Kita Bunuh Dia
Suara gong terdengar hanya sekali, perlahan Farah membuka pintu kamar tempat penyimpanan alat-alat musik ronggeng milik Sarminah. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya ada alat-alat musik ronggeng yang terbungkus sarang laba-laba. Ia kembali ke kamar Sarminah, sontak saja Farah berteriak saking kagetnya lantaran melihat Sarminah duduk di atas kasurnya dengan keadaan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Setelah sekian lama sakit, baru kali ini Farah mendapati buyutnya duduk seperti itu.“Bunuh aku. Susuk mayat....”Suara yang keluar dari tenggorokan Sarminah terdengar sangat kering dan ringkih. Farah tidak mengerti apa yang sedang diucapkan buyutnya itu.“Mbok? Udah bisa duduk?” tanya Farah sambil menampakkan wajah ketakutan.Tidak lama kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu. Farah bergegas membukanya, mereka sudah datang. Itu ternyata kerabat Farah yang juga masih keturunan Sarminah, sebenarnya Farah meminta semuAku Bukan PencuriDi suatu pagi sepulang dari hutan, Sarminah mendapati Mbok Ibah terkapar di halaman rumah. Ia meninggal. Malangnya nasib Sarminah, ia harus hidup sebatang kara di gubuk reot. Bayang Mbok Ibah selalu ada dalam benaknya. Apalagi kalau melihat barang-barang peninggalannya, sudah pasti Sarminah menangis tersedu-sedu.Ia mewarisi profesi Mbok Ibah, jadi tukang pijat. Demi mencukupi kebutuhan hidup, ia harus rela memijat bapak-bapak yang kulitnya keras. Tak jarang, mereka juga bau ketiak. Terkadang Sarminah muntah-muntah setelah memijat mereka.Sarminah tidak mau nasibnya berakhir jadi tukang pijat selamanya. Sampai pada akhirnya ia ingin menjadi penari ronggeng saja. Namun, orang-orang selalu meledeknya. Bahkan, orang-orang itu bersumpah demi semua dedemit di muka bumi ini. Bagi mereka, Sarminah mustahil bisa menjadi penari ronggeng.“Mana ada penari ronggeng wajahnya jelek sepertimu, Sarminah?""Jangan mimpi!""Sangat mustahil. Mau s
Nini Bogemmerawat wanita malang itu setiap hari. Kaki kiri yang sudah buntung dilumuri rempah-rempah agar lukanya cepat pulih. Setiap hari ia mengganti kain pembungkus kaki Sarminah. Anehnya, luka itu tidak kunjung sembuh, malah semakin parah. Kakinya bernanah, mengeluarkan bau busuk, memar menjalar ke betis Sarminah. Setiap malam ia tidak bisa tidur karena menahan rasa sakit yang seperti membakar kakinya.“Abah,” tengah malam Sarminah membangunkan Sadiman. Ia tidak kuat menahan sakit.“Iya Sarminah?” masih dalam keadaan kantuk, Sadiman menghampiri wanita yang sedang kesakitan itu.“Susuk mayat itu. Apa aku masih boleh memakainya?”“Tentu Sarminah. Kau akan sembuh dan berwajah cantik.”“Berikan aku susuk itu, Bah. Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit.”“Baik, nanti abah carikan daging mayat manusia," Sadiman menyeringai senang.“Seberapa banyak aku harus memakannya?&rd
Sudut pandang BastianSore ini, di tahun akhir masa sekolah di mana aku sedang duduk santai di belakang rumah, sehabis pulang membantu Bapak berjualan sembako yang menjadi aktivitas baruku. Sembari menunggu hasil pendaptaranku ke salah satu universitas di kota kembang.Sebagaimana harapan Ibu yang harus melanjutkan jenjang pendidikanku, karena aku ingat betul “selagi ibu dan bapak masih bisa mengusahakan tugas adek dan kak Salsa harus mengenyam pendidikan yang cukup, bahkan lebih,".Walau keluargaku terbilang cukup, bahkan lebih, tapi kesederhaan adalah hal yang diajarkan dalam keluarga, kepadaku. Ibu adalah salah satu pengajar senior di salah satu Sekolah Dasar (SD) di kota ini dan Bapak berjualan sembako, lama sekali bahkan semenjak aku kecil sudah berjualan.“Bas, bagaimana hasil pendaftaranmu itu sudah ada kabar dari guru BK?,” ucap Ibu, sambil duduk di sampingku dan membuyarkan lamunanku tentang bagaiman nantinya akan berpindah jika benar-b
Setelah ibu pergi, mang Yaya langsung mengajaku ke halaman belakang sambil basa-basi dan menjelaskan sedikit soal rumah ini, lebih kepada perkerjaan mang Yaya.Memang hanya bagian dapur dan halaman belakang yang belum aku ketahui soal rumah ini, yang belum sempat Ibu dan juga Bapak jelaskan. Perlahan berjalan sambil tidak hentinya mang Yaya bercerita, melihat keadaan dapur yang luas, sama halnya dengan kesan pertama depan rumah, bagian tengah rumah dan bagian ruangan lainya, kesan tua masih saja menempel hal yang sama pada ruangan dapur juga.“Wih keren yah mang masih ala-ala jaman dulu banget,” ucap kak Salsa, saking kagumnya melihat isi ruangan dapur, matanya jelas berkeliling melihat isi dapur, hanya perlengkapanya saja yang terlihat jaman sekarang mungkin mang Yaya juga yang menyiapkanya“Benar kak, gak ada sama sekali dari bangunan rumah ini yang diubah, nilai sejarah mungkin yang teteh ingin pertahankan atau…,” jawab mang Yaya, tib
Sore ini kak Salsa pulang dengan beberapa temanya berempat, karena terdengar dari suaranya yang lumayan cukup berisik di ruangan tengah, dan aku juga mendengar suara dari kak Nenah sontak membuat aku ingat tentang janjinya dipertemuan awal denganku akan menanyakan tentang kejadian itu pada orang tuanya.“Bas, tuh kakak bawa makanan, ayo makan bareng, sama kenalan sama teman kakak,” ucap kak Salsa berdiri di depan pintu kamarku, yang tidak tertutup.Segera aku bangun, dan menyapa dan berkenalan dengan teman-teman kak Salsa satu persatu. Silvi, Dena dan Andin. Berlima denganku akhirnya makan bersama dengan tidak jarang yang menjadi badan becandaan adalah aku.“Eh Bas nanti kakak ngerjain tugasnya di belakang saja yah, terminal listrik udah dibenerin kan?,” tanya kak Salsa.“Sudah sama mang Yaya, cukup kok emang aku sengaja mintanya buat disambung dari dapur aja kak, eh kak, ibu bilang besok motor aku baru bisa diambil di stasiun kota, antar yah,” ucapku yang baru selesai m
Akhirnya mataku perlahan ingin beristirahat, segera aku bangun dan mengunci semua pintu yang ada, dan kembali lagi tiduran di sofa. Perlahan mata terpejam dengan begitu saja dan dengan tiba-tiba aku mendengar suara pintu depan “bruk,” membangunkan aku yang baru saja terlelap “arrghhh” ucapku, sambil melihat jam yang ada di hp “jam 1” ucapku.Terlihat kak Salsa berjalan dengan muka pucat dan badan yang sangat terlihat lelah sekali, bahkan jalanya sangat-sangat perlahan seperti orang yang benar-benar lelah, apalagi beberapa bagian rambutnya tidak rapih sama sekali. Pandanganya hanya ke bawah.“Kak, tumben jam segini baru pulang,” tanyaku masih dalam kondisi mengantuk.Kak Salsa hanya menganguk dan terus berjalan, tanpa menjawab sama sekali, aku yang melihat bagian samping muka kak Salsa yang semakin pucat, sama sekali tidak curiga“Kelelahan kali,” ucapku.Segera aku berdiri dan melihat kak Salsa seda
“Sorry Bas, salahku awalnya,” jawab Anton tidak enak.“Gaklah awalnya juga ada hal aneh, kebetulan kamu alamin, harusnya aku tidak membawa kamu ke rumah, jadinya kan seperti ini, sialan emang rumah itu,” jawabku emosi karena tidak tenang.“Slow Bas,” ucap Anton menenangkan.“Ton, kalau aku gak tinggal di rumah itu, kuliahku bisa jadi berhenti, tapi rumah seperti itu, lagian itu orang siapa coba segala imbasnya padaku dan kakaku Ton, keluargaku sedang tidak baik dalam kondisi ekonomi Ton,” jawabku menuangkan kekesalan.Setelah mengobrol soal kuliah dan tidak masuknya lagi aku dan Anton, Anton pamit pulang dan janji akan main lagi ke sini, walau aku merasa tidak enak juga diam di rumah kak Nenah karena hanya sebatas teman kak Salsa saja.Aku hanya menghabiskan waktu di luar duduk sambil berpikir, semoga kak Salsa menghubungi ibu hari ini, sedang santai-santainya merokok dari pemberian Anton.“Bas, Sals
Obrolan di ruang tengah, dengan sedikit tenang apalagi melihat kak Salsa sudah tertidur di pangkuan kakek Bambang sedikit lega, walau perkataan “mahluk itu masih ada di sini” tentu membuat aku cemas.“Dengar teh, saya rasa rasa kita sepakat dan paham kalau yang sudah melakukan perjanjian dengan memberikan Salsa kepada mahluk itu tau siapa orangnya dan Bastian saya rasa benar-benar jujur, sesuai apa yang siang tadi kita obrolkan,” jawab kakek Bambang.Ibu dan Bapak hanya mengangguk berkali-kali, sementara aku belum mengetahui apa yang sebelumnya ibu obrolkan.“Tidak apa-apa Bas, sudah waktunya kamu tau juga,” ucap IbuBaru saja Ibu akan menjelaskan panjang, kakek Bambang memotong dengan mengusap kembali wajah kak Salsa, dan terlihat kak Salsa membuka matanya perlahan, sangat pelan. Segera kakek Bambang memberikan minum. Dan kak Salsa sangat sayu seperti sangat kelelahan, sambil meninum air yang disodorkan oleh kakek Bambang.“Ibu...” u