Share

Hina

Bukankah cinta itu membahagiakan?

Lalu mengapa hanya perih yang kurasa.

--------------------

Terik mentari membuat Hanum melindungi wajahnya dengan map yang berisi CV. dan copyan ijazahnya. Satu bulan sudah dia mencoba mencari pekerjaan. Bukan karena kesulitan financial. Adrian rutin mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya setiap bulan. Laki-laki itu tidak pernah bertanya apa yang dilakukannya. Setiap pulang Adrian selalu sibuk dengan laptop dan ponselnya. Hanum seperti pajangan yang hanya diam menunggui laki-laki itu bekerja.

Semakin lama mereka semakin jauh. Setiap Hanum mencoba mendekat, Adrian selalu menghindar, seolah-olah membentangkan jarak tak kasat mata di antara mereka. Sakit ... tentu saja, tetapi dia bisa apa.

Berkali Hanum mencoba bicara padanya. Namun, Adrian seakan menulikan telinga. Wanita itu ada, tetapi tak terlihat di mata laki-laki tersebut.

*

"Maaf, Mbak. Di sini yang ada cuma lowongan buat cleaning service."

"Cleaning service?" Hanum membeo. Dia mengerutkan dahinya sejenak. "Nggak, papa deh, Pak. Saya mau," ujarnya.

"Ya udah. Saya antar ke HRD biar Mbak diwawacarai dulu."

Hanum mengangguk, lalu mengikuti langkah sang Security ke dalam kantor HRD. Mungkin perusahaan itu memang membutuhkan tenaganya, tanpa halangan Hanum diterima dan langsung bisa bekerja. Memang tak sesuai dengan jenjang pendidikannya, tetapi cukup untuk menyibukkan diri.

*

Pagi-pagi sekali Hanum sudah bangun. Menatap ranjang di sebelahnya yang selalu rapi. Dua minggu, Adrian kembali mengabaikannya. Entah rumah tangga seperti apa yang dijalaninya sekarang. Sebagai seorang istri tentu dia rindu sentuhan suaminya. Sudah lama kehangatan itu tidak dirasakannya lagi. Pernah Hanum menekan harga diri begitu rendah, meminta terlebih dahulu haknya, tetapi sakit kembali menghujamnya ketika merasakan Adrian hanya menyentuh saja tanpa cinta.

Hanum kaku, air matanya lolos tanpa lelaki itu tahu. Dia merasa Adrian menyentuhnya, tetapi membayangkan wanita lain. Begitu tidak berharganya dirinya. Sejak itu hatinya membeku. Cinta untuk laki-laki itu perlahan memudar. Bukan inginnya, tetapi sikap Adrian sendiri.

.

.

"Malam ini aku nggak bisa nginap. Kamu nggak pa-pa sendiri?" tanya Adrian di ujung telpon.

Hanum tersenyum kecut. "Iya, Mas. Aku nggak papa," jawabnya sendu. Tentu saja, wanita itu sudah terlatih menghabiskan malam sendiri. Akan terasa aneh jika dia merajuk. Lagipula percuma, Adrian tidak akan peka atau suka rela datang menemaninya.

"Ya sudah. Kamu jaga diri," pesan Adrian, lalu memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban Hanum.

Hanum hanya menatap ponselnya nanar. Cepat dia mengerjapkan mata hendak mengusir air mata yang mulai tergenang di kelopak mata. Kadang dia bertanya, menapa Adrian mempertahankannya? Jika alasannya cinta, Hanum tidak melihat binar itu lagi. Mereka seperti dua orang asing. Terikat tapi tak dianggap. Sering terlintas untuk pergi. Namun, Hanum tak tahu apa dia sanggup hidup tanpa Adrian. Dia hanya menyerahkan pada jalan takdir ke mana rumah tangga mereka akan bermuara.

*

"Hanum, kamu jangan pulang dulu. Malam ini ulang tahun perusahaan kita. Kamu sama yang lain ikut bantu, ya ...jangan sampai tamu kita kecewa," pinta Ratna kepala HRD.

Hanum mengangguk, lagipula itu lebih baik dari pada hanya diam di rumah. Pukul tujuh malam Hanum dan kelima rekannya telah siap bertugas. Setelah diberi pengarahan oleh kepala HRD, mereka diantar ke tempat diadakannya acara. Pesta ulang tahun perusahaan tempatnya bekerja diselenggarakan di ballroom hotel ternama.

Mengenakan seragam putih-hitam, Hanum dan rekan-rekannya sigap melayani para tamu. Dia takjub, baru pertama kali dia melihat pesta semewah ini. Ruangan dihias dengan aneka bunga warna-warni. Para tamu berlomba mengenakan pakaian terbaik. Mereka terlihat tampan dan cantik.

Senyum Hanum memudar ketika matanya melihat sepasang laki-laki dan wanita tengah berbincang dengan tamu lain. Tangan sang lelaki terlihat erat menggamit pinggang wanitanya. Kadang mereka saling memandang mesra. Sesekali dia mengecup pelipis wanita itu.

Pandangan Hanum berkabut, beberapa tetes air mata jatuh di pipinya. Tubuh wanita itu gemetar. Di sana, Adrian terlihat begitu bahagia bersama Amelia. Kedua sangat serasi. Tak sedikit pun resah di raut laki-laki itu memikirkannya. Hanum menekan dada yang terasa sesak. Tak ingin menarik perhatian dia menjauh dengan langkah gontai.

Prang!

Terdengar bunyi benda pecah. Hanum pias melihat baju wanita yang tak sengaja ditabraknya basah karena terlalu menunduk saat berjalan. Dia bermaksud membersihkan dengan serbet yang digenggamnya, tetapi wanita itu menepis kasar tangannya.

"Kamu jalan nggak pakai mata?! Lihat baju saya basah semua," bentaknya sambil mengibaskan gaunnya yang basah.

"M-aaf. Saya nggak sengaja," ucap Hanum gugup.

''Wanita itu melotot. "Maaf! Kamu pikir gaji kamu setahun bisa ganti baju saya?!" umpatnya mengundang tamu lain mendekat ingin tahu.

Hanum tercekat ketika pandangannya bertemu dengan Adrian dan Amelia. Kedua terkejut, apalagi Adrian. Rahangnya mengeras melihat seragam yang dipakai Hanum, tetapi laki-laki itu hanya diam melihat Hanum dipermalukan.

"Kamu tuli, ya! Ayo ganti!" bentak wanita itu menarik kesadaran Hanum.

"Maaf, Buk Martha. Maafkan karyawan saya. Nanti biar kami yang mengurusnya." Ratna, kepala HRD datang menengahi hingga wanita itu terlihat tenang. Dia memberi isyarat agar Hanum segera menyingkir.

Hanum setengah berlari menuju taman belakang tempat dilangsungkannya pesta. Memilih duduk di tempat yang gelap. Kedua tangannya membekap mulut kuat, menahan agar tangisnya tak terdengar orang-orang yang mungkin lewat. Apa yang lebih sakit, dihina di depan orang banyak, bahkan laki-laki yang berstatus suaminya pun mendengar.

Namun, Adrian seakan tak punya hati. Dia hanya diam melihat dirinya dicaci dan dimaki, meski Hanum menatapnya, memohon belas kasih laki-laki itu, nyatanya dia memilih semakin merengkuh erat Amelia. Seakan menyadarkan Hanum kalau dia bukan siapa-siapa.

Lelah menangis, Hanum terdiam. Ia lelah. Bukan hanya raga, tetapi hatinya juga. Ingin rasanya menyerah pada kewarasannya. Adrian telah menghancurkannya seburuk itu. Dia tak punya harga diri dan tujuan hidup lagi. Berharap Tuhan mencabut nyawanya detik ini juga.

*

Baru saja Hanum keluar dari kamar mandi, gedoran pintu terdengar dari luar. Tanpa perlu melihat, dia tahu siapa yang datang. Suara itu semakin keras pertanda si pelaku dilanda amarah. Nyali Hanum menciut, meski Adrian bukan laki-laki ringan tangan, tetapi jika dia marah akan terlihat mengerikan.

Hanum melangkah perlahan dengan kaki gemetar menuju ruang tamu, menghela napas, dan mengembuskannya sejenak sebelum membuka pintu. Hanum pasrah, apa pun yang terjadi malam ini, terjadilah. Dia sungguh sudah lelah dengan drama rumah tangganya.

Belum sepenuhnya daun pintu terbuka, Adrian menerobos masuk, nyaris saja Hanum terjengkang jika tak ada sofa yang menahan pinggangnya. Adrian menyorot wanita yang dicintainya itu tajam, seolah tatapannya itu bisa menghancurkan Hanum.

"Maksud kamu apa kerja jadi cleaning service?! Apa uang yang kuberi kurang? Kalau iya minta lagi!" maki Adrian dengan mata nyalang menatap Hanum yang menunduk.

"Jawab! Kamu nggak bisu, kan?" imbuh Adrian tak sabar. "Kamu mau bikin malu aku?!"

Hanum mengangkat wajahnya. "Mas malu? Apa orang-orang di sana mengenaliku sebagai istrimu?! Nggak, kan? Kamu bahkan nggak sedikit pun membela aku. Kamu biarkan aku dihina dan direndahkan," lirihnya.

Hanum mulai terisak. "Apa aku nggak berarti sama sekali buat kamu? Bahkan setitik simpati pun tak ada untukku. Kenapa kamu minta aku bertahan kalau hanya untuk disakiti. Salah aku apa, Mas?!" raungnya lagi.

Adrian terdiam. Hati kecilnya tahu kalau dia bersalah. Dia tidak suka melihat Hanum dihina, dia marah ketika wanita itu direndahkan, tetapi Adrian tidak bisa berbuat apa-apa. Terlalu banyak relasi bisnisnya di sana membuat laki-laki itu sekuat hati menahan diri. Egonya berkata Hanumlah yang bersalah. Harusnya dia tidak perlu bekerja. Mestinya wanita itu tetap jadi istri penurut hingga dia tidak perlu sekeras ini.

"Besok kamu berhenti saja," titah Adrian dingin.

"Nggak, aku bisa gila di rumah terus. Aku butuh kesibukan, Mas. Aku bukan boneka yang bisa kamu perlakukan sesuka hati. Kamu mainkan bila suka, bosan dibuang begitu saja," tolak Hanum tegas.

Adrian meradang. "Jangan keras kepala! Kamu mau jadi istri durhaka?" geramnya.

"Durhaka?" Hanum tersenyum sinis. "Lalu ungkapan apa yang pantas kusemat padamu? Suami yang mengabaikan istrinya, seorang pendusta dan tidak bisa menepati janji!" seru Hanum.

Adrian mendelik mendengar kalimat tajam dari wanita lembut itu. Tanpa sadar ia mengangkat tangannya, tetapi air mata Hanum segera menyadarkannya.

"Kenapa? Kau ingin memukulku, 'kan? Lakukan jika itu bisa memuaskan hatimu. Kalau perlu kau bunuh saja aku, itu lebih baik daripada kau menyiksaku seperti ini," lirih Hanum, tubuhnya luruh ke atas sofa.

Adrian meremas rambutnya. Otaknya buntu, tangis Hanum menyakiti hatinya, tapi ego masih saja bertahta.

'"Patuhi semua ucapanku. Semua kata yang keluar dari mulut suamimu adalah titah, tak peduli kau suka atau tidak!" Ujar Adrian tanpa perasaan.

Hanum bergeming. Wanita itu diambang batas kesabarannya. Baru enam bulan Adrian berjanji untuk adil, tetapi rumah tangga mereka seperti neraka. Tidak ada lagi gelak tawa, sapa manja dan kehangatan.

Hampa.

Hanum sudah berjuang sekuat tenaga. Merelakan hatinya tersayat. Menambal luka seorang diri, dihina, dan diabaikan. Dia lelah ... inilah akhirnya. Hanum tahu diri jika dia tak diinginkan lagi.

Hanum berdiri menantang mata Adrian. Mata yang dulu memandang lelaki itu penuh cinta kini menyorot tajam menikam hati. "Ceraikan aku, Mas," ucap Hanum tegas.

Adrian membelalak. "Apa?! Cerai? Kamu yakin?!" tanyanya sinis, kemudian terdiam melihat tidak ada ragu di sorot mata wanita itu.

Adrian mengusap wajahnya kasar. Dia tidak mengira Hanum kembali meminta berpisah dan kali ini wanita itu tidak main-main.

Dia berjalan mondar-mandir di depan Hanum.

"Apa yang kamu tunggu? Bukankah aku hanya beban. Aku adalah benalu di keluarga terhormat kalian!" ucap Hanum sarkas. "Lepaskan ... maka kau tidak perlu merasa takut dipermalukan olehku," imbuhnya dingin, membuat Adrian membeku.

Laki-laki itu gusar. Dia mencintai Hanum. Adrian tidak bisa membayangkan wanita itu dimiliki laki-laki lain, tetapi dia menantangnya, jika Adrian bersikukuh tidak menceraikan Hanum, dia takut wanita bermata teduh itu besar kepala dan akan semakin memberontak.

"Baiklah jika itu maumu. Kau kutalak! Keluar dari rumah ini dan jangan coba membawa apa pun pemberianku. Kita lihat bagaimana kau akan bertahan di luar sana tanpa sokonganku. Tapi ... jangan harap kau bisa mendapat surat cerai. Bawa satu milyar ke hadapanku jika kau ingin bebas," ucapnya dengan senyum licik terpeta di wajahnya.

Hanum terperangah. "Kau kejam, Mas!" lirihnya dengan mata berkaca-kaca.

Adrian menggeleng. "Tidak. Ini cinta ... kau kulepas, tapi terikat padaku selamanya. Kembalilah jika kau menyerah."

Dan kaca-kaca itu jatuh berderai di pipi tirus Hanum.

Tbc

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elizabeth Kustantinah
astaqfurullah...sdh ga ingat kl Allah berkehendak kun fayakun..jadilah..karma untukmu adrian
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status