Share

Sang Presdir

'Bukan tak mengerti arti tatapanmu. Aku hanya berpura tidak tahu. Aku takut jatuh lagi ke dalam kubangan kecewa dan jurang sakit hati'

-------------------------

Hanum terus saja menunduk. Lantai granit lebih menarik perhatian daripada sosok gagah dan manis di depannya. Gerak tubuhnya gelisah, meski tak melihat dia bisa merasakan tubuhnya memanas karena tatapan intens keduanya.

"Mbaknya lucu, cantik juga," celutuk gadis kecil yang tadi dipeluk Hanum. "Pelukannya juga enak, hangat," imbuhnya.

Hanum mengangkat kepalanya dan bersitatap dengan gadis itu yang sedang tersenyum manis padanya. Dia membalas senyuman itu dengan wajah merona malu.

Alex mengulum senyum di bibirnya, senang dengan reaksi Neysa, putri kecilnya.

"Ney, suka Mbak Hanum?" tanyanya yang dibalas Neysa dengan anggukan.

"Baiklah, mulai hari ini Mbak Hanum kerja dan tinggal di sini. Ney, keluar sebentar, ya ... ada yang mau Papa omongin sama Mbaknya," ucap Alex.

Neysa mengangguk, memeluk dan mengecup pipi Alex sekilas, lalu melangkah keluar setelah sebelumnya melempar senyum ke arah Hanum.

Saat ini hanya mereka berdua di ruang kerja Alex. Laki-laki itu hanya memakai kimono saja. Tentunya tak bisa menutupi dada bidang dan tubuh berotot yang tadi mencemari mata Hanum.

'Dasar mesum! Lupakan,' umpat Hanum memukul dahinya.

"Apa yang kau pikirkan," tanya Alex dengan dahi berkerut melihat tingkah Hanum.

"Hah!" Hanum tergagap. Sesaat dia lupa ada di mana. "Oh, ini, ada nyamuk. Iya, nyamuk," jawabnya asal sambil menggaruk dahinya yang tidak gatal.

Alex menggelengkan kepalanya. 'Pembohong yang buruk,' gumamnya.

Dia bersandar di pinggir meja kerjanya, bersedekap dan menatap lurus ke arah Hanum. "Neysa putriku. Usianya sembilan tahun. Sejak lahir menderita kelainan jantung. Tugasmu menjaganya dan mengatur semua kebutuhannya. Perhatikan jadwal kapan dia harus meminum obatnya. Aku tidak mau ada kesalahan. Neysa satu-satunya hartaku," jelasnya membuat Hanum menggangguk.

Satu-satunya yang mengganggu pikirannya adalah ibu gadis itu. Apa dia tidak bisa merawat Neysa hingga harus menggunakan pengasuh.

"Istri anda di mana?" tanya hanum tanpa berpikir dulu. Detik kemudian merutuki lidahnya yang lancang, "maaf ..." tambahnya kemudian.

Wajah Alex berubah murung. "Dia meninggal saat melahirkan Neysa," jawabnya.

Hanum menggigit bibir mendengar jawaban Alex. "Saya tidak bermaksud-"

Alex mengibaskan tangannya, lalu tersenyum tipis. "Sudahlah itu takdir. Seperti kamu yang ditakdirkan tinggal di rumah ini bersamaku dan Neysa," ucap Alex tersenyum penuh arti.

*

Tiga bulan sudah Hanum bekerja di rumah Alex Bagaspati. Sang Presdir Bagaspati Grup. Perusahaannya bergerak di bidang telekomunikasi dan perangkat lunak. Selain itu dia juga memiliki investasi di bidang properti dan migas. Perusahaannya sangat dikenal dikalangan pengusaha Asia Tenggara. Nama Bagaspati lambang kemajuan teknologi perangkat lunak dan memiliki merek dagang yang sudah dikenal di seluruh kawasan Asia. Selama itu pula Hanum selalu menghindari interaksi langsung dengan laki-laki itu. Dia belum bisa melupakan kejadian saat pertama kali datang ke sana.

Alex dan putrinya yang berusia sembilan tahun tidak berhenti tertawa membuatnya malu setengah mati. Andai saja dia tidak sok tahu menganggap Alex OB dan membentaknya, mungkin dia tidak akan serba salah seperti saat ini.

*

Hanum baru saja selesai membersihkan tempat tidur Neysa. Mengalasi ranjang Queen size itu dengan seprai bergambar Snow White.

Meletakkan segelas air putih dan kotak berisi obat Neysa. Gadis kecil itu bergidik melihat Hanum mulai mengambil obat sesuai dengan dosis yang sudah diberikan dokter. Sebenarnya, Neysa lelah dan muak dengan semua obat yang dikomsumsi sejak dulu, meski umurnya baru sembilan tahun, dia sudah mengerti jika penyakitnya sulit sembuh. Hanya menunggu donor yang cocok dan itu seperti menunggu hujan emas dari langit karna golongan darahnya sangat langka.

"Mbak Hanum, aku ngga mau minum obat itu lagi. Pahit," ucap Neysa dengan wajah memelas membuat wanita itu menatap iba.

Hanum berlutut di depan Neysa yang duduk di pinggir ranjang. Mengelus rambutnya.

"Neysa ngga boleh gitu. Nanti kalau sakit lagi gimana?" tanya Hanum lembut.

Gadis kecil itu menunduk, matanya mulai berkaca-kaca.

"Neysa ngga bakal sembuh, Mbak. Buat apa minum obat terus. Cuma memperlambat aja 'kan? Neysa capek, pingin ketemu Mama ..." lirihnya.

Hanum tersedak ludahnya sendiri. Dia tahu rasanya tidak punya siapa-siapa, meski Neysa lebih beruntung masih punya Alex yang mengasihinya.

Hanum merengkuh tubuh kecil itu, memeluknya dengan kasih sayang. "Neysa ngga boleh ngomong gitu. Nanti kalau Papa dengar sedih lho. Neysa sayang Papa 'kan?" bujuk Hanum. Tutur katanya lembut dan menenangkan.

Gadis kecil itu mengangguk. Dia balas memeluk Hanum erat.

"Neysa juga sayang Mbak Hanum. Jangan kemana-mana, ya. Tinggal di sini aja selamanya sama Ney dan papa," pintanya polos.

Hanum hanya mengusap punggung gadis kecil itu memberi ketenangan. Dia tidak bisa berjanji. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan, hanya selama dia masih bekerja di sini Hanum bertekad akan menjaga dan menyayangi Neysa sepenuh hati.

*

Hanum melepas pelukannya dari tubuh Neysa. Memandang raut gadis itu yang terlelap. Mengusap pipi tirusnya perlahan, mata Hanum mengabut. Entah mengapa dia sangat mencintai Neysa, rasa itu hadir begitu saja. Sering dia ikut menangis ketika gadis kecil itu meringkuk menahan sakit, seandainya bisa, ingin rasanya mengalihkan sakit itu ke tubuhnya.

Hanum hanya bisa memeluk tubuh kecil itu lembut, memberi kekuatan dan.ketenangan kala sakit itu mendera.

Puas memandangi Neysa, Hanum bangkit dari ranjang. Mengangkat rambutnya tinggi, lalu di ikat asal sambil melirik weker di atas meja belajar Neysa.

'Pukul sebelas ...' gumamnya.

Menarik selimut, lalu menutupi tubuh Neysa hingga dada. Hanum mengusap pucuk kepala gadis itu, lalu mengecup keningnya lembut, kemudian tersenyum sebelum mematikan lampu kamar dan menutup pintu.

*

Hanum mengurungkan niatnya ke kamar ketika mencium aroma tak sedap.

Menuruni anak tangga perlahan ketika melihat cahaya dari dapur. Dia tertegun melihat Alex sedang mengaduk sesuatu di atas kompor. Mungkin lelaki itu lapar. Mengapa dia memasak sendiri? Padahal dia bisa membangunkan pelayan atau memesan lewat aplikasi online.

"Bapak sedang apa?" Hanum tak tahan bertanya ketika mencium bau gosong.

Alex menoleh. "Em, ini ... aku lapar jadinya coba masak yang ada di kulkas," jawabnya.

Hanum berjalan mendekat, melongok ke dalam panci yang ada di atas kompor. Tawanya hampir pecah melihat apa yang dimasak Alex.

"Bapak mau buat makanan atau pupuk kompos, sih? Isinya sayuran ngga jelas semua, gosong lagi," sungut Hanum.

Dia mengambil alih sendok di tangan Alex, menyendok isi di dalam panci, lalu mencicipi rasanya. Tepat dugaan Hanum, rasanya membuatnya ingin muntah.

"Apa rasanya menjijikan?" tanya Alex melihat ekspresi Hanum.

"Sangat!" jawaban tegas wanita itu membuat Alex meringis dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Bapak duduk saja, biar saya yang masak." Hanum menyeret tangan Alex ke meja makan, menekan bahunya memaksa pria itu duduk. Tanpa disadari Hanum, sentuhannya membuat detak jantung Alex di atas normal. Aroma strawberry dari tubuh wanita itu membuatnya candu.

Mata Alex terus mengawasi setiap gerak-gerik Hanum. Hatinya menghangat. Sejak sang istri meninggal dunia tidak ada lagi yang memasak khusus untuknya. Kehadiran Hanum perlahan mencairkan beku di dalam hati. Neysa pun tak menampik kehadiran wanita itu. Sungguh aneh putri kecilnya yang introvert bisa dekat dan terlihat nyaman dengan Hanum. Memang, anak kecil bisa melihat hati seseorang. Mereka tahu siapa yang tulus dan tidak.

"Makanan siap," ucap Hanum menenteng mangkuk yang masih mengepulkan uap panas. Harumnya membuat Alex sudah tidak sabar ingin melahapnya.

"Kamu masak apa?" tanya Alex melihat isi mangkok yang terlihat menggiurkan.

Hanum tersenyum, terlihat sangat manis di mata Alex hingga dia tertegun sesaat. "Itu hanya mie rebus, Pak. Saya kasih sayuran, daun bawang, irisan cabe, tomat, telur dan taburan bawang," jelas Hanum bersemangat.

"Sepertinya enak. Kamu ngga makan?" tanya Alex melihat hanya ada satu mangkok.

Hanum menggeleng. "Bapak saja, saya sudah kenyang," tolaknya halus.

Alex mencebik. "Kalau kamu ngga makan saya juga ngga!" rajuknya.

Hanum terdiam. Tidak mungkin, kan, laki-laki itu sedang merajuk padanya.

"Ayo duduk," Alex menarik tangan Hanum memaksa duduk di sampingnya.

Kedekatan itu membuat Hanum gugup. Dari kursinya dia bisa melihat dengan jelas fitur wajah Alex yang mendekati sempurna. Tulang hidung yang tinggi, rahang tegas dan bibir penuh kemerahan. Rambut hitamnya yang jatuh di dahi membuatnya tampak indah.

"Enak," puji Alex, menghamburkan lamunan Hanum. Untung saja laki-laki itu tidak memergoki dan membuatnya semakin malu.

"Coba, deh." Hanum membeku ketika Alex hendak menyuapinya.

"S-saya bisa sendiri, Pak," elak Hanum gugup.

Alex menelengkan kepalanya. "Apa salahnya saya suapin. Saya ngga rabies, lho,"ucapnya dengan senyum jenaka di bibirnya.

Hanum menunduk resah. Laki-laki itu tidak tahu kalau saat ini jantungnya berdegup kencang. Kedekatan ini menganggunya dan Hanum tidak suka.

"B-bukan begitu, Pak. Saya-"

"Ya, sudah, buka mulutmu. Biar saya suapin," potongnya cepat.

Hanum tak bisa membantah lagi. Lidahnya kelu untuk berbalas kata. Dia pasrah Alex menyuapinya. Laki-laki itu pun tersenyum senang melihat Hanum tidak lagi membantah.

*

"Sudah malam, tidurlah," titah Alex setelah mereka membersihkan mangkuk bekas makan Alex. Tidak! Bekas makan Hanum. Laki-laki itu hanya makan beberapa sendok, selebihnya dia lebih suka menyuapi Hanum.

"Baiklah, selamat malam, Pak," ucap Hanum beranjak meninggalkan Alex. Akan tetapi, langkahnya tertahan ketika laki-laki itu meraih lengannya.

"Terima kasih sudah menjaga Neysa dengan baik. Bebanku terasa lebih ringan," ucapnya lembut. Tangan Alex turun ke jemari Hanum, menggenggam erat. "Terima kasih sudah memberi dia semangat, itu sangat berarti," imbuhnya menatap lekat Hanum.

Mendadak suasana canggung bagi Hanum. Dia tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki selain Adrian. Ada dentuman halus di dada wanita itu. Perasaan nyaman dan hangat kala Alex mengeratkan genggamannya.

"Hanum, mungkin ini terlalu cepat, tapi rasanya hatiku meledak jika tidak mengatakannya." Alex melangkah semakin dekat tanpa melepaskan pandangannya. "Aku rasa, aku jatuh cinta padamu ..."

Hanum terdiam beku. Matanya terus menatap jalinan jemari mereka yang terasa pas. Seolah tangan Alex memang tercipta untuknya.

Tbc

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Elizabeth Kustantinah
alhamdulilah..akhirnya hanum bs bshagis...lsnjut thor..makasih.
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Hanum kmu hrs berterung terang dgn keadaan mu dgn Alex biar Alex g salah faham juga .kmu terima cinta Alex .biar Adryan nyesek klo kmu telah punya kekasih se irang CEO yg lebih tajir dr Adryan klo ada pesta perusahaan kmu d bw pasti akan ketemu mantan mu dn klga nya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dama adrian kau g berani tegas sementara sama laki2 yg bukan muhrim mu kau tegas. dasar binatang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status