Suara Velicia dapat didengar oleh sang suami dan ibunya. Seketika keduanya menoleh ke arah sumber suara.
"Velicia, kamukah itu?" tanya Raymond menyelidik dari tempatnya berdiri. Badan Velicia menegang. Tangan kanannya menutup bibirnya. Akan tetapi, dia sadar jika hanya sia-sia. Suaminya kembali memanggilnya, dan mempertanyakan keberadaannya. Dia memejamkan matanya, dan menyiapkan hatinya. Sedetik kemudian, dia pun keluar dari tempat persembunyiannya. Selangkah demi selangkah kakinya membawanya menghampiri mereka. "Kamu menguping?" tanya wanita paruh baya itu sambil tersenyum miring pada menantunya. Velicia berdiri tepat di hadapannya. Dia menatap tegas pada sang ibu mertua , seolah tidak mempunyai rasa takut sedikit pun padanya. "Bagaimana jika wanita itu tidak bisa memberikan keturunan ketika sudah menikah dengan Raymond? Apa Mama akan mencarikan wanita lain lagi untuk dinikahi Raymond?" tanyanya serius, tanpa kenal rasa takut. "Velicia! Jaga ucapanmu!" bentak Raymond. Sorot matanya mengisyaratkan kemarahannya pada sang istri. Velicia tersenyum miring. Dia menghampiri suaminya, dan berdiri tepat di hadapannya. "Kenapa, Ray? Bukankah kamu juga penasaran dengan hal itu? Aku tahu jika kamu juga sangat ingin menanyakannya, bukan?" tanyanya seolah sedang menantang pria yang berdiri di hadapannya. 'Shit! Beraninya kamu berulah di hadapanku, Velicia!' batinnya mengumpat marah. Anna Hayden, wanita dengan intuisi yang sangat kuat. Dia tersenyum miring melihat perdebatan antara putranya dengan sang istri. Tidak ada kata kalah dalam hidupnya. Hanya ada obsesi untuk mendapatkan semua yang diinginkannya. "Bukannya kamu sedang resah sekarang?" tanyanya sambil tersenyum pada sang menantu. "Kenapa harus resah?" tanya balik Velicia pada mama mertuanya, seolah sedang menantangnya. Wanita paruh baya tersebut mendekatinya. Dia menatap tajam pada menantu yang tidak diinginkannya. "Lihatlah wanita tidak tahu malu ini, Ray. Dia sama sekali tidak merasa bersalah karena tidak bisa memberikan keturunan pada keluarga kita. Apa kamu bisa membawanya untuk diperkenalkan pada orang-orang penting sebagai istrimu?" tanya sang mama pada putranya tanpa menatap ke arahnya. Tatapan matanya masih saja tertuju pada menantunya. 'Tanpa anda ketahui, selama ini aku telah menjadi boneka sempurna di hadapan semua relasi putra anda,' batin Velicia sambil tersenyum miring menatap wanita paruh baya yang berdiri tepat di hadapannya. "Hentikan, Ma!" bentak Raymond dengan frustasi. Seketika wanita paruh baya itu menatap kesal pada putranya. "Berani sekali kamu membentak Mama, Rey!" bentaknya balik pada sang putra. Velicia tersenyum miring melihat sang suami yang sedang menatap kesal padanya. Dia tahu alasan di balik sikap suaminya itu. "Sudahlah, Ma. Ini masih pagi. Jangan membuat mood ku menjadi buruk," ucapnya seraya mendengus kesal. Melihat senyum kemenangan dari sang menantu, membuatnya geram. Saat itu juga dia mengalihkan kemarahannya pada menantu yang tidak pernah diinginkannya. "Pagimu tidak akan pernah buruk jika ada suara anak-anak dalan rumah ini," ujarnya sembari menatap menantunya. Hati Velicia terasa pedih. Hal yang paling sensitif baginya adalah tentang keturunan. Sudah pasti mereka akan menyudutkannya dengan mengatakan bahwa istri dari Raymond tidak subur, sehingga meskipun sudah jalan lima tahun pernikahan, mereka belum juga mendapatkan keturunan. Raymond melihat kesedihan sang istri. Sejujurnya dia tidak benci pada istrinya. Di mana lagi dia bisa mendapatkan istri yang selalu menurut dan tidak pernah melawan pada suaminya? Hanya Velicia yang bisa melakukannya. Bahkan Sandra, wanita selingkuhannya itu pun tidak mau menurut padanya. "Sudahlah, Ma. Lebih baik Mama pulang saja. Ada urusan penting yang harus ku kerjakan," ujar Raymond sambil berjalan meninggalkan mereka. "Persiapkan dirimu baik-baik untuk bertemu dengan calon istrimu, Ray!" seru wanita paruh baya itu sembari tersenyum mengejek menantunya. Tak ada jawaban yang terdengar dari Raymond. Hanya suara pintu yang tertutup seolah menanggapi seruan mamanya. "Apa dengan menyakitiku Mama akan merasa puas?" tanya Velicia dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca, menahan kesedihan yang membuat air matanya memaksa keluar. "Tutup mulutmu! Jika saja kamu bisa menjadi wanita sempurna bagi keluarga kami, pasti aku tidak akan terlihat jahat seperti sekarang ini," sentak wanita paruh baya tersebut dengan tatapan penuh kebencian padanya. Lagi-lagi dirinya yang disalahkan tentang keturunan. Sang mertua tidak pernah sedikit pun menyalahkan putra mereka sendiri. Bahkan bagi mereka Raymond seorang putra sempurna yang menjadi kebanggan keluarga Davis. 'Hanya berasal dari keluarga biasa saja membuatku selalu menjadi pihak yang disalahkan. Apa sikap baikku pada mereka selama ini tidak berarti sedikit pun bagi keluarga mereka?' batin Velicia menggerutu. "Bantu suamimu untuk berpenampilan sempurna ketika bertemu calon istrinya. Jangan pernah protes jika tidak bisa memberikan anak untuk suamimu!" ujar sang ibu mertua padanya. Velicia menatap tajam pada wanita paruh baya itu. Kedua matanya yang berkaca-kaca menunjukkan kekecewaan yang sangat besar padanya. "Kenapa? Kamu tidak suka dengan keputusan ini?" tanya sang mertua sembari tersenyum miring. "Pasti kamu takut tersaingi dengannya. Tentu saja. Dia adalah putri dari keluarga Federick yang sekarang menjabat sebagai gubernur di kota ini. Selain cantik, dia juga berprestasi dan mempunyai pekerjaan yang mapan. Bahkan silsilah keluarganya pun tidak dapat kamu saingi," sambungnya dengan angkuh. Kedua tangan Velicia mengepal kuat. Dalam hatinya berjanji akan membalas penghinaan mereka padanya dan juga keluarganya. "Tolong tutup pintunya ketika Mama keluar dari rumah ini. Maaf, saya tidak bisa mengantar Mama sampai depan rumah. Menantu hina mu ini akan bersiap-siap untuk bekerja," ucapnya dengan tegas. Wajah ketusnya itu membuat sang ibu mertua padanya. Anna terhenyak mendengar perkataan sang menantu. Matanya terbelalak, tidak menyangka akan mendapatkan perlawanan dari wanita rendahan yang dijadikannya sebagai menantu. "Lihat saja kelakuanmu itu! Tidak salah jika orang-orang mengatakan kamu berasal dari keluarga rendahan. Wanita kelas atas yang berpendidikan tidak akan pernah bersikap seperti itu pada mertuanya!" serunya menggebu-gebu. Velicia tidak terpengaruh. Dia tetap berjalan ke arah kamarnya tanpa menanggapi seruan sang mertua. Di dalam kamar, dia mencoba untuk mengacuhkan suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Brak! Suara keras yang berasal dari pintu utama membuat sepasang suami istri itu menoleh ke arah pintu. "Apa kamu membuat Mama marah?" tanya Raymond pada istrinya. Dia bisa menebak jika mamanya yang menutup pintu rumah barusan dengan amarahnya . "Berapa wanita yang sudah berhubungan denganmu?" tanya Velicia seraya menatap ke arah bagian inti sang suami yang tertutup oleh boxer berwarna hitam."Bagaimana bisa kamu bercerai dalam keadaan hamil, Ve?" tanya Edward yang duduk di depan putrinya. Velicia merasa seperti sedang disidang oleh kedua orang tuanya. Di hadapan pasangan suami istri paruh baya itu, Velicia dan Arion menceritakan apa yang terjadi di malam pertemuan mereka yang tidak disengaja pada acara pesta perusahaan. "Jadi kalian--"Arion bergerak cepat untuk berdiri dari duduknya dan berlutut di hadapan prang tua Velicia."Maafkan saya, Pa, Ma. Saya tahu, jika tidak layak untuk memberi alasan pembelaan diri, tapi saya akan bertanggung jawab penuh dengan menikahi Velicia. Saya mencintai Velicia. Dari dulu hingga sekarang, rasa cinta saya tidak berkurang sedikit pun untuknya. Terlebih lagi ada bayi dalam kandungan Velicia yang merupakan benih cinta kami berdua. Jadi, saya mohon pada Mama dan Papa untuk merestui niat tulus saya ini," pintanya dengan tulus sambil menatap pasangan suami istri paruh baya itu secara bergantian.Edward dan Sophia saling memandang. Mereka ti
Semua pasang mata mengarah pada sosok yang berdiri di depan pintu. Sosok tersebut berjalan menghampiri mereka. "Velicia?!" Raymond terperangah melihat sosok wanita yang berhasil memporak porandakan hati dan pikirannya. Pasalnya, sejak sang istri pergi dari rumah, Raymond sangat frustasi karena tidak bisa menemukannya di mana pun. Kini, ia seolah tidak percaya sang istri berada di hadapannya.Velicia menatap tidak suka pada Raymond yang masih dalam posisi duduk di tempatnya. Sorot matanya begitu tajam seolah siap mengulitinya saat itu juga."Ada perlu apa kamu datang ke rumah orang tuaku? Bukankah kita sudah tidak ada urusan lagi?" tanyanya dengan ketus.Raymond berdiri dari duduknya, dan meraih tangan Velicia untuk mencoba meluluhkan kembali hatinya. Velicia menarik tangannya, dan berusaha untuk menghindarinya saat tangan mantan suaminya kembali ingin menggapainya."Aku datang untuk mencari mu, Sayang," jawab Raymond dengan tatapan mengiba pada mantan istrinya.Velicia tersenyum mi
"Mama?!" celetuknya ketika melihat wanita paruh baya yang beberapa saat lalu telah bertemu dengannya di rumah."Kenapa Mama ada di sini?" tanyanya kemudian.Anna menatap sinis pada dua orang paruh baya yang sedang duduk di hadapannya. Sepasang suami istri paruh baya itu terlihat sungkan dan tidak nyaman ditatap sinis olehnya. "Masih perlu Mama jelaskan kenapa ada di sini?" Jawabnya dengan sewot.Raymond berjalan menghampirinya tanpa dipersilahkan masuk oleh si pemilik rumah tersebut. Dia duduk di dekat sang mama, dan berbisik di telinganya,"Biar Ray yang urus. Lebih baik Mama pulang saja sekarang, dan cari tahu apa pengacara Kakek tahu tentang ini."Seketika kedua mata yang memiliki sedikit garis kerut dibawahnya, membelalak. Jujur saja dia tidak terpikirkan sama sekali untuk mencari tahu pada pengacara sang kakek. 'Benar juga. Bisa kacau jika pengacara sialan itu tau yang sebenarnya,' batinnya menggerutu.Sepasang mata ibu dan anak itu saling bertatapan. Anna mengangguk, membenark
Raymond terlihat lesu duduk di sofa ruang tamu dengan penampilan berantakan. Kemeja kerjanya kusut dengan satu kancingnya yang terbuka. Dasi dan jasnya masih berada di atas sofa semenjak dilemparnya semalam, ketika akan keluar mencari Velicia. Rambutnya sangat jauh berbeda dari gayanya sehari-hari. Rambut yang biasanya rapi, kini menjadi berantakan, tidak beraturan layaknya orang yang sedang frustasi.Dia menghabiskan malamnya untuk mencari Velicia yang sedang mengandung, dan kini telah berstatus sebagai mantan istrinya. Raymond sangat menentang hasil perceraian tersebut. Baginya hasil persidangan tanpa kehadirannya tidak akan sah meskipun sudah tercatat resmi menurut pengadilan dan negara. "Raymond!""Ray!""Buka pintunya!"Mata Raymond yang sedikit terpejam, seketika terbuka lebar. Dia bergegas berjalan cepat menuju pintu, berharap Velicia lah yang datang dan memanggil namanya.Senyuman sumringahnya seketika musnah, berganti dengan wajah datar yang menyembunyikan rasa kesal pada so
Raymond berjalan dengan lesu. Langkahnya terasa berat masuk ke dalam rumahnya. Dia menghela napas mendapati rumahnya yang terasa hening dan sepi. Bahkan terlalu kosong untuk rumah yang masih berpenghuni.Lagi-lagi dia merasa kesepian. Sepasang matanya menatap ke arah kamar belakang yang pintunya dalam keadaan tertutup."Pasti dia sudah tidur," gumamnya tidak bersemangat.Tidak dipungkiri sejak Velicia dinyatakan sedang mengandung, wanita itu selalu saja mudah mengantuk, sehingga Raymond tidak memprotesnya. Berbeda dengan sebelumnya yang harus ada setiap kali dibutuhkan oleh Raymond. Bahkan sebelum Raymond tertidur pulas, Velicia dilarang untuk tidur mendahuluinya.Pandangan mata Raymond tertuju pada sebuah amplop besar berwarna coklat yang berada di atas meja makan. Merasa sangat penasaran, dia pun bergegas mengambilnya. Seketika matanya terbelalak melihat lembaran isi dari amplop tersebut. "Tidak. Ini tidak mungkin," ucapnya sambil membaca lembaran itu secara teliti.Berkali-kali Ra
Di tengah kesibukan Raymond menyiapkan pernikahannya, Velicia menyiapkan kepergiannya dari rumah mereka. Hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menerima surat resmi perceraian mereka yang diurus oleh pengacara Arion.Siang ini, Arion mengajak Velicia untuk bertemu di tempat biasanya. Dengan hati berdebar, Velicia menunggu kedatangan mantan kekasihnya itu, berharap pria tersebut membawa berita baik untuknya."Ini. Bukalah," ucap Arion sambil meletakkan sebuah amplop besar berwarna coklat di atas meja."Apa ini?" tanya Velicia pada mantan kekasihnya yang duduk di hadapannya.Arion tersenyum menggodanya. "Bukalah. Kamu pasti akan senang melihatnya," jawabnya dengan mantap.Velicia menatap serius padanya. "Di dalam amplop itu ada sebuah hadiah yang aku persembahkan untuk ibu anakku," imbuh Arion kemudian."Apa mungkin ...." Perkataan Velicia tidak dapat diselesaikannya. Dia mendapatkan anggukan kepala dari Arion. CEO muda itu membenarkan pikiran mantan kekasihnya.Dengan tangan gemetar V