Bab 1 Ikan Asin
"Iya, ya sudah. Kamu masak apa hari ini?" tanyanya lagi.
Baru hendak menjawab, Mas Heru sudah lebih dahulu pergi ke dapur, membuka tudung saji.
"Ikan asin? Kamu kira aku kucing, apa?" Bentaknya padaku.
Mas Heru meninggalkanku seorang diri di dapur, dengan masakan yang sudah berserakan di atas meja.
Selalu begitu, ia tak menghargai apa yang kulakukan. Aku mengusap air mata yang tumpah, dan membereskan lauk yang tadi berserakan di meja makan. Beruntung tak berserakan di lantai, jadi, makanan ini bisa kumakan.
***
"Kamu itu kalau masak yang kreatif sedikit kenapa sih?" protesnya saat aku sudah berada di ruang televisi.
"Kreatif bagaimana maksudmu Mas?" tanyaku polos.
"Ya kreatif lah, masa setiap hari aku kamu kasih makan tahu, tempe, ikan asin, telur. Itu terus! Kamu tahu gak kalau aku ini bosan! Harusnya kamu kreatif lah masak menunya, biar aku selera makan! Bosan aku kalau tiap hari makannya itu terus! Beli ayam kek, daging kek, ikan kek, jangan itu-itu terus!" omelnya padaku.
"Mas, uang lima belas ribu mana cukup buat beli ayam, daging, atau ikan? Paling cukup cuma satu potong ayam Mas," kataku sembari menahan tangis.
"Nah, itu kamu bilang cukup dapat satu potong, kenapa gak kamu beli, coba? Kamunya aja yang gak bisa ngatur keuangan. Malah nyalahin nafkah lima belas ribu yang kukasih! Dasar istri gak becus! Pengeretan! Bisanya minta uang terus. Masak lauknya itu-itu saja!" omelnya lagi.
Aku mengelus dada, menyabarkan diri agar tak terpancing emosi.
"Sudahlah, aku mau ke rumah Ibu saja! Ibu pasti masak enak. Gak kayak kamu, masaknya cuma ikan asin, tumis kangkung yang membuat selera makanku hilang!" katanya lagi.
Suara motor Mas Heru sudah tak terdengar lagi. Seperti biasa, begitulah kelakuan suamiku kalau lauk yang disajikan tak membuatnya selera makan. Karena merasa kesal, aku menyendok nasi dan memakan masakanku tadi. Tak ada yang salah dengan lauk ikan asin dan tumis kangkung ini. Enak saja di lidahku. Mas Heru saja yang tak bersyukur jadi suami.
Sepiring ikan asin balado dan tumis kangkung, habis kumakan. Sudah tak bersisa lagi, aku malas menyisakan lauk untuk Mas Heru, toh nanti juga dia akan makan enak di rumah orang tuanya itu.
Selesai makan, aku membersihkan piring bekas makanku, setelah itu lanjut merebahkan tubuh. Lelah sekali rasanya. Tak sadar, mataku sudah terlelap, terbuai ke alam mimpi.
*** Nafkah Lima Belas Ribu ***
"Assalamualaikum Bu," sapa Heru saat memasuki pekarangan rumah orang tuanya.
"Waalaikumsalam," jawab Maemunah, Ibunya Heru.
"Lagi ngapain Bu?" tanya Heru basa-basi.
"Lagi santai aja. Tumben main, mau ngasih Ibu uang ya?" tanya Maemunah sembari tersenyum.
"Duh, perempuan memang otaknya selalu uang dan uang! Gak Anna gak Ibu, semua mikirnya uang terus!" gumam Heru.
"Apa katamu?" tanya Maemunah. Ia merasa tadi Heru sedang mengomel dengannya. Maemunah ingin memastikan apa yang dikatakan anaknya itu.
"Enggak Bu, Heru ke mari mau minta makan. Lapar Bu!" rengek Heru sembari membuat mimik wajah yang entah seperti apa bentuknya.
"Emang, istrimu gak masak?" tanya Maemunah sambil mengangkat satu alisnya.
"Masak sih Bu, cuma ya gitu, lauknya gak enak!" ucap Heru sembari menghempaskan pantatnya ke sofa yang empuk.
"Gak enak? Emang masak apa istrimu?" tanya Maemunah lagi.
"Ikan asin sama tumis kangkung. Kan aku jadi gak selera," ujar Heru dengan menggerutu.
"Ibu masak apa? Aku mau makan, lapar!" Heru bangkit dari tempat duduknya, kemudian berjalan menuju dapur.
Saat membuka tudung saji ibunya, tak didapati apa-apa. Hanya nasi semalam saja yang terhidang di sana.
"Ibu, Ibu gak masak?" tanya Heru dengan melas.
"Enggak. Lagian kan istrimu masak, ngapain pula kau kemari," kata Maemunah.
"Ya ampun Bu, Anna cuma masak ikan asin sama tumis kangkung aja, aku mana selera. Bosan kalau menunya itu melulu. Aku sudah hapal sekali menu masakan Anna. Kalau gak tahu, tempe, telur, ikan asin, tumis kangkung, bayam. Itu terus setiap hari selama aku menikah sama dia!" kata Heru ketus.
"Ya itu resikomu lah, siapa suruh dulu kau mau nikah sama si Anna. Kalau kau nikah sama yang lain kan gak jadi begini nasibmu? Coba aja kau dulu nikah sama si Meta anak juragan ayam di RT sebelah, kau gak akan makan masakan yang itu-itu aja!" omel Maemunah pada anaknya itu.
"Udah lah Bu, yang lalu biar berlalu, toh aku memang gak cinta sama si Meta dulu," kata Heru membela dirinya.
"Makan lah itu cinta! Kau kira kenyang apa makan cinta!" ejek Maemunah.
"Ah, Ibu. Udah lah, aku mau pulang aja. Gak ada pun makanan di rumah Ibu. Udah lah perutku lapar, Ibu gak kasihan apa sama cacing di perutku ini?" ucap Heru memelas.
"Kau ini, ngapain pula Ibu kasihan sama kau. Kau aja gak mau ngasih aku uang tambahan!" ucap Maemunah tak kalah sengit.
"Uang terus yang Ibu pikirkan. Gak Anna, gak Ibu, uang terus yang ada di otak kalian para perempuan! Pusing kepalaku! Udah lah, pulang aja lah aku. Bukannya kenyang, malah tambah lapar aku dicermahin kayak gini!" gerutu Heru.
"Pulang lah sana. Ibu juga gak nyuruh kau datang kan!" kata Maemunah.
Heru mengusap wajahnya kasar, ia pun mengendarai motornya ke rumah. Di perjalanan tiba-tiba motornya mogok.
"Pakai mogok segala lagi!" umpat Heru.
Heru mengecek motornya yang ternyata kehabisan bensin, ia berjalan sepanjang 3 kilo meter agar bisa sampai di SPBU.
"Bakar aja Bang motornya, kasihan sekali ganteng-ganteng dorong motor!" ledek sekumpulan anak remaja yang melihat Heru bersusah payah mendorong motor mogoknya itu.
"Sialan!" umpat Heru dengan kesal.
"Lelah sekali mendorong ini motor! Nasibku buruk kali hari ini, udah lapar, ke rumah Ibu bukannya dikasih makan, malah diomelin. Di rumah si Anna cuma masak ikan asin sama tumis kangkung lagi! Sial benar aku!" gerutu Heru.
Sepanjang jalan, Heru mengelap keringat yang bercucuran, sampai pada akhirnya ada sebuah SPBU yang ia temui.
"Akhirnya ketemu SPBU juga," ucap Heru sembari berusaha mendorong motornya untuk antre diantara deretan pengendara motor lainnya.
"Isi dua puluh ribu, Mas," kata Heru sembari memberikan uang lima puluh ribuannya ke petugas SPBU.
Bensin motornya kini terisi penuh, Heru memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
*** Nafkah Lima Belas Ribu***
Aku terbangun dari tidur, dan bergegas membersihkan diri. Mas Heru juga belum pulang, biarlah, terserah dia mau ke mana. Selesai mandi, aku menyisir rambut yang sudah panjang ini."Assalamualaikum," suara Mas Heru membuatku buru-buru merapikan rambut.
"Waalaikumsalam," jawabku.
Pintu terbuka, Mas Heru masuk, kulihat wajahnya sangat lelah. Bukankah dia baru saja makan enak di rumah orang tuanya? Lalu, kenapa mukanya ditekuk begitu? Sebenarnya ada apa dengannya? Batinku.
Bersambung
"Cuih, kau bilang tak ada hubungan apa pun, tetapi baru beberapa menit yang lalu kalian bergandengan tangan begitu mesra layaknya pasangan suami dan istri, atau seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara. Sudahlah, aku tak butuh penjelasanmu. Aku lelah dengan semua omong kosong yang kau katakan, Sin. Mulai saat ini, kutalak kau, sekarang!” ucapku penuh penekanan. Wajah Sindi berubah pucat pasi, keringat dingin seperti biji jagung mengucur dengan derasnya melewati dahi Sindi yang lebar. Meski sedikit merasa kasihan, tetapi rasa kasihan ku menguap begitu saja. Entah karena rasa benci yang menyeruak hati lebih mendominasi, atau memang aku sudah tak peduli dengan itu. Kuayuhkan kaki panjangku menjauh dari dua pengkhianat itu. Sindi, mantan istriku dan Heru, salah satu pegawaiku. Kutinggalkan kedua pengkhianat itu diiikuti Pak Suprapto yang sedari tadi diam tanpa kata. Tak sengaja, kulihat Pak Suprapto tersenyum penuh arti ke arah Heru. Entah apa yang dipikirkan Pa
"Mungkin ada salah paham di sini, Mbak Elleanna pasti salah paham," ucapku demi membela Sindi, istriku. "Terserah Anda mau percaya atau tidak. Faktanya, rumah tangga saya berantakan karena ulah istri Anda. Ah, bukan, ulah karyawan kepercayaan juga istri Anda!" Elleanna, anak dari salah satu investorku berkata seperti itu sambil berlalu entah ke mana. Apakah benar yang dikatakan Elleanna? Mengapa pula Sindi berkhianat padaku setelah apa yang selama ini kuberikan kepadanya? Atau ini hanya alibi anak Pak Suprapto untuk menjelek-jelekkan istriku saja? Aku merasa frustasi dan bingung dengan situasi saat ini. Jika memang benar apa yang dikatakan Elleanna adalah kebenaran, maka siap-siaplah Sindi menerima kemarahanku. Namun, jika apa yang dikatakan Elleanna sebuah kebohongan, aku tak akan segan-segan memenjarakan wanita itu, sebab dia sudah berani menuduh istriku. Ya, tak peduli siapa ayah wanita itu. Yang jelas, siapa pu
"Mbok Na, tolong ambilkan ember!" Aku berteriak sekencang mungkin karena tak tahan melihat foto yang dikirim Mas Heru.Laki-laki itu benar-benar sudah tak waras. Bisa-bisanya dia mengirim foto menjijikkan seperti itu. Bukannya aku terpesona, malah membuat semua isi perutku keluar."Ini, Non. Non Ellea kenapa?" tanya Mbok Na khawatir."Perutku mual, Mbok. Pengen muntah apalagi setelah dikirim foto ini." Kusodorkan foto yang dikirim Mas Heru. Foto dirinya yang sedang memakai lingeri milikku."Astaghfirullah. Ada-ada aja Pak Heru. Maksudnya apa coba mengirim foto seperti itu?" oceh Mbok Na.Aku menggeleng, tak tahu juga apa maksud lelaki yang masih berstatus suamiku itu."Sudahlah, Mbok. Abaikan saja. Biarkan Mas Heru bertindak kekanak-kanakan seperti itu. Besok pagi, aku akan ke kantor Mas Heru. Tolong, bilang sama Pak Sutris untuk mengantarku, ya, Mbok?" pintaku.Mbok Na mengangguk, lalu meninggalkan diriku.***Cuaca pag
"Pembalasan elegan adalah menyakitimu beserta selingkuhanmu secara perlahan. Tunggu saja pembalasanku."-Elleanna-***Aku mengangkat tubuh Mas Heru yang berjongkok di depan pintu ala-ala film India. Rasanya aku malas sekali melihat wajahnya itu, tetapi demi dramanya berakhir dengan cepat, mau tidak mau kuangkat tubuhnya."Aku sudah memaafkanmu, Mas. Bangunlah, jangan seperti ini."Mas Heru bangkit lalu menubrukkan badannya ke tubuhku. Rasanya ingin mengelak, tetapi itu sangat cepat terjadi."Terima kasih, Dek. Mas sayang sekali sama kamu. Pulanglah, Dek. Ayo, kembali ke rumah," bujuk lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Aku tersenyum saja menanggapi ucapannya. Enak saja dia memintaku kembali ke rumahnya yang sumpek dan sempit itu. Seperti lelaki tak tahu malu saja Mas Heru. Sudah pastilah kutolak permintaan Mas Heru."Maaf Mas, aku masih ingin di sini. Nanti, kalau ingin pulang, aku akan pulang sendiri," ucapku akhirnya.
"Wanita akan luluh jika lelaki berani meminta maaf duluan." -Heru- Aku mengendarai motor ke rumah ibu. Hal ini kulakukan agar bisa meminta pendapat pada ibu. Biasanya, ibu mampu memberikan jurus-jurus jitu agar aku mendapatkan ide cemerlang. Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu lima belas menit dari rumah Sindi ke rumah ibuku. Tak terasa, kini aku sudah tiba di rumah. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Eh, kamu, Ru. Ada apa? Tumben ke sini?" "Mama ini gimana, sih. Anak sendiri main ke rumah malah responsnya begitu!" Aku menggerutu pada mama. Rasanya kesal sekali saat main ke rumah malah ditanya seperti itu. "Ya, maaf. Jarang-jarang kamu main ke sini, kalau main juga paling numpang makan. Istrimu gak masak lagi, emang? Atau masakannya gak enak?" Mama menebak kedatanganku. Aku menghela napas, rasanya ingin tertawa mende
"Meski cintaku sudah berkurang, aku masih berhak marah melihat suami bermesraan." -Elleanna- *** Aku menatap tajam ke arah dua orang yang sedang bermesraan itu. Bisa-bisanya Mas Heru malah bermesraan dengan Sindi. Terlihat Sindi bergelayut manja di lengan Mas Heru. Sungguh, membuatku geram dan berang. Dengan langkah seribu, aku melangkah dan menghampiri mereka berdua. "Mas Heru! Apa yang kau lakukan, hah?!" bentakku. Emosiku sudah di ubun-ubun. Ya, meskipun cintaku sudah berkurang, tetapi aku berhak marah saat melihat Mas Heru bermesraan dengan wanita lain di hadapanku. Wajah Mas Heru pias, terlihat sekali mimik wajahnya seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan. Dengan cepat tangan Sindi dilepas Mas Heru. "Dek, kamu ternyata di sini. Aku ... aku dan Sindi ingin mencarimu tadi. Ini tak sepe