Share

Bab 7

"Kalau menurutmu mengurus rumah adalah pekerjaan yang mudah, kau saja yang mengerjakannya."

-Anna-

***

Aku menangis tersedu saat Mas Heru menanyakan soal rumah yang berantakan. Bukan karena cèngeng, aku hanya tak suka dia terus menyalahkan. Terlebih video yang dikirim papa soal Mas Heru dan Sindi membuatku muak dan ingin mencakar wajahnya yang rupawan itu.

"Dek."

Mas Heru masuk ke kamar dan mendekatiku.

"Dek, jangan marah dong. Mas minta maaf."

Tumben sekali lelaki ini meminta maaf. Biasanya juga gak pernah minta maaf. 

"Dek, jangan marah. Masa begitu saja marah?"

Aku diam saja. Malas menanggapi ucapan Mas Heru yang semakin membuatku muak.

"Dek Eleanna, Mas lagi ngomong sama kamu, loh, ini. Masa dicuekin?"

Sepertinya, lelaki kikir yang menikah denganku tiga tahun lalu ini kesabarannya sudah diambang batas.

"Terserah kamu Anna. Mas capek! Entah apa maumu. Orang kamu ýang salah kok, siapa suruh rumah berantakan saat Mas pulang. Coba kalau kamu jadi orang rapi sedikit, bersih sedikit, 'kan rumah kita enak dipandang. Gak seperti ini."

Aku diam saja. Menjadi pendengar setia Mas Heru.

"Ya udah. Oke. Kalau kamu diam saja. Gak usah jawab pertanyaan Mas. Diam saja sudah. Gak usah dijawab. Toh percuma juga kalau kamu jawab. Gak merubah keadaan kalau kamu hanya bisa membela dirimu sendiri. Pasti kamu memiliki seribu macam alasan untuk berkelit. Dasar pemalas! Kerja kamu cuma ongkang-ongkang kaki saja di rumah! Membersihkan rumah saja kau tak bisa! Istri tak berguna!"

Aku membalikkan tubuh, menatap wajah Mas Heru. Tatapan kami begitu intens. Aku tak tahu kenapa lelaki yang sudah bersamaku 3 tahu teràkhir ini tega berbicara seperti itu.

"Maksud Mas apa?"

"Kenapa? Kau tak suka dikatai pemalas? Memang benar, kau itu istri tak berguna! Sudah malas, kerjanya hanya tiduran saja, tak mau membersihkan rumah. Apa namanya kalau seharian hanya duduk berdiam diri di rumah, hah?"

"Terserah, Mas. Kujelaskan pun Mas tak akan percaya! Apa perlu setiap hal yang kulakukan harus kuvideokan agar kau percaya? Kau hanya menuduhku tanpa bukti. Padahal, kesalahanmu banyak sekali! Tak berkaca pada diri sendiri yang bukannya bekerja malah bermain api dengan janda!"

Mas Heru terkesiap, terlihat wajahnya pucat pasi mendengar kata bermain api dengan janda. 

Aku tak peduli, kutinggalkan dia sendiri di kamar sempit yang hanya bisa muat kasur busa untuk kami rebahan.

***

Aku menangis sesenggukan di ruang tamu. Kulihat, Mas Heru sudah berada tepat di belakangku.

"Kamu ini kenapa, sih, Dek? Salah makan? Kenapa ngambek terus? Kita sedang membahas soal kau yang tak membereskan rumah. Kenapa pula larinya ke janda? Siapa yang bermain api dengan janda?"

"Pikir saja sendiri! Tak perlu kujelaskan. Kau pasti tahu pasti jawabannya! Satu lagi, kalau menurut Mas rumah ini tidak rapi, kotor, dan tak sesuai apa yang Mas harapkan, Mas saja yang menjadi ibu rumah tangga! Mas kira aku gak lelah apa seharian membersihkan rumah, belanja, masak untukmu. Itu juga gak pernah kamu hargai! Sebenarnya aku ini apa bagimu, Mas?"

Emosiku meluap bak Sungai Ciliwung yang membanjiri kota Bogor.

"Kerja cuma membereskan rumah saja mengeluh! Kamu itu gak bersyukur jadi orang!"

"Terserah katamu, Mas! Terserah maumu apa! Aku lelah!"

Aku keluar rumah, meninggalkan Mas Heru sendirian.

***

Jalanan sangat sepi. Aku menyusuri setiap trotoar jalan yang menghantarkan kaki ini entah ke mana.

"Tega kamu, Mas! Kamu benar-benar tak punya hati!"

Aku terduduk di bangku taman ditemani temaram bulan. 

Ada apa sebenarnya antara kau dan Sindi? Kenapa kalian terlihat mesra?

Aku memandang ponsel untuk melihat pukul berapa sekarang. Sudah pukul sembilan malam ternyata. Aku segera menghubungi Papa sembari menangis tersedu.

"Pa,"

"Eleanna, kamu kenapa?"

"Elea habis berantam sama Mas Heru. Sekarang, Elea sedang di taman kota. Papa bisa jemput?"

"Oke. Papa ke sana sekarang! Kamu jangan ke mana-mana. Tunggu sampai Papa tiba."

Setelah mengatakan keberadaanku pada Papa, panggilan terputus.

***

"Nak, apa yang terjadi?"

Aku tak ingin menjawab, rasanya teramat sakit mengingat apa yang disampaikan Mas Heru beberapa jam lalu.

Aku istri tak berguna katanya. Lihat saja nanti, kau akan menangis bertekuk lutut setelah tahu kalau aku adalah pewaris tunggal kekayaan papa tiriku.

***

Perjalanan antara taman kota ke rumah Papa tiriku memang tak jauh, hanya membutuhkan beberapa menit. Kini, kami sudah sampai di rumah Papa. Saat keluar dari mobil, kudapati Mas Heru sedang bercengkrama dengan Sindi, tepat di depan rumah ibu satu anak itu.

"Dasar lelaki buaya! Istri kabur bukan disusul, malah enak-enakan pacaran di sini!" 

Aku sangat geram melihat pemandangan yang tersaji di depan mata. Mas Heru begitu mesra bercengkrama dengan Sindi dan anaknya. Ke mana suaminya Sindi? Kenapa sampai sekarang belum pulang, juga?

Darahku mendidih, ingin sekali menghampiri kedua makhluk tersebut, lalu mencakarnya dengan kuku-kuku panjang ini.

Namun, Papa mencegahku melakukan itu.

"Biarkan saja! Kamu masuk ke dalam. Ada cara yang lebih elegan untuk membalaskan perlakuan Heru kepada kamu, Anna."

Papa benar, aku adalah wanita baik-baik, bukan levelku jika harus mencakar dan membuat malu Sindi dan Mas Heru.

"Lihat saja nanti, Mas. Tunggu pembalasanku. Kau akan bertekuk lutut dan memohon padaku. Kau dan Sindi akan menerima akibatnya!" seruku.

Aku langsung masuk ke dalam rumah Papa. Lelaki yang sudah berusia tak muda lagi itu memanggil Mbok Ani, pembantu rumah tangga yang sejak kecil mengurus diriku.

"Mbok, siapkan kamar untuk Eleanna. Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini!" titah Papa.

Mbok Ani mengangguk, kemudian langsung menuju kamarku yang dulu. Kamar yang selalu menjadi saksi tempatku berkeluh kesah.

"Sudah selesai, Non," ucap Mbok Ani.

Aku mengucapkan terima kasih padanya, sembari memeluk tubuh yang sudah tak muda lagi itu.

"Mbok, Elea kangen sama Mbok Ani," ujarku jujur.

Mbok Ani hanya tersenyum. 

"Mbok juga kangen sama Non. Non apa kabar? Lama sekali tak main ke rumah ini?" tanya Mbok Ani.

"Kabarku tak baik, Mbok. Aku sakit hati." Aku mengurai pelukan Mbok Ani.

"Mbok kenal dengan pemilik rumah di depan tidak?" tanyaku penasaran.

"Kenal, namanya Sindi. Dia istrinya Bos suami Non Eleanna. Suami Non Eleanna sering main ke sini. Kadang keduanya jalan-jalan tanpa sepengetahuan suami Sindi," ujar Mbok Ani padaku.

Aku cukup kaget mendengar penuturan Mbok Ani. Ternyata, Sindi adalah istri dari bos Mas Heru. 

Seketika ide muncul di kepalaku. Kini, aku tahu bagaimana harus membalaskan rasa sakit hati yang diperbuat oleh Mas Heru dan Sindi.

"Lihat saja, Mas. Kamu akan menyesal karena sudah menyakiti hatiku!"

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status