Dengan tubuh gemetar Angga melangkah pelan melompatinya. Saat menuju ke arah saklar, Angga mendengar suara orang terbatuk-batuk dengan keras di belakangnya. Angga berusaha mengabaikan, namun batuk itu semakin keras, berganti dengan suara batuk yang beradu dengan suara orang ingin muntah.
Angga mulai memencet tombol saklar, lampu malah tak menyala. Ia mencoba memencet saklar berulang kali, namun hasilnya masih sama. Lampu tak juga mau menyala. Dengan terbata-bata Angga membaca surat-surat pendek yang dihafal.Lalu, sesuatu menggelinding berat menabrak kakinya. Di saat yang sama lampu berhasil menyala. Angga yang terkaget menoleh, dilihatnya pocong itu benar-benar menampakkan diri di bawah pandangannya. Wajah hitam dengan mata melotot sempurna, memandang tajam pada Angga dengan mulut menganga.“BAPAAAKKKKKK ADA POCONG!!!”Dan seketika pandangan Angga berubah menjadi gelap seluruhnya.[Di sisi lain]Pak Hasan menghisap rokok khidmat dari sela-sPerasaannya berubah menjadi tak nyaman dengan aura rumahnya sendiri. Pantas saja saat pulang sore tadi, tak ada siapa pun. Bahkan kamar-kamar pun terkunci. Hanum bisa masuk ke dalam karena ia memang membawa salah satu kunci cadangan rumah.Suasana sepi yang menyambutnya sedari tadi ternyata tak hanya sementara. Bahkan ia mengira keluarganya sedang pergi menginap ke rumah sanak saudara terdekat saja. Hanum menggelengkan kepala, berusaha menanamkan pikiran-pikiran positif tak akan terjadi apa-apa.Setelah berhasil menenangkan diri, ia menyalakan lampu tidur temaram dan mematikan lampu utama kamar. Hanum mulai merebahkan diri, mencoba tidur. Sudah hampir satu jam matanya terpejam, namun ia benar-benar tak bisa tidur. Bahkan suara detik-detik jarum yang bergerak terdengar begitu jelas di telinga.(BRUK! BRUK! BRUK!)Ada suara sesuatu yang berat tampak berdebum melompat beberapa kali. Hanum mengacuhkan, berharap itu hanya halusinasi.(BRUK! BRUK! BRUK!)Suar
Menjelang setelah asar Pakde Anom sudah terlihat datang ke rumah keluarga pak Saiful. Lelaki paruh baya itu menyambutnya penuh suka cita. Ujung matanya juga menangkap dua sosok pemuda lain di belakang Pakde Anom. Seolah mampu membaca pikiran, pakde Anom pun menjawab:“Ini murid-muridku Pul, mereka juga akan membantu proses peruwatan nanti."“Oh, begitu pakde,” jawab pak Saiful sembari mempersilakan ketiganya masuk ke dalam rumah.Pukul 11 malam, kompleks perumahan terlihat mulai sepi. Tampak dua orang pemuda yang dibawa pakde Anom menggali tanah dengan sekop dan memendam sesuatu di empat sudut penjuru rumah.Tujuannya adalah menanam pagar gaib untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan saat proses ritual pengusiran. Pak Saiful tampak mengintip dari jendela di dalam rumah mengamati aktivitas tersebut. Sebuah tepukan pelan di bahu kanan membuatnya menoleh. Dilihatnya Pak Hasan mencoba memberikan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.Kedu
Sebelum saya menceritakan pengalaman teman saya yang mulai dinas didaerah terpencil sebagai bidanOh iya, perkenalkan dulu, aku Maya. Aku tuh seorang bidan. Setelah lulus kuliah, aku sempat kerja di klinik. Sebenarnya klinik itu milik kakak iparku. Kalau kalian pernah ke Balaraja, klinik tempatku bekerja tidak jauh dari pasar Balaraja. Selama dua tahun aku bekerja di sana.Tahun 2016, pemerintah membuka lowongan CPNS. Aku iseng-iseng ikutan daftar. Sebenarnya aku hanya ingin tahu saja bagaimana tes CPNS itu dan tidak punya harapan tinggi bisa lolos tes. Tapi, Tuhan berkata lain. Alhamdulillah aku lolos CPNS, lalu ditugaskan ke kampung terpencil.Nama kampungnya Mekar Sari. Di sana ada puskesmas yang kekurangan tenaga bidan. Oh iya, bukan kekurangan tapi tidak ada bidannya. Jadi bidan yang pernah tugas di sana minta dimutasi ke daerah lain. Dan... aku ditugaskan untuk mengisi kekosongan bidan di puskesmas itu.Aku tidak menyangka kalau kampung ini benar-benar terp
Sore itu semua petugas puskesmas sudah pulang. Pak Sukra memberikan kunci puskesmas kepadaku. Malam ini aku mau menginap saja di puskesmas. Kebetulan ada hal yang mau kukerjakan. Aku akan menyusun rancangan penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya keselamatan saat bersalin.Lebih dari itu, jujur saja aku masih trauma kalau harus pulang ke rumah Dinda. Ada yang tak beres sama mboknya. Dan, aku yakin bidan yang pernah tinggal di rumah Dinda juga mengalami hal yang sama.Selepas magrib kututup gerbang puskesmas lalu mengunci pintu rapat-rapat. Aku mulai bekerja menyusun rancangan dan materi untuk penyuluhan. Selang beberapa saat ada yang mengetuk pintu. Sepertinya ada yang mau berobat. Segera aku beranjak dari tempat duduk dan langsung membukakan pintu.Di depanku berdiri seorang perempuan berbaju daster yang sedang hamil tua. Dia memegangi kandungannya sambil meringis kesakitan.“Tolong aku, Bu!” katanya dengan suara yang tertahan.“
“Kamu apa-apaan Din! Mbokmu sudah meninggal! Hargai mbokmu!” aku meneriakinya.“Mbokku hidup lagi kok hahaha…,” Dinda lari-lari kecil mengelilingi jenazah mboknya.“Dinda! Mbak bilang hargai Mbok kamu!” aku menerobos hujan yang kian lebat, menghampiri Dinda.Kain kafan Mbok Ibah basah kuyup dan kotor, “Astagfirullah! Dinda apa-apaan kamu! Sadar Dinda sadar!” kupegang erat kedua tangannya agar dia mau diam.“Lepasin Mbak ih…!” dia berontak.“Ada apa ini?!” Pak Rahmat muncul dengan membawa payung.“Kenapa jenazah Mbok Ibah ada di sini?!” Pak Rahmat terkejut melihat jenazah itu.Dia langsung membopong jenazah Mbok Ibah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dinda susah sekali dikendalikan, dia malah menangis sambil memanggil-manggil mboknya. Pak Rahmat kembali tanpa menggunakan payung, dia langsung memangku paksa si Dinda yang masih mengamuk.“Is
Pagi ini aku tidak masuk kerja karena tiba-tiba badanku demam tinggi. Aku juga sudah minum obat, tapi demamku tidak kunjung reda. Sekarang tubuhku malah menggigil. Wajahku tampak pucat saat kulihat di cermin. Kantung mataku juga mendadak hitam. Segera kubenamkan diri di atas kasur. Semakin lama tubuhku malah menggigil."Dinda...," dengan suara serak kupanggil Dinda."Iya, Mbak," sahutnya dari luar. Kudengar langkah kakinya mendekat ke kamarku."Mbak sakit?" tanya Dinda sambil melongokkan kepala dari balik pintu."Iya, Dinda. Kalau kamu nggak keberatan, tolong ambilkan mbak air hangat ya," pintaku sambil menggigil."Iya, Mbak. Tunggu ya."Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan membawa segelas air hangat. Aku meraih gelas itu dan menyeruput airnya."Mbak sakit apa? Sudah minum obat?" Dinda duduk di sampingku."Aku demam, Din. Sudah tadi," kuserahkan kembali gelas itu pada Dinda."Semoga lekas sembuh, Mbak," kata Dinda.Dia lalu ke
Siapa nama kamu?Gina, lu serius berani sendiri?"Fika mengarahkan cahaya senter ke gedung sekolah tiga lantai. Tak ada lampu yang menyala di gedung itu, mungkin listriknya sedang mati."Iya Fik. Itu jam tangan pemberian almarhum nyokap gua. Takut ilang kalau nggak diambil sekarang.""Lagian lu ada-ada aja pake lupa segala. Eh, gua nggak berani nganter lu masuk ke kelas, ya. Gua nunggu di sini.""Iya nggak apa-apa. Lu jagain motor gua.""Eh, tapi gua juga takut sendirian di sini gimana dong?" Fika merengek."Lu tenang aja. Gua pasti nggak akan lama-lama."Gina membuka gerbang sekolah yang kebetulan tidak dikunci. Sekolah SMA Setia Bakti memang tidak ada satpamnya. Pihak sekolah sudah membuka lowongan, tapi tidak ada orang yang berani melamar. Banyak cerita horor yang beredar dari mulut ke mulut tentang sekolah itu."Gin, tunggu. Lu yakin mau masuk," Fika menarik lengan bajunya Gina."Eh, gua kan udah bilang kalau gua yakin mau masuk.
Pembunuhan"Anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru, ya," kata Bu Yati, guru matematika.Veli dengan percaya diri masuk ke dalam kelas 3A didampingi kepala sekolah. Di kantong tasnya ada buah rambutan pemberian Pak Cokro."Hai semua, kenalin namaku Velicia Tjhia. Atau biasa dipanggil Veli. Aku pindahan dari SMA Darma Bakti Yogyakarta. Salam kenal semua," ujar Veli sambil tersenyum."Hai Veli," serentak semua murid di kelas itu menyapanya."Veli, kamu bisa duduk di samping Sinta ya," Kata Bu Yati.Veli mengangguk dan langsung menuju tempat duduknya."Baik, anak-anak. Tolong temani Veli dan terima dia dengan baik, ya." ucap Pak kepala sekolah."Iya, Pak," jawab semua murid serentak.Walau Veli siswa pindahan, tidak butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan teman-temannya juga dengan setiap mata pelajaran. Veli terbilang siswi yang pintar. Ia kini menjadi pesaing beratnya Mona yang setiap tahun meraih juara satu di kelas itu.