Share

Salah Paham

Kau datang diam-diam. Menyusup dan perlahan bertahta.

Tapi sayang hatiku telah mati rasa.

-----------------------

"Pikirkan lagi. Sekali kau melangkah ke luar jangan harap bisa kembali."

"Aku tidak tahu apa yang membuatku dulu jatuh cinta padamu, menyesal mencintaimu begitu dalam, tapi pergi dari hidupmu tidak akan pernah kusesali."

.

.

"Mulai bulan ini gajimu saya potong dua per tiga."

"Dua per tiga? Memangnya kenapa, Buk?"

"Kamu ngga amnesia 'kan? Bulan lalu membuat kekacauan di pesta ultah perusahaan? Kamu pikir ganti gaunnya Nyonya Martha pakai duit siapa? Ya punya perusahaan. Jadi gaji kamu dipotong selama satu tahun."

.

.

Hanum termenung. Percakapan terakhirnya dengan Adrian menghancurkan semua rasa yang dia punya. Dia mati rasa. Begitu pun ancaman Buk Ratna terngiang di telinga. Dua per tiga dari gajinya sangat besar, apalagi selama setahun. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana caranya bertahan sampai waktu setahun itu selesai. Hanum mendesah membayangkan hidupnya tidak akan mudah.

Satu bulan sudah Hanum keluar dari kontrakan sejak Adrian menjatuhkan talak. Dia hanya membawa lima potong pakaian yang dibeli sebelum menikah dengannya.  Laki-laki itu tidak mengijinkan Hanum membawa apa pun yang pernah dibelikan untuknya, bahkan satu-satunya sepatu yang dipakai untuk bekerja disita Adrian, begitu juga dokumen pernikahan serta ijazah Hanum semua ditahan. Adrian benar-benar ingin membuat Hanun tidak berdaya dan kembali bertekuk lutut.

Bukan Hanum namanya jika dia menyerah. Lukanya masih berdarah, tetapi wanita itu tak pernah memperlihatkan gundahnya. Dia yakin jika apa yang terjadi adalah ketentuan dari yang kuasa. Dengan sisa tabungan yang tidak seberapa, Hanum menyewa sebuah kamar kos tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja.

Tanpa terasa kaki Hanum berjalan ke ruang pantry. Matanya memicing melihat seorang laki-laki sibuk mencari sesuatu di sana. Dia tidak pernah melihatnya di sini. Jadi wanita itu memutuskan mendekat.

"Maaf, Anda cari apa?" tanyanya sopan.

Laki-laki itu menoleh. Sejenak Hanum tertegun ketika pandangan mereka beradu. Iris laki-laki itu begitu kelam. Dengan alis hitam dan tebal membingkai rahang tegasnya. Dia seperti perpaduan eros dan poseidon. Menawan sekaligus mematikan.

Laki-laki itu berdehem membuat imajinasi Hanum terberai.

"Em, maaf. Kamu pasti OB baru itu 'kan?" terkanya gugup.

Hanum berbalik menuju dispenser, meletakkan dua buah cangkir, lalu memasukkan gula dan kopi ke dalamnya. "Suka kopi? Aku ahli membuat kopi. Semua orang di sini suka kopi buatanku," ucapnya pura-pura sibuk hanya untuk menutupi malu.

Laki-laki itu mendekati Hanum, tetapi wanita itu tergesa menaruh kopi yang telah diseduh ke atas meja. Menarik sebuah kursi untuknya sementara dia memilih duduk di seberangnya. Lelaki itu mengulum senyum, dia tahu wanita di depannya gugup dan itu membuatnya tertarik.

"Kamu kerja di sini?" tanyanya seraya menghenyakkan bokong ke kursi.

Hanum mengangguk. "Iya. Baru beberapa bulan, sih."

"Namamu siapa?"

"Hanum."

"Kamu betah?"

' Hanum tertawa kecil memperlihatkan barisan gigi putihnya. "Betah, tapi belum apa-apa gajiku udah dipotong," keluhnya murung.

Dahi Sang lelaki berkerut. "Dipotong? Kenapa?" tanyanya sambil menyesap kopi buatan Hanum.

Hanum mendesah, menopang dagunya dengan tangan. "Aku ngga sengaja rusakin gaun tamu waktu ultah perusahaan kemarin. Dia minta ganti, kepaksa gaji aku dipotong setahun. Padahal aku butuh uang," jelasnya. Matanya kembali berkaca-kaca mengingat kejadian malam itu.

Gerak-gerik Hanum tak sedikit pun luput dari sorot mata elang laki-laki itu. Kembali menyesap kopinya, dia memperhatikan sang wanita dari balik cangkir. Biasanya dia tidak peduli dengan wanita mana pun, tetapi Hanum berbeda. Wanita itu terlihat apa adanya. Ada geleyar asing ketika pandangan mereka beradu. Mata sendu itu seolah menariknya berlama-lama memandang wanita itu.

"Eh, sebaiknya kamu ke ruangan Buk Ratna. Dia ngga suka kalau ada calon karyawan ngga disiplin," cetus Hanum memutus lamunan sang Lelaki.

Laki-laki itu berdehem, lalu berdiri. "Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu," ucapnya melangkah keluar pantry, tapi di ambang pintu dia berbalik. "Kopi buatanmu sangat enak, Hanum. Terima kasih." Dia mengulas senyum menawan di bibirnya membuat Hanum membeku sesaat.

"Sama-sama ..." jawab Hanum lirih setelah laki-laki itu menghilang.

''Sadar Hanum ... jangan seperti wanita murahan,' bisik suara di kepalanya membuat Hanum tersenyum kecut.

*

Seorang lelaki bertubuh tegap, mengenakan kemeja kuning gading dipadu celana bahan berwarna hitam terlihat menyongsong sosok yang berjalan ke arahnya.

"Pak Alex, maaf kami tidak tahu kalau Anda akan ke kantor hari ini," sambutnya ramah di lorong kantor setelah jauh dari pantry.

Laki-laki yang bernama Alex tersenyum miring. "Jangan basa-basi, Gilang. Aku tidak suka!" dengkusnya. "Dan jangan panggil aku, Pak. Kita sepantaran."

Gilang terkekeh melihat raut gusar Alex. "Jadi apa yang kau lakukan di pantry?" tanyanya menjajari langkah laki-laki itu.

"Minum kopi?" jawab Alex singkat.

Dahi Gilang berkerut. "Kau repot-repot ke pantry hanya minum kopi?! Kau bisa menyuruh OB 'kan?"

Alex hanya diam membiarkan Gilang membuka pintu besar berwarna coklat tua yang bertuliskan Presdir.

"Apa tidak boleh aku membuat kopi sendiri?" tanya Alex acuh, duduk di kursi putarnya dan memeriksa beberapa berkas yang diminta dari Gilang.

Gilang mengedikkan bahu. "Ngga masalah, sih. Hanya saja kau seorang Presdir. Banyak yang bisa kau suruh."

Alex tidak menanggapi. Dia sibuk membaca dan menandatangani beberapa berkas penting yang bertumpuk sejak pergi ke Singapura.

"Bagaimana kabar Neysa?" tanya Gilang hati-hati.

Gerakan tangan Alex terhenti, matanya menyorot sendu. "Dia masih bisa bertahan. Dokter belum menemukan pendonor yang cocok." Alex diam sejenak, menghela napas dan mengembuskanya perlahan. "Aku membawanya pulang. Dokter bilang dia butuh suasana baru dan kupikir benar, mengingat hampir enam bulan dirawat di rumah sakit."

Gilang mengangguk. "Ya, di rumah dia bisa lebih dekat denganmu. Apa kau menyewa perawat?"

Alex mengernyit. "Perawat?"

"Iya, kau perlu seseorang untuk menjaganya selama kau bekerja. Tidak bisa mengandalkan asisten rumah tangga saja," nasehat Gilang membuat Alex terdiam.

"Kau harus mencari seseorang yang bisa dipercaya, lembut dan juga sabar. Kau tahu 'kan Neysa sangat tertutup," tambah Gilang.

"Di mana bisa kucari orang seperti itu?" tanya Alex, tapi sedetik kemudian sekelebat wajah melintas di matanya. Senyum Alex mengembang.

"Gilang, cari cleaning service bernama Hanum. Tawari dia pekerjaan itu, beri gaji sepuluh kali lipat dari gajinya di sini, tapi dia harus tinggal di rumahku," titah Alex membuat dahi Gilang berkerut.

"Kau kenal wanita itu?"

Alex menggangguk. "Dia sangat nikmat."

Gilang terperangah dengan jawaban ambigu Alex.

"Maksudku kopi buatannya sangat nikmat," ralat Alex tersenyum puas melihat wajah bingung Gilang.

"Dasar sial!" umpat Gilang setelah tadi membayangkan yang tidak-tidak membuat Alex terbahak.

*

Hanum membaca sekali lagi kontrak kerja yang di ajukan sekretaris pribadi Presdir.

Matanya berbinar melihat nominal gaji yang akan diterimanya setiap bulan. Ditambah lagi dengan fasilitas yang didapatnya. Hanum tidak perlu memikirkan biaya kos dan kebutuhan sehari-hari, semua sudah menjadi tanggungan bos barunya.

"Pak Gilang, ini serius 'kan?" tanyanya memastikan.

Gilang mengangguk. "Saya tidak pernah main-main menawarkan pekerjaan, lagipula ini perintah langsung Presdir."

Mata Hanum membola."Presdir ...? Jadi saya kerja di rumah beliau, tinggal di sana, tapi ...."

Gilang tersenyum melihat wajah polos Hanum. Dia mengerti mengapa Alex menginginkan wanita itu. Hanum menarik dengan pesona yang tak bisa diungkapkan.

"Jadi gimana? Kamu mau atau tidak? Saya bisa tawarkan ke-"

"Saya mau!" tukas Hanum cepat membuat Gilang tersenyum senang.

"Saya akan minta Pak Udin mengantarmu. Hari ini kamu langsung kerja di sana."

*

Hanum memandangi rumah berlantai tiga di depannya. Dia takjub melihat betapa besar dan megahnya rumah itu.

Halamannya saja mampu menampung sepuluh mobil. Musalla kecil dengan ornamen yang tak kalah indah ada di sisi kiri rumah. Pilar-pilar penyangga sangat besar dan kokoh seperti raksasa yang berbaris.

Beberapa mobil mewah berjajar rapi di garasi. Rumah yang didominasi warna putih dan jendela besar terlihat hangat dan tenang membuat kecanggungan Hanum sedikit berkurang.

Seorang security memandu langkah Hanum memasuki rumah, lalu mempersilahkannya duduk, kemudian berlalu mencari tuannya.

Hanum mengedarkan pandangan menyapu sekeliling ruang tamu yang tak kalah mewah. Semua interiornya terlihat berkelas. Sayup telinganya mendengar kecipak air dan tepuk tangan di samping rumah. Tanpa sadar kakinya melangkah ke sana.

Terlihat seorang gadis kecil sedang tertawa dan bertepuk tangan seolah menyemangati seorang laki- laki yang sedang berenang. Hanum bergegas mendekati gadis itu tersebut dan menariknya ke pinggir.

"Hei, keluar!" bentaknya pada sang lelaki, sementara sang gadis kecil itu menatap Hanum, heran.

Mata Hanum melebar ketika melihat siapa sosok yang keluar dari kolam. "Oo, kamu kerja di sini juga?" tanyanya sinis. "Kalau berenang ngga usah bawa yang lain, kalau tenggelam gimana?" imbuhnya ketus.

Sementara laki-laki dan gadis kecil yang ada dalam dekapan Hanum saling pandang.

"Kalau orang tuanya tahu mereka pasti marah," lagi, Hanum tak memberi kesempatan lelaki itu bicara.

"Lho, Mbak Hanum di sini? Saya cariin dari tadi," ucap security yang tadi mengantarnya, lalu menunduk pada laki-laki yang hanya mengenakan celana pendek.

"Tuan, ini Mbak Hanum yang mau kerja di sini."

Hanum mengernyit. Menatap security dan laki-laki itu bergantian. Tiba-tiba sebuah pemahaman masuk ke benaknya.

Hanum terbelalak surut ke belakang, membekap mulutnya yang menganga. Menatap ke arah lelaki yang sedang bersedekap dan balas menatapnya. Terbias geli di bibir dan matanya, membuat Hanum ingin menenggelamkan dirinya ke dasar bumi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Elizabeth Kustantinah
smg hanum dg alex..biar nyahok andrian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status