Share

Ucapan Papa

Bab 6- Ucapan Papa

"El, ada yang ingin Papa katakan lagi," ucap Papa.

Aku terbengong. Entah apa yang akan dikatakan bapak sambungku ini, aku hanya bisa terbengong untuk beberapa saat, bukan terbengong, tetapi menunggu kalimat yang keliar dari bibir Papa.

"Sudah dua bulan ini, Papa lihat Heru main ke rumah Sindi," ujar Papa.

Deg, jantungku berdetak. Tadi pagi juga Mas Heru memberikanku uang enam puluh ribu karena katanya Papa mau datang. Itu juga tahu dari Sindi. Sebenarnya, apa hubungan Mas Heru dan Sindi?

"Papa lihat sendiri, El. Mungkin kamu gak akan percaya, tetapi Papa tak bohong," ujar Papa.

Aku bergeming, bingung rasanya mau menjawab apa.

"Oh, mungkin lagi ada urusan," ucapku.

Papa menggeleng.

"Tak mungkin ada urusan, Papa sering lihat mereka berboncengan berdua, juga sering berpelukan," jelas Papa.

Aku mengelus dada. Fakta baru yang kuketahui saat sudah tiga tahun menikah dengan seorang Heru Kurniawan.

"Pa, apa maksud Papa, Mas Heru main serong?" tanyaku.

Papa mengangguk.

"Papa rasa begitu. Mereka terlihat mesra," ujar Papa lagi.

Dadaku seperti diremas-remas mendengar perkataan Papa. Apakah benar, Mas Heru begitu? Namun, kenapa dia selingkuh? Bukankah Sindi adalah temanku, dia juga sudah bersuami.

"Papa mungkin salah lihat, mana mungkin Mas Heru begitu," sanggahku.

Aku tak percaya saja, jika Mas Heru berani main serong di belakangku.

"Semoga saja Papa salah. Kalau memang benar, Papa mau kamu dan Heru bercerai, El. Apalagi yang kamu pertahankan, kalau Heru berselingkuh, ditambah nafkah yang diberikan hanya lima belas ribu. Papa rasa, gak ada yang bisa diharapkan dari lelaki model Heru, pikirkanlah kebahagian kamu, El," nasihat Papa.

Aku mengangguk saja. Sepanjang perjalanan menuju rumah, pikiran ini bergelayut dengan pikiran negatif. Apa benar Mas Heru selingkuh? Kalau memang benar, artinya selama ini uangnya dihabiskan untuk Sindi, sementara aku, hanya diberi nafkah lima belas ribu setiap harinya.

***

Aku dan Papa sampai, kuturunkan semua barang belanjaan yang tadi dibeli di pasar. Papa kutawari untuk singgah ke rumah, tetapi ia menolak.

"Papa gak mampir dulu?" tanyaku

"Gak usah, El. Papa langsung pulang saja, lagian suamimu kan gak ada. Papa balik ya," ucap Papa.

Aku mengangguk.

Papa meninggalkan halaman rumahku dan mobil yang kami tumpangi tadi melesat begitu cepat.

Aku menyusun semua bahan makanan yang kubeli di pasar barusan ke dalam kulkas.

Hari ini, aku akan memasak ayam semur bali. Kebetulan, itu adalah makanan kesukaan Mas Heru. Ayam sekilo yang tadi dibeli, kubagi ke dalam dua tempat. Untuk menu makanan hari ini dan lusa. Kalau besok, biarlah aku masak sambal kentang.

Setelah belanjaanku rapi, aku segera mengeksekusi ayam yang akan kujadikan semur bali.

Biarlah, sesekali Mas Heru makan makanan bergizi. Sekalian nanti, kutanyakan soal kedekatannya dengan Sindi.

***

Tak terasa, sudah satu setengah jam, aku berkutat di dapur. Kulihat, Mas Heru belum juga pulang. Biasanya dia akan pulang jam segini.

Apakah mungkin dia ke rumah Ibunya?

Kuputuskan untuk menelpon Naira, adik Mas Heru yang paling bungsu.

"Halo, assalamualaikum," sapaku.

[Waalaikumussalam. Ada apa, Kak?] tanya Naira ketus.

"Mas Heru ada di sana, Nai?" tanyaku.

[Gak tahu! Nai lagi di luar. Udah ya, jangan ganggu Nai!] telpon dimatikan secara sepihak oleh Naira.

Aku mengelus dada. Selain Mas Heru, keluarganya juga bersikap kasar padaku. Seperti Naira tadi, mereka memang tak menyukaiku sebab dulu Mas Heru menolak dijodohkan dengan anak orang kaya. Saat ini, jika mereka tahu kalau Papa mewariskan seluruh harta kekayaannya padaku, mungkin sikap jutek dan kasar mereka akan berubah seratus delapan puluh derajat.

Bosan menunggu Mas Heru, kuputuskan menelponnya saja. Biar bagaimanapun, ada rasa khawatir yang menyelusup dalam sanubariku.

Meski Mas Heru pelit juga kasar, aku khawatir terjadi apa-apa pada suamiku itu.

***

Aku menunggu diteras rumah. Berharap, Mas Heru segera pulang. Hari kian sore, Mas Heru juga tak kunjung pulang. Aku lupa, kalau makan siang telah terlewatkan.

Di mana kamu, Mas? Kenapa sampai sore menjelang, belum juga kelihatan batang hidungnya? Apa benar yang dikatakan Papa barusan? Pikiran itu muncul dalam benakku.

Seseorang lewat dan menyapaku.

"Eleanna, sendirian aja, mana si Heru?" tanya Jamilah.

"Belum pulang, Mil," kataku.

"Loh, tadi aku lihat Heru udah jalan balik, suamiku dan dia kan sekantor, Heru udah balik dari siang tadi," kata Jamilah.

Jantungku berdegup kencang, jika Mas Heru sudah balik sejak siang tadi, ke mana dia berada sekarang? 

"Ah, iya, aku lupa, Mas Heru bilang kalau dia mau ke rumah Ibunya, mungkin kangen Mil," kataku bohong.

Jamilah mengangguk.

"Oh, ke rumah Ibunya, ya udah, aku pulang ya, selamat menunggu suami tercinta pulang," ejek Jamilah.

Aku hanya tertawa saja. Jamilah memang ada-ada saja.

***

Saat bermain ponsel, sebuah pesan dari Papa masuk ke gawaiku.

[Heru ada di rumah Sindi. Dia sedang bermain di sana bersama anaknya Sindi. Kamu pikirkan lagi perkataan Papa.] begitu bunyi pesan yang dikirim Papa.

Hatiku memanas, benar adanya kalau Mas Heru sedang bermain di rumah Sindi. Namun kenapa?  Bukankah Sindi sudah memiliki suami? Apa mungkin, Mas Heru memiliki urusan kerjaan dengan suaminya Sindi? Nanti, akan kutanyakan pada Mas Heru saat dia pulang.

Kuputuskan untuk masuk ke rumah, memilih rebahan.

***

Sudah pukul delapan malam, Mas Heru belum juga kembali, padahal dia sendiri yang bilang kalau hari ini Papa akan berkunjung ke rumah, kenapa malah dia tak ada di rumah? Mas Heru benar-benar keterlaluan.

Kupanaskan ayam semur bali yang siang tadi kumasak, aku melewatkan makan siang tadi. Maka saat ini perutku rasanya keroncongan, biarlah ayam itu kumakan saja tanpa menunggu suami pelitku itu.

Selesai makan, kuputuskan untuk menonton TV, guna mengusir rasa bosan yang melanda. Tak lama, suara motor Mas Heru terdengar.

Akhirnya kamu pulang juga, Mas. Kalau tak pulang, aku sudah berniat untuk membungkus pakaianmu dan kubawa ke rumah Ibumu.

"Assalamualaikum," sapa Mas Heru.

"Waalaikumussalam," kataku.

Mas Heru menatap sekeliling rumah, memastikan kondisi rumah bersih dan rapi seperti yang diinginkannya.

"Kamu ngapain seharian tadi?" tanya Mas Heru sinis.

"Belanja, masak, bereskan rumah," jawabku sembari mata melotot di depan TV.

"Kalau aku ngomong, tatap mataku! Jangan TV yang kamu lihat, An," kata Mas Heru murka.

Aku membalikkan tubuh, menatapnya tajam.

"Kamu ngapain di rumah seharian? Kenapa rumah berantakan begini?" tanya Mas Heru geram.

"Aku habis dari pasar, masak, membereskan rumah, kalau menurutmu ini masih berantakan, kau saja yang membersihkan! Aku capek!" jawabku ketus.

Aku segera masuk kamar, membanting pintu dengan keras. Teringat kembali ucapan Papa soal Mas Heru yang dekat dengan Sindi, terlebih, bukti yang ditunjukkan Papa.

***

Kalau kalian jadi Eleanna, kira-kira, akan cari tahu kebenarannya dulu tidak? Ah, si Heru, selain pelit ternyata dia juga tukang selingku. Saksikan terus ya. Jangan lupa like dan komennya. Thanks. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status