Share

BAB 6 Berpikir Ulang

Semoga berkenan tinggalkan komentarnya meskipun cuma 'next' ya🙏🙏♥️

***

Tega-teganya Mas Jimy menamparku. Ini adalah kali pertamanya tangan kasarnya melayang di kedua pipi. Gara-gara tuduhan ibu dan Mbak Anggi.

Aku selalu sabar dengan uang minim yang ia berikan meskipun aku tahu gajinya lebih dari empat juta rupiah. Dan harusnya ia bisa berikan uang yang layak untuk kebutuhan kami. Sampai-sampai untuk beli baju saja aku harus memohon-mohon. Lalu ia berikan sepeser supaya aku beri baju obralan. Pun untuk Afni dan dirinya. Hanya kemeja dia saja yang harganya lumayan mahal, ia beli sendiri tanpa bantuanku. Mungkin takut uangnya di selip.

"Awas ya kalau kalian berduaan lagi di rumah? Aku aduin kamu sama Jimy supaya kamu kena hukuman lagi." Mbak Anggi mengancam saat setelah aku keluar dari kamar membawa tas Afni. Anakku sudah menunggu diluar. Mas Jimy sudah pergi.

"Maaf ya, Mbak. Sama sekali tuduhan Mbak itu tak ada benarnya. Dan Mbak tak perlu mengadu tanpa bukti."

"Lihat saja. Kalau kamu kayak kemarin lagi, habis kamu!" ancamnya lagi.

"Memang saya berbuat apa sama suami Mbak? Saya ini memang bukan lulusan sarjana seperti Mbak, tapi harga diri saya tidak serendah itu ya, Mbak. Saya punya suami. Saya tak pernah berfikiran sedikitpun untuk dekati suami Mbak." Sejak lama aku di tindas, dan sekarang ini sudah keterlaluan.

"Heh? Ribut lagi? Hanah! Kamu memang tukang cari masalah!" Ibu keluar dari kamarnya. Kini aku di lawan oleh dua orang yang di dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama.

"Kenapa Ibu terus bilang kalau aku pembuat masalah sih, Bu? Memang salah Hanah apa? Apa selama ini Hanah tidak berbakti pada Ibu? Salah Hanah dimana?" Emosi ini kembali muncul. Ingin kudengar kejelasan ibu mengenai apa salahku.

"Salah kamu, ya nikah sama Jimy. Harusnya Jimy punya istri yang lebih dari kamu. Pintar, lulusan tinggi. Bukan kayak kamu. Miskin. Tak pernah cium bangku kuliahan. Jadinya kamu kayak gini!" Ibu menghinaku habis-habisan.

Nafas ini kuatur supaya tidak terbawa emosi lagi.

"Hemh. Betul itu, Bu! Wanita kayak gini kok di pelihara." Mbak Anggi berkomentar. Kata-katanya menusuk ke dasar sanubari. Baru saja dua hari Mbak Anggi tinggal di rumah kami, dia sudah membuatku tak nyaman. Sampai kapan ini akan terjadi?

"Ibu? Ayok?" Tiba-tiba Afni masuk ke dalam menyusulku yang sedang di hakimi oleh ibu dan Mbak Anggi.

"Iya, Sayang." Aku pun meninggalkan mereka berdua. Tatapan keduanya sungguh tak mengenakan. Pasti mereka kesal sekali dengan ucapanku yang sejak dulu hanya diam. Tapi sekarang sudah keterlaluan. Apalagi Mas Jimy sampai menyakiti wajah ini karena tuduhan tak senonoh mereka.

***

"Sayang, Ibu ada urusan dulu. Nanti Ibu jemput kamu pas kamu pulang sekolah. Boleh, ya?"

"Iya, Bu. Memangnya Ibu mau kemana?" tanya anakku yang imut dan lucu itu.

Kusejajarkan perawakan ini dengannya. Kubelai rambut indahnya. Pun kuraba lembut pipinya. Dialah yang membuatku tegar selama ini. Afni. Buah hatiku yang saaaangat baik.

"Sayang, Ibu mau ketemu tante Resti. Teman Ibu waktu di sekolah dulu. Ibu ada urusan. Kamu ijinin Ibu, kan?" ujarku lembut.

Ia mengangguk. "Iya, Bu. Ibu hati-hati."

Sebuah mobil mewah menghampiri parkiran sekolah. Orang di dalamnya turun.

"Afni?"

Anakku menoleh. "Kak Helen?" sapa balik anakku. Ternyata yang keluar dari mobil mewah itu adalah Helen. Anak tetangga sebelah rumah yang baik itu.

"Bu, aku masuk dulu sama kak Helen." Anakku dengan cerianya pamit setelah mengecup punggung tanganku dengan takzim. Helen sudah menunggu Afni di kejauhan. Dia memang kakak kelas yang baik.

"Dah, Sayang?" Lambaian tanganku memberinya semangat. "Dadah, Ibu?" Pun ia lambaikan tangannya.

Mobil yang mengantar Helen mulai bergerak memarkir untuk kembali. Ternyata yang mengantarnya adalah Pak Zen. Ayah Helen sendiri. Aku pikir yang antar Bu Nia. Karena biasanya ya Bu Nia 'lah yang mengantar anaknya.

Tidn!

Pak Zen bunyikan klakson tanda pamit lebih dulu padaku. Aku pun mengangguk. Ia semai senyuman sambil berlalu karena kaca mobilnya membuka setengah.

Hari ini aku memang berniat mendatangi Resti ke boutique-nya. Yang ternyata letaknya sekitar tujuh kilometeran dari sekolah Afni. Aku pun segera bergegas.

"Kiri, Bang!" Tanganku melambai menyetop angkutan umum. Roda empat itu pun berhenti lalu melaju setelah aku masuk.

Semalam, aku berfikir ulang atas permintaan Resti. Aku memang tidak percaya diri, tapi, kalau harus mencoba, kenapa tidak? Resti bilang, ia akan terima dengan hasil apapun nantinya. Karena setiap orang ketika ingin sukses itu harus memulai. Bila ternyata gagal, cobalah lagi. Begitu seterusnya.

Di tas yang terselendang ini sudah kubawa beberapa contoh design pakaian untuk wanita dan pria. Beberapa adalah designku yang sering kukerjakan bila memiliki waktu lengang. Dan tadi malam, akhirnya aku bisa menambah satu gambar design baju yang glamor dan mewah namun dengan riasan simple. Hanya satu saja yang sempat kubuat. Itupun menghabiskan waktu sekitar satu jam. Setelah Mas Jimy tertidur pulas.

Semalam. Setelah aku menangis, jari ini mencoba menuangkan kesedihan lewat gambar. Kenapa bisa? Ya, karena sejak dulu, kalau aku bersedih, aku malah bisa fokus membuat karya. Seakan aku benar-benar mendalami dan hidup di gambar yang telah kubuat. Sayang. Impianku untuk kuliah jurusan tata busana, gagal. Tapi tak apalah, yang namanya skil itu kata Resti juga tak bakalan hilang. Hanya perlu belajar lagi.

***

"Selamat siang? Bu Restinya ada?" tanyaku setelah masuk ke dalam sebuah boutiqe mewah.  Resti bilang boutique-nya kecil. Tapi ...

"Hanah?"

Sebelum wanita yang kutanyai soal Resti menjawab, seorang wanita lebih dulu menyapa dari kejauhan. Ternyata dia Resti.

"Itu Bu Resti, Mbak." Seorang wanita tadi menunjukkan. "Iya, Mbak. Makasih."

"Res?" Kami saling sapa sambil cipika cipiki. Untuk datang ke boutique Resti, sengaja kugunakan baju yang lumayan bagus bekas lebaran tahun kemarin.

"Ajeng, saya ada urusan. Kamu handle dulu butik, ya? Saya ada di ruangan, kok." Resti berpesan pada karyawannya. "Baik, Bu."

Resti mengajakku masuk ke dalam ruangan khusus yang ada di boutique miliknya. Ruangan yang tak begitu besar namun di design sangat simple dan kekinian. Di cat warna kuning sesuai warna paforitnya. Aku masih ingat.

"Han? Jadi gimana? Aku seneng loh kamu datang kesini. Kamu kesini buat kasih aku gambar-gambar oke kamu itu, kan?" Baru saja duduk Resti sudah memberiku beberapa pertanyaan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zee Sandi
Aku kalau jadi hanah nggak bakalan kuat...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status