Share

Marah

Bab 2 NLBR

"Assalamualaikum," suara Mas Heru membuatku buru-buru merapikan rambut.

"Waalaikumsalam," jawabku.

Pintu terbuka, Mas Heru masuk, kulihat wajahnya sangat lelah. Bukankah dia baru saja makan enak di rumah orang tuanya? Lalu, kenapa mukanya ditekuk begitu? Sebenarnya ada apa dengannya? Batinku.

"Kenapa mukanya kusut, Mas?" tanyaku.

"Aku lapar. Ikan asin sama kangkungmu mana? Siapkan, aku mau makan!" seru Mas Heru.

Bukannya dia habis makan enak? Kenapa bilang lapar? Apa ibunya tak masak?"

Aku berkata begini, karena mertuaku memang selalu masak makanan yang enak, walaupun enak rasa masakannya karena micin.

"Loh, kan habis dari rumah Ibu? Emang Ibu gak masak?" tanyaku heran.

"Siapin aja deh, gak usah banyak komentar. Aku lapar, bukan butuh pertanyaanmu! Aku butuh makan! Cepat!" hardiknya.

Duh, laki-laki ini memang keterlaluan. Udah nyuruh, malah marah-marah. Aku heran kenapa sampai sekarang masih bertahan dengan pria semacam dia.

Meski sedikit jengkel sama Mas Heru, tetapi aku tetap harus hormat padanya. Biar bagaimanapun, dia adalah suamiku. Makanya, aku berusaha selembut mungkin saat berbicara dengannya.

"Udah habis, Mas. Kan Mas bilang mau makan di rumah Ibu, jadi aku habisin aja. Ada sisa dikit itu nasi doang sama telur di kulkas. Mau aku masakkan telur ceplok?" tanyaku.

Dia mengangguk lesu, mungkin tak ada pilihan lagi selain makan telur ceplok.

"Ya udah. Buruan masakkan aku telur ceplok, aku lapar sekali. Jangan lama-lama!" keluhnya.

Aku segera ke dapur dan menggoreng telur ceplok untuknya. Setelah selesai, kuhidangkan sepiring nasi dan lauknya.

"Ini," kuserahkan sepiring nasi beserta telur ceplok tersebut.

"Makasih, Na," ucapnya.

Mas Heru menyuap makanan itu dengan lahap ke mulutnya. Kurasa dia tak mengunyah makanannya terlebih dahulu, mungkin langsung ditelan tanpa dikunyahnha. Sebab, dalam waktu tak lama, makanannya tandas.

"Lapar atau doyan, Mas?" tanyaku. 

Mas Heru bukannya menjawab pertanyaanku, malah menghardikku.

"Berisik! Aku mau tidur! Jangan ganggu!" hardiknya.

Entah terbuat dari apa hatinya itu, bukannya mengucapkan terima kasih, malah masuk kamar dan tidur. Kebiasaan memang laki-laki itu, habis makan tidur.

*

"Na, Anna!" teriak Mas Heru.

Aku yang sedang membereskan bekas makanannya dan sedang memegang sabun untuk cuci piring, buru-buru ke kamar. Kalau terlambat sedikit, tentulah lelaki ini akan mengomel sepanjang hari.

"Ada apa, Mas?" tanyaku.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Mas Heru.

Entah buta atau memang tak peduli, lelaki satu ini tak melihat tanganku yang penuh sabun.

"Mau cuci piring bekas makan, Mas. Kenapa?" tanyaku.

"Buruan cuci piringnya. Aku mau dipijat. Kakiku sakit sekali!" kata Mas Heru.

Aku hanya mengangguk saja. Aku segera kembali ke dapur agar lekas mencuci piring dan kembali ke kamar.

*

"Pijitnya yang keras dong! Lembek banget sih jadi orang!" kata Mas Heru.

Aku berusaha memijit Mas Heru sesuai permintaannya, agar lelaki itu tak komplen lagi.

"Nah, ia begitu, gini kan enakan badanku," ujarnya.

"Mas, udahan ya pijitnya. Aku capek," kataku.

Ya, aku merasa sangat lelah, tanganku rasanya pegal sekali. Makanya, aku meminta udahan memijit badan Mas Heru.

"Capek ngapain sih, disuruh mijit doang bilangnya capek. Kamu itu gak ada kerjanya! Jangan ngeluh kenapa jadi istri! Gak mau apa pahala. Malas sekali jadi orang!" ujar Mas Heru.

Rasanya, jika tak ingat kalau dia adalah suamiku, akan kuremas-remas mulut pedasnya itu menggunakan caabi sekilo. Namun, aku tak melakukannya. Biar bagaimanapun, dia tetap suamiku dan aku harus hormat padanya.

"Ya udah, kalau gak mau. Aku bisa minta dipijit sama tukang urut. Mbah Oo itu bisa mijitin aku, tapi kalau aku dipijit sama Mbah Oo, aku tak akan memberikanmu uang belanja selama tiga hari!" ucap Mas Heru.

"Gak bisa begitu, dong Mas! Aku kan udah mijitin kamu! Aku capek! Kamu pikir aku nganggur seharian di rumah! Siapa yang masak, bereskan rumah, kalau bukan aku? Gitu, kamu tega mau potong uang belanjaku selama tiga hari. Kamu gak butuh makan apa!" ucapku dengan nada tinggi.

Mas Heru membelalakkan matanya, mungkin tak percaya kalau seorang Eleanna bisa marah-marah seperti tadi.

"Kamu membentkku? Aku ini suamimu!" kata Mas Heru tegas.

Aku diam saja, malas menjawab pertanyaan Mas Heru. Toh, kalau aku menjawab masalah akan semakin melebar tak karuan.

"Jawab Eleanna! Kenapa diam saja!" teriak Mas Heru.

"Aku capek! Maaf kalau Mas tersinggung," kataku.

Aku memilih keluar dari kamar, menuju ruang tamu, awalnya agar Mas Heru berhenti mengomel, tetapi dia malah menyusulku.

"Dasar istri gak berguna! Pemalas! Disuruh mijitin gak mau!" ucap Mas Heru.

Aku yang tadinya sudah tenang dan tak mau berdebat, emosiku malah tersulut lagi. Masa bodo dengan dosa yang selalu dikatakan oleh orang tuaku.

"Mas, aku ini capek! Kamu bilang aku istri gak berguna? Terserah kamu! Terus maumu apa? Mau cerai? Jatuhkan talak untukku, kalau memang mau cerai! Kau kira, siapa yang mau menikah dengan seorang laki-laki pelit dan hanya menjatah istrinya lima belas ribu sehari! Sana, cari istri baru yang mau kau nikahi dengan jatah uang segitu!" ucapku berapi-api.

Mas Heru terkesiap, wajahnya terlihat pucat pasi. Mungkin tak menyangka jika istri yang selama ini menurut dan lemah lembut, mendadak marah-marah seperti orang kesetanan.

Aku sendiri juga bingung, entah keberanian dari mana sehingga bisa marah-marah seperti tadi. Membayangkan bercerai saja aku tak pernah.

"Sudahlah, jangan dibahas lagi. Aku tidur saja," kata Mas Heru.

Mas Heru meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Dari tadi kek begitu, kalau dari tadi kan aku gak akan marah-marah dan membentaknya. Semoga saja dia bisa mencerna kalimatku tadi.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status