Share

Kepingan Hati

'Setelah kau hamburkan kepingan hatiku ke dalam tumpukan jerami dan membiarkan kutertatih memungutinya sendiri. Kini kau datang menadahkan tangan meminta kembali, maaf ... hatiku bukan batu.'

------------------------------

"Aku tahu ini terlalu cepat, tapi kurasa ... aku jatuh cinta padamu."

"M-maksud Bapak?!"

"Aku ingin menjadi pelindungmu, sandaranmu. Hanum, jadilah milikku."

"Maaf, saya tidak-"

"Jangan jawab sekarang, nanti kalau kau sudah siap."

.

.

Dari jendela kamar, Hanum menatap hujan menjatuhkan rintikannya ke bumi, terpukau melihat kabut yang membuat kaca jendelanya berembun. Lamunannya terberai ketika memori masa lalu menyapa benaknya.

Hanum membenci hujan.

Hujan mengingatkannya pada Adrian dan pengkhiatan. Perih itu masih terasa, luka itu masih berdarah. Rasa sakitnya seperti karang yang tetap bertahan meski tenggelam dihempas badai dan gelombang. Sekuat apa pun Hanum ingin menghapus, semakin kuat kenangan itu memeluk benaknya.

Kadang terbersit tanya di hati. Pernahkah terbit penyesalan di hati Adrian, pernahkan sekali saja laki-laki itu mengenangnya. Hanum tersenyum getir, mana mungkin itu terjadi. Lelaki itu pasti sudah bahagia dengan keluarga kecilnya tanpa ada namanya. Seperti ombak, sekuat apa pun berusaha kembali ke lautan akan selalu terhempas ke tepian.

Dibuang, disingkirkan.

Alex. Dalam mimpi pun Hanum tak pernah mengira laki-laki itu tertarik padanya. Dusta jika dia tidak merasakan apa pun padanya. Laki-laki itu perlahan, tetapi pasti mampu menggetarkan hatinya yang kebas. Nanum, Hanum tahu diri, siapalah dia dibandingkan lelaki itu. Laksana langit dan bumi.

Dia takut menanam asa jika akhirnya menuai nestapa. Tak ingin jatuh lagi ke dalam kubangan perih dan sakit hati. Hanum memilih memendam rasa itu jauh di relung hati.

Sejak malam itu hubungan mereka semakin dekat. Alex tak sungkan lagi menunjukkan perhatiannya, dia memperlakukan Hanum begitu istimewa. Seolah wanita itu miliknya yang paling berharga, selain Neysa tentunya.

*

"Mbak Hanum, Papa bilang mau ajak kita makan malam di luar," ucap Neysa ketika Hanum menyisir rambutnya.

Hanum menatap gadis kecil itu dari kaca yang ada di depan mereka. Sesekali melirik tangannya yang mengepang rambut Neysa.

"Oo, ya. Wah, Neysa senang dong. Mbak ngga usah ikut, ya," ucap Hanum membuat Neysa mengerucutkan bibirnya.

"Papa bilangnya kita, bukan Ney dan Papa. Kalau Mbak ngga ikut, Ney juga ngga ikut," rajuknya.

Hanum tersenyum simpul. Rasanya baru satu bulan yang lalu dia mendengar kalimat yang sama. Ayah dan anak itu memang mirip, pemaksa dan suka merajuk.

"Iya, deh. Mbak ikut." Hanum tersenyum puas melihat hasil kepangannya, lalu berlutut di depan gadis itu. "Tapi Neysa makan siang, minum obat trus tidur dulu," imbuhnya.

Gadis itu mengangguk cepat.

"Tidur siangnya sama, Mbak, ya?" rayunya, lalu bersorak gembira ketika Hanum mengangguk.

*

Hanum termangu melihat kotak hitam di atas ranjangnya. Tadi siang Alex mengutus seorang kurir mengantarkan sebuah bingkisan untuknya dengan pesan dia harus memakainya saat makan malam nanti.

Perlahan tangannya bergerak membuka kotak berbentuk kubus itu. Terpana melihat sebuah gaun berwarna putih yang terlihat indah.

Kekagumannya semakin menjadi kala menyentuh gaun tersebut, terasa sangat lembut. Hanum bahkan menempelkan ke pipinya untuk merasakan kelembutannya.

Hanum tersenyum. Tidak dipungkiri hatinya mulai mencair. Entah sejak kapan ia nyaman dengan semua perhatian Alex.

Alex mampu menerobos benteng yang dibangunnya. Perlahan tapi pasti dia mulai menarik hati Hanum.

"Wah, Mbak cantik banget. Mirip Putri salju," puji Neysa melihat Hanum memakai gaun selutut berwarna putih dengan corak bunga tulip.

Hanum tersipu. "Neysa bisa aja. Cantikkan kamu, Sayang."

Gadis kecil itu tertawa mendengar pujian Hanum, menarik tangan wanita itu keluar kamar, lalu menuruni tangga melingkar menuju ruang tamu.

Mendengar tapak sepatu mendekat, Alex menoleh ke arah suara. Sejenak dia membeku. Seolah semua berjalan dalam gerak lambat. Malam ini Hanum begitu cantik. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, wajahnya bersinar meski hanya disapu bedak dan lipstick. Kaki jenjangnya dibungkus stiletto yang tidak terlalu tinggi. Tak ada kata yang bisa menjabarkan kecantikan wanita itu, yang pasti seorang Alex Bagaspati takluk pada pesonanya.

"Pa, ayo!" seru Neysa membuyarkan imajinasi Alex.

"Eh, iya. Kamu duluan, ya. Papa ada yang ketinggalan," jawab Alex, entah mengapa dia gugup ketika beradu pandang dengan Hanum.

Neysa mengangguk, lalu berjalan keluar menuju mobil yang terparkir di halaman. Hanum pun berniat menyusul Neysa, tetapi lebih dulu Alex memegang tangannya.

"Kamu tetap di sini," ucapnya menatap Hanum lembut.

"Tapi, Pak-"

"Harus berapa kali kukatakan panggil namaku kalau kita berdua saja," titah Alex tegas.

Jantung Hanum berdegup sangat kencang ketika Alex menarik pinggangnya, nyaris tak ada jarak di antara mereka andai Hanum tidak menahan dada lelaki itu dengan tangannya.

"Pp-pak ..."

"Alex, hanya Alex ..."

"A-alex ... sebaiknya kita pergi. Neysa-"

"Neysa bisa menunggu, tapi aku tidak," potong Alex serak.

"Maksudnya?" tanya Hanum bingung.

"Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Katakan iya ... katakan kau mau jadi milikku," pinta Alex menuntut.

Hanum menunduk. "Ini tidak mudah. Kau tidak kenal siapa aku, masa laluku, aku-"

Alex mengelus pipi putih Hanum membuat wanita itu mengangkat kepalanya. "Aku tidak peduli masa lalumu. Aku mencintaimu tanpa syarat, Hanum."

Hanum menggeleng. Matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi aku perduli ... kau harus tahu bagaimana aku agar tidak ada penyesalan nanti," lirihnya.

Alex mendekap Hanum yang terlihat rapuh. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada wanita itu di masa lalu, tapi melihat sakit di matanya membuat Alex yakin dia menyimpan luka di hatinya.

*

"Hanum?!"

Tubuh wanita itu menegang ketika sebuah suara yang begitu dikenal memanggilnya. Dia menoleh dan melihat Adrian berjalan cepat ke arahnya. Belum hilang keterkejutan wanita itu, tubuhnya ditarik masuk ke dalam pelukan laki-laki tersebut.

"Hanum, aku rindu ..." lirih Adrian sambil mengeratkan pelukannya.

Hanum bergeming, bahkan otaknya beku. Rindu? Andrian rindu padanya? Hanum merasa ironi. Apakah laki-laki itu lupa sudah menyingkirkannya dengan kejam.

Lidah memang tak bertulang. Begitu mudah membolak-balik kata.

"Hanum, kenapa diam saja? Katakan sesuatu," ucap Adrian setelah mengurai pelukannya.

Hanum menepis perlahan tangan Adrian yang ada di bahunya setelah bisa menguasai dirinya. "Apa kabar, Mas," tanyanya.

Adrian menghela napas dan mengembuskannya perlahan.

"Aku selalu menunggumu pulang. Maaf, malam itu aku terlalu marah," ucap Adrian tak menjawab pertanyaan Hanum.

Hanum mendengkus. "Untuk apa menunggu seseorang yang sudah dibuang."

"Aku tidak pernah membuangmu. Kamu yang ingin pergi," bantah Adrian.

"Kau yang mendorongku pergi, Mas. Kau sudah membuangku sejak mencurangiku dengan Amelia," balas Hanum ketus.

"Hanum," Adrian mencoba meraih tangannya, tetapi Hanum surut selangkah.

"Cukup, Mas. Kita sudah selesai. Jangan pernah menggangguku lagi," ucap Hanum berniat meninggalkan Adrian.

"Tunggu!" Adrian mencekal lengan Hanum. "Kau masih istriku secara hukum. Kembalilah, aku akan perbaiki semua."

Hanum memejamkan mata. Lukanya kembali berdarah. Adrian masih ada di sudut hatinya. Tak mudah melupakan semua cerita yang telah mereka rajut, tetapi laki-laki itu pula yang menghancurkan hatinya berkeping-keping.

Seakan tak pernah ada cinta di hati mereka dulu dan sekarang dengan gampangnya memintanya kembali. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.

"Hatiku bukan batu, Mas. Bisa kau mainkan sesukamu," ucap Hanum tegas, lalu melangkah dengan air mata berderai meninggalkan Adrian yang membeku.

Ingin rasanya dia mengejar, tapi Adrian tahu diri. Luka yang ditorehkan begitu dalam. Dia tak ingin mendesak. Mundur selangkah demi mendapatkan cinta Hanum kembali bukan masalah baginya.

Langkah Hanum terhenti ketika matanya menangkap sosok laki-laki bermata elang ada di depannya.

"Alex ...," lirih Hanum, mengusap air mata di pipinya.

Alex mendekat. Matanya terpaku hanya pada satu sosok rapuh yang masih berusaha tegar. Terlalu lama mengambil obat Neysa yang tertinggal di dalam mobil, Alex memutuskan menyusulnya.

Siapa sangka di pelataran parkir dia melihat drama menyedihkan. Ingin rasanya menghajar laki-laki yang membuat Hanum menangis, tetapi dia tak ingin gegabah. Alex ingin mendengar semua cerita dari mulut sang wanita sendiri.

"Jangan dihapus ..." ucap Alex lembut. Dia merangkum wajah Hanum yang bersimbah air mata. "Biarkan semua lukamu meluap bersama air mata hingga kering. Setelah malam ini jangan pernah menangis untuk dia."

Hanum membenamkan wajahnya di dada bidang Alex. Tangisnya semakin menjadi ketika hangat tangan lelaki itu mengusap punggungnya.

Bukan, bukan menangisi masa lalu, tetapi terharu dengan cara Alex yang mendekapnya erat dengan cara terlembut yang dia bisa.

Tbc

*aku lupa ngasih gula, takutnya mak-emak diabetes. Orang tua bilang banyakin makan yang pahit biar sehat. Kalau aku bilang, sih, ntar kalau hidupnya pahit bisa bilang gini.

'Udah biasa.'

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
bener kata Alex jangsn nangisin lagi kaki2 itu dh stop .dn kmu hrs cerita k Alex biar kmu dn Alex bisa balas dendam k Adryan k.telah menyakitin kmu dn kmu minta tolong k Alex tentang mantan mu itu
goodnovel comment avatar
Juairiah Lia
lanjut, sangat menguras emosi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status