Share

BAB 5 Tamparan

Tok tok tok tok!

Pintu diketuk dengan keras beberapa kali. Entah oleh siapa.

"Hanah? Ngapain kamu di kamar?" Ternyata dari suaranya adalah Mbak Anggi.

Astaghfirullah! Apa dia pikir aku ...

Tok tok tok!

"Hanah?"

Aku segera membuka pintu.

"Ya, Mbak? Ada apa?" jawabku setelah pintu membuka.

"Afni mana?" tanyanya nanar.

"Afni lagi di rumah temannya, Mbak. Ada apa?" tanyaku gugup karena masih menahan rasa takut. Apalagi Mas Yanto masih ada di dini, di dekat Mbak Anggi.

"Tuh kan, Mas! Kalian berduaan di rumah. Jangan-jangan kalian tadi berbuat aneh-aneh. Kok kamu ada di depan kamar si Hanah?" cungur Mbak Anggi menuduh.

"Astaghfirullah, Mbak!" Aku kaget.

"Mbak jangan bicara macam-macam. Kami memang berdua di rumah. Tapi kami masing-masing." Aku membela diri. Karena itulah kebenarannya.

"Anggi, kamu jangan main tuduh saja." Mas Yanto angkat bicara. Ibu masih berdiri di dekat kursi menyaksikan.

"Lalu kamu kok berdiri di depan pintu kamar ini, Hah?" cecar Mbak Anggi pada suami gilanya. Dia memang cari masalah.

"Aku cuma lewat saja." Mas Yanto berbohong. Tapi, kalau jujur, bisa-bisa aku lagi yang disalahkan. Apalagi aku takut kalau Mas Yanto bicara membalikan fakta.

"Anggi, kamu jangan marah-marah sama suami kamu. Gak mungkin Yanto kegoda sama wanita kayak Hanah. Dia penampilannya juga jelek. Apalagi dia 'kan gak pintar kayak kamu." Ibu membela Mas Yanto. Tapi cara bicaranya sangat menghinaku.

Mbak Anggi terlihat kesal.

"Sayang, benar kata Ibu. Aku mana tertarik sama adik kita. Kalaupun dia menggodaku, aku tidak akan tergoda. Hanya kamu yang bisa buat aku jatuh cinta."

Astaghfirullah! Apa? Kalau aku menggodanya?

Cwuih!

"Tuh, kan. Kamu jangan marah-marah. Lebih baik kamu istirahat, ajak Yanto. Kamu pasti capek. Kita 'kan baru pulang jalan-jalan. Belanjaannya biar nanti saja di ceknya." Ibu angkat bicara lagi. Beda, pada mereka ibu bicara sangat manis sekali. Bisa-bisanya mereka belanja di saat ekonomi sedang sulit.

"Yuk, Sayang. Jangan cemberut!" Kakak iparku yang kurang waras itu membawa istrinya dengan gombalan-gombalan buaya. Ibu pun sumringah melihat mereka. Tapi sayang, langkah Ibu mengarah ke mari dengan tatapan horor.

"Kamu jangan-jangan mau goda menantu Ibu?" cungur ibu. Tuduhannya sangat menyakitkan hati.

"Ya Allah, Bu. Sama sekali Hanah bukan wanita seperti itu ya, Bu. Ibu jangan bicara macam-macam. Apalagi soal akhlak." Aku mulai kesal.

"Alah. Maling mana ada yang ngaku. Terus, kenapa kamu tumben-tumbenan suruh Afni main di rumah tetangga, supaya kamu bisa di rumah? Caper sama Yanto?" sungut ibu makin keterlaluan.

Kepala ini menggeleng-geleng. "Cukup ya, Bu. Ibu selama ini selalu hina Hanah, tapi ini sudah keterlaluan. Ibu seakan tuduh aku sebagai wanita murahan."

Netra Ibu terbelak sempurna. "Kamu berani bentak Ibu?" ketusnya seperti ingin melahapku bulat-bulat.

"Tapi Ibu sudah keterlaluan. Hanah bukan wanita murahan ya, Bu. Hanah gak terima kalau Ibu bilang aku caper pada menantu Ibu." Kembali emosi ini muncul.

"Maling mana ngaku?" tuduhnya tanpa memperhatikan hati ini yang sudah terluka.

Jantungku berdegup kencang. Napas ini tertarik dan terhembus cepat mengiringi dada yang naik turun.

"Awas kalau kamu sampai goda Yanto, dan anak saya sampai berantem. Ibu akan adukan ini sama Jimy. Biar kamu diberi ketegasan!" ancam ibu sambil pergi. Dia benar-benar keterlaluan.

Serba salah. Selalu saja seperti ini.

Daripada terus memikirkan Ibu dan Mbak Anggi, juga si pria gila itu, lebih baik aku keluar untuk belanja sayuran. Mumpung masih siang dan memang tadi aku lupa karena ada licinan. Terlebih tak fokus bekerja karena risih harus berada di rumah berdua dengan Mas Yanto.

***

"Han?" Seseorang berteriak menyapaku dari dalam mobil. Aku yang sedang berjalan pulang dari warung sayuran pun sejenak terdiam dan mematung.

Mobil berhenti di depanku yang tadi kubelakangi. Karena kini aku menoleh dan membalikan badan.

Seorang wanita turun dari mobil. Suaranya seperti tak asing, tapi siapa?

"Hanah?" Ia kembali menyapaku sambil mendekat. Tubuh semampai mengenakan wedges, pun berkacamata, mendekatiku.

Kuselidiki wajah dan suaranya.

"Resti?"

"Hanah? Ya, ini aku Resti."

Ternyata benar, dia adalah Resti. Sahabatku semasa kami duduk di bangku sekolah menengah atas. Selama tiga tahun kami sekelas bersama. 1C, 2D, 3B. Tiga tahun tetap satu kelas. Bahkan kami sama-sama mendapatkan beasiswa karena nilai kami tinggi.

"Apa kabar?" tanyanya sambil memelukku.

"Alhamdulillah, baik, Res. Kamu gimana? Kayaknya kamu udah sukses?" tanyaku balik menyapa. Dulu ia memang sahabat yang pintar dan baik. Entah sekarang. Alasan dia turun dari mobil dan menghampiriku aku tidak tahu.

Ia tersenyum. "Alhamdulillah. Aku 'kan kuliah ambil jurusan management bisnis. Kalau kamu kuliah, mungkin kita bisa barengan." Dia menyayangkan.

"Hem, ya, kamu tahu sendiri ekonomi keluarga aku. Ya syukurlah kalau kamu sudah sukses. Aku turut bahagia." Kusemai senyum untuknya.

"Oh ya, kita kok baru ketemu lagi ya? Ini benar-benar kebetulan." Dia nampak sumringah saat bertemu denganku. Namun, aku agak minder. Pakaianku yang hanya puluhan ribu, harus bersanding dengannya yang mengenakan pakaian lebih dari ratusan ribu. Bahkan jutaan.

"Iya. Aku baru pulang dari warung. Beli sayuran."

"Eh iya, Han. Aku lagi cari jasa buat design baju-baju di butik aku. Alhamdulillah, beberapa bulan yang lalu, aku mendirikan butik kecil-kecilan. Ya, sebagai pengembangan skil bisnis aku. Dan kebetulan sekali aku ketemu kamu." Kalimat Resti ambigu sekali. Apa maksudnya?

"Ya? Aku turut senang ya, Res," jawabku lagi.

"Aku 'kan udah nikah, tapi aku ingin tetap berkarir yang tidak terlalu sibuk. Jadi, suami aku kasih ide dan modal supaya aku buat butik. Nah, mumpung kita ketemu, aku mau tawarin kamu buat kerjasama." Resti bicara memutar.

"Maksudnya?" selidikku.

"Han." Dia meraih pundakku.

"Aku tahu kalau kamu jago bikin design baju. Kamu meskipun bukan lulusan tata busana, tapi, sejak SMA, kamu sudah lihai menggambar. Kamu faham tekstur, warna, kain dan semuanya tentang design yang acap kali kamu iseng gambar-gambar."

Aku kaget dan baru ingat, kalau aku memang suka gambar design baju. Tapi aku hanya belajar secara otodidak. Bukan karena ilmu dari sebuah fakultas.

"Maksudnya?"

"Kamu mau 'kan bikinin design baju-baju untuk opening butik baru aku. Rencananya aku akan adakan launching, sebagai pengenalan butik dan juga produk tiga bulan lagi. Tapi, aku masih belum dapat desainernya. Mumpung kita ketemu, gimana kalau kamu saja yang ambil. Secara langsung juga memperkenalkan karya kamu."

Deg.

Apa aku tak salah dengar?

"Res? Kamu?"

"Han? Aku minta tolong ya. Plisss."

"Tapi aku sudah lama gak gambar-gambar. Dan aku bukan seorang sarjana tata busana yang ahli. Aku gak mau bikin image butik kamu jelek karena karya aku." Benar-benar insecure sekali diri ini. Mana mungkin karya amatiranku bisa membaguskan citra boutique baru Resti.

"Kalau menurut aku, yang namanya kemampuan itu gak bakalan hilang. Kamu pasti masih punya ilmu yang sama. Hanya kadang-kadang tidak kamu salurkan."

"Nah, kamu dalami lagi, dong. Sayang banget kalau skil kamu gak dilihat orang. Aku percaya sama kamu." Kembali Resti bicara dengan yakin.

"Resti, kamu salah orang. Lebih baik, menurut aku, kamu cari designer handal di luar sana. Dan itu akan mengantarkan butik kamu menuju kesuksesan. Bukan dari gambar orang semacam aku ini." Sungguh aku tidak mengerti dengan niat Resti. Aku bisa apa?

"Ya, maka dari itu. Mereka, desainer-desainer di luar 'kan itu udah gimana ya? Hem, gak ada yang aneh. Dan mereka itu udah sukses. Niat aku itu, ya, ingin ajak kamu sukses juga." Aku benar-benar tidak menyangka kalau Resti masih baik seperti Resti yang dulu. Meskipun sekarang dia sudah hidup mewah, tapi dia masih mengingatku si miskin ini.

Aku tak ingin buat dia malu dengan karyaku. "Resti, aku gak bisa. Kalau kamu tampilkan karyaku, bisa-bisa kamu kena malu."

Dia terkekeh. "Tahu dari mana kamu bakalan buat aku malu? Kerja aja juga belum. Dan kalau soal kena malu, ya biarin, bukannya yang sukses di sana itu mereka juga pernah dipermalukan lalu bangkit? Hah?"

Ya, benar juga.

"Ya tapi tetap saja, Res. Apalagi tangan ini tidak pernah cium bangku kuliah tata busana. Mana bisa sih?" Aku terus meyakinkannya kalau aku tidak bisa. Tidak mungkin bisa.

"Kamu masih bisa belajar. Gambar aja dulu. Detailnya kamu bisa pelajari lagi." Ia makin menyulut semangat.

"Res, aku ...."

"Ah sudah. Ini kartu nama aku. Ada nomor aku juga. Aku harus balik dulu. Aku harap kamu mau. Oh ya, kamu langsung tes kontak ke nomor aku ya. Aku tunggu." Dia malah berlalu pergi.

"Tapi, Res?"

"Sampai jumpa. Aku harap kamu bisa ya? Aku akan tunggu kamu. Itu juga kalau kamu masih anggap aku sahabat." Dia seperti memaksa dengan halus.

"Sampai jumpa, Han!" Ia lambaikan tangan.

Kartu nama di tangan ini kutatap dengan fokus. Ada nama Resti beserta nama panjangnya. Dan dia adalah pemilik sebuah boutiqe. Itu yang kubaca. Ada nomornya pula.

Bingung.

Aku menyimpulkan untuk memikirkan ini. Lalu kartu nama Resti kuselipkan di dalam dompet.

***

Sampai di rumah.

"Kamu belanja lama sekali?" sungut Ibu menyambutku di dekat pintu.

"Tadi Hanah ketemu temen, Bu. Ngobrol dikit." Aku menjawab jujur.

"Laki-laki?" duganya.

"Wanita, Bu." Kujawab dengan lesu.

"Bohong!" ketusnya.

"Ya sudah kalau Ibu tidak percaya. Tadi Hanah ketemu temen SMA, kami ngobrol dikit. Hanah ketemu Resti." Kembali kujelaskan.

"Masak sih? Bukan ngobrol sama tukang ojek pengkolan, kan?" tuduh Ibu. Tak henti-hentinya ia suudzon padaku. Apa salahku?

Daripada menanggapi Ibu, lebih baik aku masuk rumah dan beranjak ke dapur.

"Eh, malah nyelonong. Gak sopan!" celetuknya membuat hati ini kesal saja. Diajak bicara malah mengompori emosi. Di tinggal, malah marah-marah merasa tidak di hargai.

Ibu, Ibu.

***

"Jim, kamu punya istri itu ya dididik. Hampir saja tadi dia akan godain suami Mbak."

Deg.

Mbak Anggi bicara pada suamiku di saat kami baru saja selesai makan malam. Kami berenam ada dan masih duduk.

"Apa?" Mas Jimy menatap Mbak Anggi, lalu ia palingkan tatapannya padaku.

"Iya. Mbak lihat tadi istri kamu sengaja kirim Afni ke rumah tetangga biar berduaan sama Mas Yanto." Mbak Anggi membuat sungutnya berbusa dengan tuduhan sadis. Dia persis ibunya. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

"Astaghfirullah, Mbak. Han ...."

"Hanah!" Mas Jimy memotong kalimatku. Wajah ini meringis ketakutan.

"Ayah! Tadi Afni diajak sama Kak Helen buat belajar. Mama gak suruh Afni, tapi Afni yang minta." Anakku angkat bicara.

Mas Jimy terlihat emosi. Dadanya naik turun.

"Mas, Mbak Anggi hanya salah paham." Aku membenarkan.

"Iya. Ibu juga lihat." Ucapan ibu seperti mendukung anaknya. Keterlaluan.

"Hanah! Ikut aku ke kamar." Mas Jimy menyimpan sendok dengan kasar hingga suaranya terdengar.

"Afni tunggu sama Nenek," kata Mas Jimy lagi. Putri kecilku hanya diam tanpa mengangguk.

Tak lama kami sampai di kamar.

Plak!

"Mas?" Mas Jimy langsung menamparku tanpa bicara apapun dulu. Apa masalahnya? 

Pipi ini sakit sekali. Pasti memar.

"Kamu sudah tidak berpendidikan, kamu juga mau godain suami kakak aku? Iya?" Telunjuknya menodong wajahku dengan kasar. Bola matanya pun seakan meloncat ke arahku.

Tes.

Air mata ini menetes. "Kamu tega tampar aku hanya karena kesalah pahaman ini, Mas? Kamu itu sudah kemakan omongan ibu sama kakak kamu!" Emosi ini mulai muncul.

Plak!

Astaghfirullah! Dia menamparku lagi di sisi pipi yang lain. "Awwh!" Aku meringis kesakitan. "Hik. Kamu keterlaluan, Mas! Kamu tampar aku?"

"Diam! Bikin malu saja! Kamu itu wanita kecentilan!" Ia terus menunjuk-nunjuk wajah ini dengan nanar. Tak ada rasa sesal pula telah melayangkan tamparan di pipi seorang wanita yang telah hampir sembilan tahun menjadi makmumnya.

"Kamu salah paham!" bentakku.

"Alah! Mana mungkin Mbak Anggi menuduh tanpa bukti. Apalagi benar tadi Afni main di rumah tetangga!" Ia makin menjadi-jadi.

"Sumpah, aku tidak ada niat ...."

"Diam kamu! Diomongin itu bukan menjawab, tpi mikir!" Ia membentak di depan wajahku yang hanya berjarak beberapa senti dari mulutnya.

"Hik." Aku menangis tertahan. Ini sakit sekali.

"Kalau sampai aku dengar ini lagi. Habis kamu!" Dia mengancam dengan penuh emosi. Ya Tuhan, ada apa dengan diri suamiku?

***

Comments (8)
goodnovel comment avatar
ani sainu
kok ada ya suami seperti itu?
goodnovel comment avatar
Lalu Fadil
dasar suami edaan
goodnovel comment avatar
Anas Syam
mantap cerita cm jgn terlalu lemah Hanah di buat,,,
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status