Raymond meninggalkan rumah dengan membawa amarahnya pada sang istri. Dia merasa hina di mata istrinya. Memanglah benar dia telah berselingkuh dan berhubungan badan dengan wanita lain. Akan tetapi, hanya dengan satu wanita saja, tidak lebih.
Namun, bagaimanapun dia telah berselingkuh dari istrinya, dan dia menyadari hal itu. Awalnya dia hanya bersenang-senang dengan Sandra, tapi hubungan panas mereka membuat keduanya ketagihan. Sehingga ingin mengulangnya lagi dan lagi. Tanpa sadar mereka berdua saling terikat oleh kebutuhan biologis yang telah mereka lakukan. "Shit!" umpatnya ketika mengingat tatapan mata sang istri pada saat bertanya padanya. "Apa mungkin dia mengetahuinya?" gumamnya sembari mengemudi. "Tidak. Aku rasa dia tidak mungkin mengetahuinya. Ini semua karena Mama," sambungnya kembali. Beberapa detik kemudian, dia teringat akan sesuatu yang akan dilakukannya ketika bertemu dengan istrinya. Seketika dia mengerem mobilnya. "Sial! Bukankah aku harus menanyakan padanya tentang keberadaannya semalam?" umpatnya kesal. Tanpa berpikir panjang, dia pun merogoh kantong celananya, dan mengambil ponsel miliknya. Setelah itu, dia menghubungi nomor sang istri untuk menanyakannya. Sekali, dua kali, hingga tiga kali dia menghubungi istrinya, tapi panggilan teleponnya hanya berakhir sebagai panggilan tidak terjawab. "Ke mana dia?!" gumamnya kesal sembari mengulang kembali panggilan teleponnya. Tiba-tiba saja raut wajahnya berubah setelah beberapa kali panggilan teleponnya berdering. "Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa lama sekali mengangkatnya?" tanyanya penasaran. 'Apa yang kamu inginkan dariku? Sepertinya mendesak sekali. Jika kamu ingin membawaku untuk dipermalukan, lebih baik urungkan niatmu. Aku sedang tidak bisa melakukannya,' ucap Velicia dari seberang. "Mempermalukan mu? Apa maksudmu? Lagi pula, sejak kapan kamu punya pilihan? Ingatlah tugasmu sebagai istri. Kamu harus mendukung karir suamimu, dan tidak boleh membantah perintahnya!" ujar Raymond menggebu-gebu. 'Sudahlah. Aku tidak mau berdebat,' sahut sang istri yang sedang kesal. Setelah itu, dia mengakhiri panggilan telepon dari suaminya tanpa mendengarkan ucapannya. "Sial! Berani sekali dia menutup teleponnya!" umpat Raymond sambil memukul kemudi yang ada di hadapannya. Raymond mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kini, amarah yang sedang merajai hatinya itu dilampiaskan pada jalanan. Harga dirinya merasa telah diinjak-injak oleh sang istri. Hal itu membuatnya marah dan tidak terima. Baginya, hanya dialah yang mempunyai hak untuk memerintah, dan diperlakukan layaknya seorang raja. Sedangkan istrinya hanyalah seorang budak yang tidak mempunyai hak menyuarakan pendapatnya. Namun, suara dering telepon membuatnya seketika menghentikan mobilnya. Dalam pikirannya saat ini istrinya lah yang sedang menelponnya. Dia bersiap-siap untuk memaki dan memarahinya. Dahinya mengernyit melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. Tanpa menunggu lama, dia pun bergegas menjawab panggilan telepon tersebut. "Selamat pa--" 'Cepat datang ke ruanganku sekarang juga!' bentak seseorang dari seberang sana, hingga membuat Raymond bergidik ngeri. Setelah panggilan telepon tersebut berakhir, Raymond melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju kantornya. Dalam hatinya merapal doa agar tidak mendapatkan masalah dengan pekerjaannya. Sedangkan otaknya berpikir keras untuk menerka-nerka alasan kemarahan atasannya. Hanya beberapa saat saja mobil Raymond sudah mamasuki area parkir kantornya. Dia bergegas keluar dari mobilnya dan berlari menuju ruangan atasannya. Dengan tergesa-gesa diketuknya pintu ruangan tersebut. Setelah ketukan yang ketiga, dia pun masuk ke dalam ruangan tanpa menunggu dipersilahkan oleh si pemilik ruangan. "Selamat pagi, Pak. Maaf jika saya terlambat da--" "Apa saya hanya menjadi bahan lelucon bagimu, Ray?" tanya seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi kebesarannya. Dahi Raymond mengernyit. Dia menatap bingung pada pria tersebut. "Bagaimana bisa anda berkata seperti itu, Tuan? Sedikit pun saya tidak pernah berpikir seperti itu," ucapnya membela diri. Pria berkacamata itu tersenyum miring. Dia beranjak dari duduknya, dan berpindah duduk di sofa. Kemudian dia mempersilahkan Raymond untuk duduk di sofa yang ditunjuk menggunakan dagunya. "Kamu tahu jika kami tidak akan rugi apabila kamu mempermainkan kami, bukan?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Apa yang telah saya lakukan sehingga anda semarah ini, Tuan?" tanya balik Raymond setelah duduk menghadapnya. Pria berperut buncit itu memajukan badannya, sehingga wajahnya berjarak lebih dekat dengan wajah Raymond dan menatap serius padanya. "Bukankah kamu sendiri yang mengatakan padaku, jika kamu akan menyuguhkan istri cantikmu itu untuk melayaniku dan menghabiskan malam indah bersamaku?" 'Shit! Aku lupa!' batinnya mengumpat pada dirinya sendiri. "Apa kamu meremehkan ku, Ray?" tanyanya kembali dengan menyipitkan matanya, seolah sedang mencari kebenaran dari wajah Raymond yang sedang berusaha keras memikirkan alasan. "Tidak. Bukan begitu, Tuan. Saya hanya--" Pria yang dahinya lebar dan terlihat sangat licin itu tersenyum miring melihat raut kebingungan yang berusaha ditutupi oleh Raymond. Bahkan terdapat keringat dingin yang menetes di pelipisnya. "Cukup! Kembalilah ke ruangan mu," perintahnya dengan tegas seraya beranjak dari duduknya. "Tapi, Tuan. Saya--" "Banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan," sahut si pemilik ruangan dengan ekspresi dinginnya, sedingin ruangan tersebut. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Raymond. Dia tidak bisa mengatakan sepatah katapun untuk membela dirinya. Bahkan dia belum sempat mengatakan alasan kenapa sang istri tidak bisa melayani atasannya itu untuk bersenang-senang pada pesta semalam. Raymond keluar dari ruangan tersebut dengan membawa kemarahan yang teramat besar. "Semua ini karena kamu, Velicia!" gumamnya dengan mengeratkan gigi-giginya. Tangannya mengepal kuat sambil berjalan menyusuri koridor kantor untuk menuju ruangannya. Brak! Pintu ruangannya menjadi korban pelampiasan kemarahan sang pemilik. Emosi seorang Raymond Davis terkenal buruk. Karena itulah bawahannya selalu meminimalisir kesalahan mereka dan berusaha membuatnya tidak marah. "Aku harus mencari cara agar Tuan Alfredo tidak dendam padaku," ucapnya dengan amarahnya yang menggebu-gebu. Tiba-tiba saja telepon yang ada di meja kerjanya berbunyi. Sontak saja dia bergegas mengangkat telepon tersebut dan menjawabnya. "Selamat pa--" 'Selamat pagi, Tuan Raymond. Saat ini juga ada pertemuan mendadak di ruang pertemuan utama. Mohon secepatnya datang agar acara bisa secepatnya dimulai,' tutur seorang wanita yang sedang berbicara di telpon dengannya. "Di ruang utama?" tanya Raymond seolah meragukan pendengarannya. 'Benar, Tuan. Semua anggota direksi telah hadir. Hanya Presdir yang belum hadir.' "Presdir?!" celetuknya. Kemudian dia teringat akan event tahunan yang diselenggarakan oleh kantor tersebut. 'Jangan-jangan pertemuan ini membahas tentang kenaikan jabatan karyawan teladan yang dijanjikan oleh Tuan Alfredo waktu itu,' batinnya dengan mata berbinar. 'Benar, Tuan. Mohon untuk datang sekarang juga.' "Tentu. Saya akan datang sekarang juga. Apa ini tentang karyawan yang akan mendapatkan kenaikan jabatan? Bisakah memberitahu saya, siapa yang akan mendapatkannya?" tanya Raymond penasaran. 'Pasti aku yang mendapatkannya,' sambungnya dalam hati sambil tersenyum miring membayangkan dirinya dinobatkan menjadi karyawan teladan, serta mendapatkan promosi kenaikan jabatan dalam pertemuan itu.Pandangan Raymond tidak lepas dari istrinya. Sejak Velicia menolak sentuhannya dan melarangnya untuk mendekat, Raymond memperhatikannya untuk mencari tahu penyebabnya.'Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?' tanyanya dalam hati. Sejak tadi Velicia merasa seperti sedang diawasi. Semakin lama dia merasa semakin tidak nyaman. Dia pun melirik menggunakan ekor matanya. 'Kenapa dia menatapku seperti itu? Apa dari tadi dia memperhatikanku? Apa yang sedang dipikirkannya?' batinnya sembari meneguk susu berwarna putih yang dikhususkan untuk ibu hamil.Mereka berdua sedang menyaksikan tayangan televisi di ruang tengah. Velicia duduk di sofa paling ujung, sedangkan Raymond dilarang mendekatinya. Mereka sama-sama duduk di ujung sofa yang berlawanan.Merasa tidak nyaman dengan situasinya saat ini, Velicia pun berdiri dari duduknya, berniat untuk kembali ke kamarmya."Mau ke mana?" tanya Raymond menghentikan istrinya.Velicia berhenti. "Aku lelah. Aku mau ke kamar," jawabnya tanpa menoleh ke arah
Anna tidak bisa menerima kenyataan bahwa calon menantu idamannya menolak untuk memiliki keturunan. Jika bisa memilih, wanita paruh baya itu lebih menginginkan cucu yang lahir dari rahim Sandra. Dengan latar belakang keluarga Sandra yang merupakan keluarga ternama di bidang bisnis, tentu saja membuat keluarga Davis lebih memilih keluarga Brooks untuk jadi besannya dibandingkan keluarga Montana. Namun, Raymond membawa kabar yang bertolak belakang dengan keinginan kedua orang tuanya. Velicia yang merupakan menantu resmi mereka telah dipastikan sedang hamil saat ini oleh dokter, sehingga mereka harus menerima kenyataan jika cucunya lahir dari rahim orang kelas rendahan. "Bukankah ini lebih baik daripada aku harus mencari bayi yang bisa kita adopsi, Ma?" tanya Raymond dengan sedikit kesal. Bagaimana dia tidak kesal, jika sang ibu menyalahkannya atas sikap Sandra yang tidak mau mempunyai keturunan. Bahkan Raymond sudah berusaha dengan keras membujuk dan juga meluluhkan hati dari putri
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Velicia ragu-ragu.Arion tersenyum. Pandangan matanya tidak lepas pada sosok wanita yang ada di hadapannya."Apa rencanamu selanjutnya, Ve?" tanyanya serius.Velicia menatap Arion sembari memaksakan senyumnya. Matanya yang berkaca-kaca itu memperlihatkan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam."Aku akan mempertahankan bayi ini," jawabnya dengan penuh keyakinan.Arion dapat melihat kesungguhan hatinya. Tanpa disadari oleh Velicia, pria di depannya itu merasa sangat bersyukur mendengar jawaban tersebut darinya."Terima kasih, Ve. Aku akan membantu untuk mempercepat perceraian mu. Dengan begitu kita bisa--""Apa maksudmu?" sahut Velicia sembari mengerutkan keningnya."Tolong jaga baik-baik bayi kita. Jangan ragu untuk meminta apa pun dariku. Aku sungguh sangat bersyukur dan sangat berbahagia karena Tuhan telah mengabulkan doaku selama ini," tutur Arion dengan binar kebahagiaan yang terlihat dari kedua matanya."A-apa maksudnya?" tanya Velicia kembali dengan r
Setelah mendengarkan hasil prediksi perhitungan yang dilakukan oleh dokter Bella mengenai usia kandungan Velicia dengan malam panas antara sang mantan kekasih itu, Arion memantapkan diri untuk membantu mempercepat perceraian Velicia dengan Raymond, agar bisa secepatnya menikahinya. Hati Arion sangat bahagia saat ini. Pasalnya, wanita yang sangat dicintainya sedang mengandung buah cinta mereka. "Aku harus segera merebutnya," gumamnya dengan penuh keyakinan.Saat itu juga dia mencari nomor Velicia untuk menghubunginya. Akan tetapi, ada panggilan masuk yang membuatnya menunda keinginannya. "Halo. Ada apa?" tanyanya dengan tegas. Seperti Arion yang biasanya dikenal sangat tegas pada semua orang di sekitarnya.Suara seorang pria membalas sapaannya. Pria tersebut adalah orang kepercayaan Arion yang ditugaskan untuk mengawasi dan merawat apartemen milik pribadinya. Selama beberapa menit CEO tampan itu mendengarkan dengan baik semua laporan yang disampaikan oleh sang penelpon. "Jangan dibe
"Apa maksud dari pesan yang Anda kirim tadi, dok?" Suara seorang wanita dari arah pintu ruangannya membuat dokter Bella mengalihkan pandangannya ke arah tersebut. Dokter wanita yang juga merupakan pemilik ruangan itu pun tersenyum."Selamat datang kembali, Velicia. Duduklah," ujar sang dokter sembari tersenyum ramah menyambut kedatangan pasiennya.Velicia pun duduk pada kursi yang ada di hadapan sang dokter. Dia memasang wajah serius, menunggu dokter wanita itu menjelaskan semua padanya. Kebetulan sekali pasien terakhir sudah keluar beberapa menit yang lalu sebelum Velicia masuk ke ruangan tersebut, sehingga mereka bisa berbicara tanpa ada gangguan dari luar.Dokter Bella menceritakan dari awal pertemuannya dengan Raymond dan juga seorang wanita muda yang bernama Sandra. Tidak ada yang ditutup-tutupi sang dokter dari Velicia. Dokter wanita itu sudah sangat nyaman berbicara dengan Velicia, sama seperti ketika dia sedang berbicara dengan Arion, sahabatnya."Untung saja Raymond dan Sand
Velicia duduk di lobi rumah sakit dengan perasaan yang bercampur aduk. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Ada rasa marah karena bertolak belakang dengan keinginannya untuk tidak memiliki anak saat ini. Apalagi anak dari Raymond, suaminya.Namun, ada rasa bahagia dalam hatinya. Selama ini, dia sangat mendambakan hadirnya seorang anak dalam rumah tangganya dengan Raymond. Hanya saja semuanya telah berubah. Keinginan itu tak lagi ada."Kenapa harus sekarang? Kenapa pada saat aku ingin bercerai darinya?" gumamnya lemah. Sepasang mata hazel itu berkaca-kaca. Tatapan matanya kosong, tidak kuasa menerima kenyataan yang sedang dihadapinya."Apa yang sekarang harus aku lakukan?" tanyanya pada diri sendiri.Tiba-tiba saja terdengar dering telpon yang berasal dari dalam tasnya. Dengan enggan Velicia mengambil ponselnya, dan menjawab panggilan telpon itu tanpa melihat nama si penelpon yang tertera pada layar ponselnya."Dokter Bella?" celetuknya kaget, setelah mendengar suara si penelpon.*******
"Ha-hamil?!" Raymond tercengang. Akan tetapi, dalam hatinya merasa sangat bahagia. Saat itu juga dia meninggalkan tempat tersebut tanpa mengucapkan terima kasih pada sang perawat yang telah memberikan informasi padanya.'Ternyata Dewi Fortuna telah berpihak padaku,' batinnya sambil tersenyum menyusuri koridor rumah sakit untuk mencari sang istri. Langkah kakinya terasa begitu ringan, seolah tidak ada beban yang dirasakannya saat ini. Raymond berjalan cepat sembari melihat di sekitarnya untuk mencari sosok wanita yang telah membuatnya menjadi seorang ayah.Tepat pada saat itu, dia melihat sang istri keluar dari ruangan dokter yang sudah dikenalnya. Hanya saja, ada sesuatu yang mengganggu penglihatannya. Tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah cantik istrinya. Velicia terlihat seperti terbebani saat keluar dari ruangan sang dokter."Apa ada yang salah dengan kandungannya?" gumam Raymond tanpa mengalihkan pandangannya pada sang istri yang sedang berjalan menuju ke arah lift.Ha
Velicia menemui dokter spesialis kandungan yang direkomendasikan oleh Arion. Dia berniat konsultasi mengenai keinginannya untuk mencegah kehamilan."Saya Velicia Montana, dok. Arion merekomendasikan anda pada saya," tutur Velicia setelah dipersilahkan duduk di hadapan sang dokter.Dokter wanita itu tersenyum sembari mengulurkan tangannya. "Saya dokter Bella. Arion sudah menghubungi saya. Kami berteman sejak di bangku sekolah dasar, dan setelah itu kami selalu bersekolah di tempat yang sama. Bisa dikatakan seperti saudara sepupu, mungkin," ujarnya sambil terkekeh.Velicia tersenyum malu. Dia merasa rendah di hadapan dokter cantik yang mempunyai hubungan dekat dengan pria masa lalunya. 'Apa mereka mempunyai hubungan lebih serius dari sekedar berteman?' tanyanya dalam hati.'Dokter Bella cantik dan juga mapan. Sangat mustahil jika Arion tidak mempunyai perasaam khusus padanya,' sambungnya dengan merasakan sakit pada hatinya.'Tapi, arion berhak bahagia. Dia berhak mendapatkan yang lebih
Lagi-lagi Velicia diharuskan menunggu oleh suaminya. Sudah dini hari Raymond belum juga pulang ke rumah, hingga dirinya tertidur di sofa ketika menunggunya."Sepertinya dia sedang bersenang-senang. Lebih baik aku simpan saja semua makanan ini," ucapnya sambil membereskan semua makanan yang tersaji di atas meja makan.Setelah itu dia masuk ke dalam kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Akhir-akhir ini Velicia merasa sangat kelelahan. Terkadang dia merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya. Hanya saja dia berpikir semua itu karena harus melayani nafsu Raymond yang seolah tidak ada habisnya. Apalagi tidak ada kelembutan dari sang suami ketika melakukannya. Nafsu Raymond yang menggebu membuat sang suami memperlakukannya dengan sangat kasar, sehingga membuatnya tidak nyaman, dan terasa sangat hambar.*****Keesokan paginya, Raymond dan Sandra keluar dari apartemen milik Arion dengan wajah yang sumringah. Apartemen itu mereka tinggalkan tanpa membersihkan atau merapi