru saja selesai mengaji. Ini rutinitas yang selalu ia lakukan saat tak ada pekerjaan. Maklum kuli bangunan tak selalu dibutuhkan.

Aku melangkah mendekat. "Iya, Mas."

"Maaf ya, Dek."

Aku mematung, menatap penuh tanda tanya. "Untuk apa, Mas?"

"Maaf belum bisa menjadi suami yang mampu membahagiakan kamu. Maaf kamu harus ikut bekerja untuk mencukupi kebutuhan kita."

"Definisi bahagia bukan karena banyaknya harta atau tingginya sebuah tahta. Kalau bahagia diukur dari materi ... lalu kenapa banyak orang kaya bunuh diri, Mas? Bukankah harusnya mereka bahagia karena telah memiliki segalanya?"

Mas Bima membisu. Dia mengangguk perlahan, meski wajahnya tetap saja sendu.

"Bahagia letaknya di sini, Mas." Aku meletakkan tangan kanan tepat di dadanya."

"Makasih ya, Dek." Mas Bima mendekap erat tubuhku.

"Aku mau berangkat lho, Mas!" ucapku membuat Mas Bima melonggarkan pelukannya. Namun tiba-tiba ia kecup kening ini.

"Hati-hati ya, Dek."

Aku mengangguk kemudian mencium punggung tangannya dengan takzim. Sentuhan lembut di pucuk kepala ini menggambarkan doa, meski tak diucapkan dengan kata.

Kakiku melangkah perlahan, sesekali aku angkat sedikit rok agar air tak mengenai ujungnya. Maklum jalan sering kali banjir ketika hujan turun. Mungkin karena saluran air yang tersumbat.

Bu Susan sudah ada di dapur kala aku sampai. Ibu satu anak itu menyambutku dengan ramah. Bu Susan memang majikan yang baik.

"Saya pulang agak telat, Mbak. Titip ibu, ya."

"Baik, Bu."

Bu Susan bekerja di salah satu bank di kota ini. Dia selalu pulang pukul 17.00 lebih. Jika Bu Susan bekerja, maka aku yang akan menunggu ibu dan anaknya. Ya, karena suaminya bekerja di luar kota.

"Makanan buat Nino sudah saya siapkan. Nanti siang tinggal di panaskan saja, Mbak."

"Baik, Bu."

Perempuan yang memakai kemeja batik itu berjalan meninggalkan ruang makan.

"Bu."

Seketika Bu Susan menghentikan langkah. Dia kembali menoleh ke arahku dengan sorot penuh tanda tanya.

"Ada apa, Mbak?"

Aku terdiam, untaian kata yang telah kusiapkan hilang dalam sekejam. Aku kehilangan keberanian untuk meminta gaji lebih awal.

Ada rasa berat untuk meminta hak padahal aku belum mengerjakan kewajiban. Namun kalau bukan Bu Susan, pada siapa lagi aku meminta tolong?

"Sa-saya ..."

"Nanti sepulang kerja saja ya, Mbak. Saya buru-buru ini," ucapnya setalah melirik jam yang menempel di pergelangan tangan kirinya.

Bu Susan pun pergi meninggalkan ruangan ini. Tidak begitu lama deru mobil terdengar menjauh dari halaman rumah.

Segera aku membersihkan rumah yang sudah berantakan. Belum lagi tumpukan piring dan peralatan masakan yang ada di wastafel. Bu Susan memang suka memasak sendiri, tapi enggan mencuci perlengkapan yang habis dipakai.

"Mbak ... Mbak Ratna!" panggil Bu Sri.

Aku letakkan sapu dan kemoceng yang ada di tangan. Sedikit berlari aku menuju kamar Bu Sri yang berada tepat di samping ruang keluarga.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyaku seraya mengatur napas yang tersengal.

"Saya pengen pukis, Mbak. Bisa tolong belikan ke pasar?"

"Bisa, Bu."

Bu Sri memberikan selembar uang berwarna hijau. "Bawa sepeda saja, Mbak. Capek kalau jalan kaki."

"Iya, Bu. Saya permisi dulu."

Aku segera mengeluarkan sepeda dari garasi. Perlahan aku kayuh kendaraan roda dua ini. Sesekali memberi salam kepada warga yang kutemui. Di kampung mengucapkan salam adalah salah satu hal penting.

"Mbak Ratna mau ke mana?" tanya seorang perempuan yang berjalan berlawanan arah denganku.

"Mau beli pukis, Bu."

Aku kembali mengayuh sepeda ini menuju pasar. Pasar terletak agak jauh dari kediaman kami. Arahnya sama seperti arah menuju rumah ibu. Ya, karena pasar menjadi pembatas dua kampung.

Pasar tradisonal yang ramai karena hanya ini satu-satunya pasar terdekat. Setelah sampai aku pun memarkirkan sepeda di depan pasar. Ada dua tukang parkir yang menata kendaraan dan sepeda kami.

Aku melangkah menuju penjual pukis yang ada di dekat pintu masuk. Seorang perempuan tengah sibuk membuat pukis. Aroma harum adonan kian membuat cacing dalam perut meronta meminta haknya. Andai cacing di dalam tahu kalau pukis ini bukan haknya, mungkin mereka akan diam, tak bersuara.

"Pukisnya 15ribu, Mbak."

"Tunggu sebentar ya, Mbak."

Aku mengangguk, lalu berdiri tak jauh darinya. Sambil menunggu pesananku siap, aku mengamati ramainya pasar di pagi hari.

"Pukisnya 20ribu ya, Mbak."

Sontak aku menoleh ke arah sumber suara. Perempuan yang tak ingin kutemui justru berada di depan mata. Aku tahu pasar ini berada di tengah-tengah dua kampung, tapi kenapa harus dipertemukan juga?

"Sendirian, Bu."

Diam, perempuan yang kupanggil justru pura-pura tak mendengar.

"Masih lama ya, Mbak?"

"Iya, Bu."

"Saya belanja dulu kalau begitu."

Ibu melangkah pergi setelah memberikan uang 20ribu kepada penjual pukis. Dia mengabaikanku di muka umum. Apa aku begitu memalukan hingga ia enggan menjawab salamku?

Tetes demi tetes jatuh tanpa bisa kubendung. Sakit, saat ibu tak mengakui keberadaanku. Rasa sakitnya melebihi sebuah sembilu yang tertancap di tubuh.

***

Deru mobil kian terdengar jelas bersamaan dengan azan isya berkumandang. Bu Susan turun seraya membawa beberapa kantung plastik, entah apa isinya aku pun tak tahu.

"Mau dibuatkan minum, Bu?" tanyaku saat perempuan itu menjatuhkan bobot di sofa ruang tamu. Bu Susan menyandarkan tubuh di sofa, terlihat jelas dia begitu kelelahan.

"Teh hangat saja, Mbak. Jangan terlalu manis ya."

"Baik, Bu."

Dengan cepat aku memuatkan teh dengan sedikit gula pesanannya. Bu Susan memang tak terlalu menyukai minuman manis. Namun anehnya, semua jenis makanan manis dia suka.

"Ini, Bu."

Aku meletakkan cangkir berisi teh hangat di atas meja. Kemudian aku berdiri tak jauh darinya.

"Kamu boleh pulang, Mbak."

Tubuhku masih mematung, ada kata yang hendak aku sampaikan. Namun entah kenapa keberanian seolah hilang di telan malam. Mungkin lebih baik besok saja.

"O, iya ... tadi pagi Mbak Ratna ingin mengatakan sesuatu. Apa itu? Maaf saya lupa."

Aku diam satu menit, tapi dalam kepala berusaha merangkai kata agar tak membuat majikanku marah.

"Em, sabtu minggu saya izin libur, ya, Bu. Dan ..."

"Dan apa, Mbak?"

"Kalau boleh saya minta gaji lebih awal, Bu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hantaran Lebaran   Bab 33

    "Kenapa diam saja, Dek?" tanya Mas Bima ketika kami berada di dalam mobil. Aku menghirup dalam, mencari pasokan oksigen untuk menghilangkan rasa sesak di dalam dada. Pemandangan yang beberapa menit kulihat mampu menghancurkan rasa empati yang sempat singgah. Dia mana rasa cinta yang dulu ia junjung tinggi? Ke mana larinya semua perhatian itu? "Dek, kamu kenapa? Mas perhatian sejak mengambil santan instan kamu hanya diam. Apa gara-gara gamis tadi?""Bukan, Mas. Tadi aku melihat Mbak Dita di depan rak kopi instan. Dia menggandeng mesra seorang pria. Dan itu bukan kakakku."Kembali kuingat bayang dua insan yang tengah tertawa bahagia. Apa pantas seorang istri tertawa bahagia saat suaminya berada di dalam penjara? Apa pantas dia melakukan itu pada Mas Seno. Aku dan Mas Seno memang tidak dekat. Namun entah kenapa aku merasa luka saat melihat Mbak Dita bersama lelaki lain. Mungkin karena kita sedarah. "Mbak Dita sama lelaki, Dek? Yang bener kamu?"Aku mengangguk, dan memilih menatap lur

  • Hantaran Lebaran   Bab 32

    "Tolong keluarkan Seno dari penjara, Ratna, Bima. Ibu mohon tolong bebaskan kakak kalian." Ibu bersimpuh di hadapan kami. "Berdiri, Bu. Jangan seperti ini!" Aku angkat tubuh ibu meski berat. Perlahan aku menuntun dan mengajak ibu duduk di sofa. "Tolong keluarkan Seno, Bima. Ibu yakin dia gak salah."Mas Bima menggeleng pelan. Sama halnya denganku, dia pasti tersinggung dengan ucapan ibu. Kalau Mas Seno tak bersalah, mana mungkin dia berada di dalam penjara. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa mengeluarkan Mas Seno dari penjara. Dia sudah terbukti menyalahgunakan dana pembangunan gedung untuk kepentingan pribadinya.""Tapi dia kakaknya Ratna, istri kamu, Bima. Kenapa kamu tega memasukkannya ke dalam penjara. Masalah ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan, kan? Kasihan Dita terus menangis."Ada yang terasa nyeri di sini, di hatiku. Dari dulu ibu selalu membela Mas Seno meski dia salah. Detik ini dia kembali melakukan hal yang sama. Demi kebebasan putra kandungnya, ibu rela bersimpuh di kaki

  • Hantaran Lebaran   Bab 31

    "Halo... Pak Bima masih bisa mendengar saya? Tolong ke kantor polisi secepatnya."Aku masih mematung, kalimat yang orang itu katakan bak angin lalu. Bayang Mas Seno kini menguasai isi kepalaku. Benarkan Mas Seno melakukan itu?"Sayang."Aku tersentak, ponsel dalam genggaman terlepas begitu saja. "Lho... lho, awas Dek!" seru Mas Bima seraya mengambil ponsel yang sudah tergeletak di atas lantai. "Rusak gak, Mas?" Mas Bima membolak-balikan ponsel di tangannya. Netranya menatap goresan di layar depan. Beruntung hanya pelindung layar yang retak, bukan LCD-nya yang rusak. "Gak papa, Dek. Kamu kenapa memangnya? Kok tadi melamun?" Mas Bima menjatuhkan bobotnya, kemudian mengambil cangkir dan menyeruputnya. Aku masih membisu. Tidak ada kata bahkan kalimat yang terlintas di kepalaku kini. Hanya sebuah tanya, kenapa? "Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Bima karena mulutku terus terkunci rapat. Aku menghela napas, menepis sesak yang memenuhi rongga dada. Tidak dapat kupungkiri, ada malu yang be

  • Hantaran Lebaran   Bab 30

    "Kenapa, Mbak?""Gak, Mbak gak kenapa-napa," jawabnya sedikit gugup. Paper bag ibu yang hendak ia ambil ia kembalikan lagi. "Mbak pulang dulu, Bu, Rat.""Kenapa buru-buru, Mbak?""Itu ... Mbak ada acara lagi."Mbak Dita berjalan sedikit cepat meninggalkan ruang keluarga. Aku sedikit heran dengan tingkahnya hari ini. Kenapa dia begitu tergesa-gesa meninggalkan rumah ibu setelah membahas gedung yang roboh. "Mbakmu kenapa, Rat?"Aku mengangkat bahu. "Ratna juga tidak tahu, Bu."BRUG! "Aduh... sakit!"Seketika aku berlari menuju sumber suara. Aku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Dalam sekejap tawa menggema hingga memancing ibu keluar dari singgasana. "Malah diketawain! Ditolongin dulu kek!"Seketika mulut ini bungkam. Tawa yang menggema hilang, menjelma keheningan. Dalam hitungan detik perasaan tak enak menelusup di dalam sini, sanubari. Aku segera mendekat, kemudian mengangkat pot yang sempat ia peluk seraya tiduran di lantai. Entah kejadian apa yang membuat Mbak Dita te

  • Hantaran Lebaran   Bab 29

    "Mana Bima! Tak becus mengurus pembangunan gedung. Harusnya Seno yang handle semuanya."Aku diam sesaat, mengatur kesal yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Lelaki itu tak mengerti arti adab dalam bertamu. Kata salam saja belum terucap, tapi justru makin yang keluar dari bibirnya. "Mari masuk, Pak. Kita selesaikan di dalam."Aku memutar badan, kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dengan sofa yang berjajar rapi menjadi tujuanku kini. "Silakan duduk, Pak!"Lelaki itu pun duduk tepat di hadapanku. Tak ada senyum ramah layaknya seorang tamu. Hanya tatapan tajam dan kemarahan yang dia berikan kepadaku, tuan rumah. "Mana Bima!""Maaf ada perlu apa Bapak datang kemari?""Bukan urusan kamu! Panggilkan Bima SE-KA-RANG!"Aku menghela napas. "Baiklah, tunggu sebentar."Aku beranjak dari sofa. Dengan sedikit kesal aku melangkah meninggalkan ruang tamu. Satu persatu anak tangga aku pijak hingga akhirnya sampai di kamar kami. Perlahan aku dorong gagang pintu. Tatapan pertama tertuj

  • Hantaran Lebaran   Bab 28

    "Kita ke proyek dulu ya, Dek," ucap Mas Bima. "Iya, Mas."Setelah sampai di Bandara, aku dan Mas Bima segera menaiki taksi. Kali ini bukan rumah yang kaki tuju, melainkan sebuah tempat di pusat kota. Lebih tepatnya sebuah gedung yang kini ditangani suamiku. Kami memutuskan mengakhiri liburan karena keadaan mendesak. Proyek yang ditangani Mas Bima mengalami masalah. Bangunan yang baru 60 % selesai itu tiba-tiba roboh. Ada beberapa korban luka-luka. Beruntung tidak tidak ada korban meninggal dunia. Namun kerugian ditaksir mencapai ratusan juta. Keheningan kembali tercipta di dalam mobil, seperti ketika kami berada di dalam pesawat. Mas Bima tenggelam dalam masalah proyek. Aku sendiri memilih diam, membiarkan dia dengan pikirannya sendiri. Karena sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu menahu bagaimana proyek bisa berjalan. Pikiranku tak mampu mencerna proses pembangunan gedung itu. Dari mulai desain hingga menjadi bangunan bertingkat. Herannya Mas Bima bisa mengert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status