Semoga berkenan tinggalkan komentarnya meskipun cuma 'next' ya🙏🙏♥️
***
Tega-teganya Mas Jimy menamparku. Ini adalah kali pertamanya tangan kasarnya melayang di kedua pipi. Gara-gara tuduhan ibu dan Mbak Anggi.
Aku selalu sabar dengan uang minim yang ia berikan meskipun aku tahu gajinya lebih dari empat juta rupiah. Dan harusnya ia bisa berikan uang yang layak untuk kebutuhan kami. Sampai-sampai untuk beli baju saja aku harus memohon-mohon. Lalu ia berikan sepeser supaya aku beri baju obralan. Pun untuk Afni dan dirinya. Hanya kemeja dia saja yang harganya lumayan mahal, ia beli sendiri tanpa bantuanku. Mungkin takut uangnya di selip.
"Awas ya kalau kalian berduaan lagi di rumah? Aku aduin kamu sama Jimy supaya kamu kena hukuman lagi." Mbak Anggi mengancam saat setelah aku keluar dari kamar membawa tas Afni. Anakku sudah menunggu diluar. Mas Jimy sudah pergi.
"Maaf ya, Mbak. Sama sekali tuduhan Mbak itu tak ada benarnya. Dan Mbak tak perlu mengadu tanpa bukti."
"Lihat saja. Kalau kamu kayak kemarin lagi, habis kamu!" ancamnya lagi.
"Memang saya berbuat apa sama suami Mbak? Saya ini memang bukan lulusan sarjana seperti Mbak, tapi harga diri saya tidak serendah itu ya, Mbak. Saya punya suami. Saya tak pernah berfikiran sedikitpun untuk dekati suami Mbak." Sejak lama aku di tindas, dan sekarang ini sudah keterlaluan.
"Heh? Ribut lagi? Hanah! Kamu memang tukang cari masalah!" Ibu keluar dari kamarnya. Kini aku di lawan oleh dua orang yang di dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama.
"Kenapa Ibu terus bilang kalau aku pembuat masalah sih, Bu? Memang salah Hanah apa? Apa selama ini Hanah tidak berbakti pada Ibu? Salah Hanah dimana?" Emosi ini kembali muncul. Ingin kudengar kejelasan ibu mengenai apa salahku.
"Salah kamu, ya nikah sama Jimy. Harusnya Jimy punya istri yang lebih dari kamu. Pintar, lulusan tinggi. Bukan kayak kamu. Miskin. Tak pernah cium bangku kuliahan. Jadinya kamu kayak gini!" Ibu menghinaku habis-habisan.
Nafas ini kuatur supaya tidak terbawa emosi lagi.
"Hemh. Betul itu, Bu! Wanita kayak gini kok di pelihara." Mbak Anggi berkomentar. Kata-katanya menusuk ke dasar sanubari. Baru saja dua hari Mbak Anggi tinggal di rumah kami, dia sudah membuatku tak nyaman. Sampai kapan ini akan terjadi?
"Ibu? Ayok?" Tiba-tiba Afni masuk ke dalam menyusulku yang sedang di hakimi oleh ibu dan Mbak Anggi.
"Iya, Sayang." Aku pun meninggalkan mereka berdua. Tatapan keduanya sungguh tak mengenakan. Pasti mereka kesal sekali dengan ucapanku yang sejak dulu hanya diam. Tapi sekarang sudah keterlaluan. Apalagi Mas Jimy sampai menyakiti wajah ini karena tuduhan tak senonoh mereka.
***
"Sayang, Ibu ada urusan dulu. Nanti Ibu jemput kamu pas kamu pulang sekolah. Boleh, ya?"
"Iya, Bu. Memangnya Ibu mau kemana?" tanya anakku yang imut dan lucu itu.
Kusejajarkan perawakan ini dengannya. Kubelai rambut indahnya. Pun kuraba lembut pipinya. Dialah yang membuatku tegar selama ini. Afni. Buah hatiku yang saaaangat baik.
"Sayang, Ibu mau ketemu tante Resti. Teman Ibu waktu di sekolah dulu. Ibu ada urusan. Kamu ijinin Ibu, kan?" ujarku lembut.
Ia mengangguk. "Iya, Bu. Ibu hati-hati."
Sebuah mobil mewah menghampiri parkiran sekolah. Orang di dalamnya turun.
"Afni?"
Anakku menoleh. "Kak Helen?" sapa balik anakku. Ternyata yang keluar dari mobil mewah itu adalah Helen. Anak tetangga sebelah rumah yang baik itu.
"Bu, aku masuk dulu sama kak Helen." Anakku dengan cerianya pamit setelah mengecup punggung tanganku dengan takzim. Helen sudah menunggu Afni di kejauhan. Dia memang kakak kelas yang baik.
"Dah, Sayang?" Lambaian tanganku memberinya semangat. "Dadah, Ibu?" Pun ia lambaikan tangannya.
Mobil yang mengantar Helen mulai bergerak memarkir untuk kembali. Ternyata yang mengantarnya adalah Pak Zen. Ayah Helen sendiri. Aku pikir yang antar Bu Nia. Karena biasanya ya Bu Nia 'lah yang mengantar anaknya.
Tidn!
Pak Zen bunyikan klakson tanda pamit lebih dulu padaku. Aku pun mengangguk. Ia semai senyuman sambil berlalu karena kaca mobilnya membuka setengah.
Hari ini aku memang berniat mendatangi Resti ke boutique-nya. Yang ternyata letaknya sekitar tujuh kilometeran dari sekolah Afni. Aku pun segera bergegas.
"Kiri, Bang!" Tanganku melambai menyetop angkutan umum. Roda empat itu pun berhenti lalu melaju setelah aku masuk.
Semalam, aku berfikir ulang atas permintaan Resti. Aku memang tidak percaya diri, tapi, kalau harus mencoba, kenapa tidak? Resti bilang, ia akan terima dengan hasil apapun nantinya. Karena setiap orang ketika ingin sukses itu harus memulai. Bila ternyata gagal, cobalah lagi. Begitu seterusnya.
Di tas yang terselendang ini sudah kubawa beberapa contoh design pakaian untuk wanita dan pria. Beberapa adalah designku yang sering kukerjakan bila memiliki waktu lengang. Dan tadi malam, akhirnya aku bisa menambah satu gambar design baju yang glamor dan mewah namun dengan riasan simple. Hanya satu saja yang sempat kubuat. Itupun menghabiskan waktu sekitar satu jam. Setelah Mas Jimy tertidur pulas.
Semalam. Setelah aku menangis, jari ini mencoba menuangkan kesedihan lewat gambar. Kenapa bisa? Ya, karena sejak dulu, kalau aku bersedih, aku malah bisa fokus membuat karya. Seakan aku benar-benar mendalami dan hidup di gambar yang telah kubuat. Sayang. Impianku untuk kuliah jurusan tata busana, gagal. Tapi tak apalah, yang namanya skil itu kata Resti juga tak bakalan hilang. Hanya perlu belajar lagi.
***
"Selamat siang? Bu Restinya ada?" tanyaku setelah masuk ke dalam sebuah boutiqe mewah. Resti bilang boutique-nya kecil. Tapi ...
"Hanah?"
Sebelum wanita yang kutanyai soal Resti menjawab, seorang wanita lebih dulu menyapa dari kejauhan. Ternyata dia Resti.
"Itu Bu Resti, Mbak." Seorang wanita tadi menunjukkan. "Iya, Mbak. Makasih."
"Res?" Kami saling sapa sambil cipika cipiki. Untuk datang ke boutique Resti, sengaja kugunakan baju yang lumayan bagus bekas lebaran tahun kemarin.
"Ajeng, saya ada urusan. Kamu handle dulu butik, ya? Saya ada di ruangan, kok." Resti berpesan pada karyawannya. "Baik, Bu."
Resti mengajakku masuk ke dalam ruangan khusus yang ada di boutique miliknya. Ruangan yang tak begitu besar namun di design sangat simple dan kekinian. Di cat warna kuning sesuai warna paforitnya. Aku masih ingat.
"Han? Jadi gimana? Aku seneng loh kamu datang kesini. Kamu kesini buat kasih aku gambar-gambar oke kamu itu, kan?" Baru saja duduk Resti sudah memberiku beberapa pertanyaan.
"Itu Bu Resti, Mbak." Seorang wanita tadi menunjukkan. "Iya, Mbak. Makasih.""Res?" Kami saling sapa sambil cipika cipiki. Untuk datang ke boutique Resti, sengaja kugunakan baju yang lumayan bagus bekas lebaran tahun kemarin."Ajeng, saya ada urusan. Kamu hendel dulu butik, ya? Saya ada di ruangan, kok." Resti berpesan pada karyawannya. "Baik, Bu."Resti mengajakku masuk ke dalam ruangan khusus yang ada di boutique miliknya. Ruangan yang tak begitu besar namun di design sangat simple dan kekinian. Di cat warna kuning sesuai warna paforitnya. Aku masih ingat."Han? Jadi gimana? Aku seneng loh kamu datang kesini. Kamu kesini buat kasih aku gambar-gambar oke kamu itu, kan?" Baru saja duduk Resti sudah memberiku beberapa pertanyaan.Aku tersenyum. "Res, aku yang sangat terhormat bisa datang ke butik mewah kamu ini. Ini sih bukan butik kecil. Ini mewah banget." Memang ya, tempat usaha milik Resti lebih bagus dari apa yang ia utarakan. Resti memang bukan tipikal wanita yang sombong. Sama se
Aku sudah melintas jalan. Melihat arloji di tangan kepulangan Afni dari sekolah masih satu jam lagi. Mungkin aku akan sempatkan dulu untuk menguntit Mas Jimy.Mereka berdua sudah masuk ke dalam sebuah kafe. Aku tak suudzon, siapa tahu mereka hanya rekan kerja biasa, tapi aku penasaran, karena tadi saat akan masuk, tangan mereka saling bertaut. Bergandengan.Tidak! Apa suamiku memang selingkuh? Kalau benar, aku tidak akan tinggal diam.Dari jarak beberapa meter, kulihat mereka berdua duduk di meja yang sama. Di kursi yang berdekatan.Deg! Hati kecil mulai menduga.Mas Jimy meraih lengan wanita itu dengan lembut dan mesra. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan seperti sepasang kekasih.Tenggorokan ini tercekak. Nafasku sesak. Apa begini selama ini kelakuan Mas Jimy di belakang? Dia kasar padaku, tapi dia lembut pada wanita yang jelas-jelas bukan mahramnya.Ingin sekali mulut ini berteriak dan menjerit kalau aku benar-benar kecewa.Tidak!Langsung kusapu air mata yang sedikit
"Hanah!" Mas Jimy meraih tanganku dengan kasar saat kaki ini baru melangkah.Kukibaskan dengan cepat. "Apa? Kamu pilih aku atau wanita itu!" Kutunjuk wanita yang bernama Tika itu dengan nanar."Kamu jangan macam-macam! Aku ini suami kamu! Pulang ke rumah!" Mas Jimy naik pitam. Orang-orang yang ada di sekitar kami menjadikan perdebatan kami sebagai pusat perhatian."Jadi kamu pilih dia atau aku?" Aku pastikan sekali lagi."Diam!" Dia mengangkat lengannya berniat ingin menamparku. Tapi malah ia urungkan."Tampar saja, Mas! Dan itu artinya aku memang tak harus lagi pertahankan pria macam kamu!" Aku langsung pergi dan menyetop angkutan umum. Yang ada hanyalah angkutan berwarna biru berjenis sedan."Hanah!" Mas Jimy berteriak. Aku sudah masuk taksi. Ah biarlah, untung aku masih punya uang untuk bayar taksi sampai ke rumah. Yang penting aku segera pergi dari pria itu.Tes.Akhirnya air mata ini menetes juga. Sakit sekali sejak tadi aku menahannya. Kenapa? Kenapa Mas Jimy malah berselingkuh?
"Assalamualaikum!"Aku mengucap salam dengan pelan sambil masuk ke dalam rumah ibu yang di bangun sederhana karena kami bukanlah orang kaya. Isakan tangis masih melirih-lirih sejak tadi. Tetap saja, hati ini merasa hancur membayangkan rumah tangga yang telah terpecah belah."Waalaikum salam. Hanah?""Cucu nenek?"Ibu membalas salamku. Ia sedang duduk membereskan sesuatu. Tatapannya teralihkan pada kedatangan kami. Ia agak kaget dengan tatapan penyelidikan."Bu?" Aku berlari ke arah ibu untuk mengecup punggung tangannya. Rasanya batin ini tak mampu diam menyembunyikan kesedihan kala melihat wanita paroh baya yang selama ini mendidik dan membesarkanku dengan penuh semangat ada di hadapan."Nenek?" Pun Afni berlari memeluk neneknya dengan penuh kebahagiaan. Wajar saja, karena kami hanya datang dua bulan sekali. Itu pun bila Mas Jimy dan ibu mengizinkan."Afni, Cucu Nenek!" Ibu memeluk cucu semata wayangnya. Karena aku hanyalah anak tunggal. Jadi ibu tak punyai cucu lagi selain anak darik
"Han? Kamu di tampar Jimy?" Ibu bertanya dengan bola mata yang sudah berkaca-kaca. Ia seperti merasakan kesedihan. Aku tak bisa bicara apapun. Tangis kecil, hanya itulah yang mampu kuperlihatkan."Ya Gusti!" Ibu menangis.Padahal aku telah mengompres pipi saat itu juga dengan air dingin supaya memarnya tak terlihat. Tapi, Afni malah bicara pada ibu. Dia juga pasti sangat iba denganku sampai-sampai ia ikut bicara."Ibu gak nyangka suami kamu sekasar itu, Nak. Ibu gak nyangka." Kini air mata ibu mulai bercucuran. Dia pasti sangat sedih mendengar nasibku yang amat buruk ini.Afni berlari memeluk neneknya. Pun dia menangis. "Tolong Ibu jangan suruh Hanah kembali, Bu. Hanah tak mau kembali pada keluarga itu, Bu." Aku mengecup punggung tangan ibu sambil menangis."Ibu tidak akan ikut campur, Nak. Semuanya terserah kamu. Kamu yang menjalankan. Ibu hanya doakan yang terbaik untuk kalian. Jika kalian masih berjodoh, semoga Jimy berubah." Itulah kata-kata ibuku. Tidak ikut mengompori layaknya i
"Han, ini baju hasil design kamu. Gimana menurut kamu pas sudah jadi kayak gini?" Tak kusangka apa yang dikatakan Resti itu benar. Baju rancanganku sudah ada yang selesai di jahit. Keseluruhan lumayan bagus ternyata."Ini beneran?" "Boongan."Aku terkekeh kecil."Ya iyalah. Coba, menurut kamu gimana? Menurut aku sih ini sangat bagus untuk design awal kamu. Apalagi nanti kalau kamu sudah ahli dan lebih mendalami." Resti mulai memuji karyaku."Nah ini juga. Sengaja aku ingin lihat design baju kebaya kamu. Ini sih belum selesai. Masih tujuh puluh persen. Tapi ini udah oke banget, Han? Apalagi kalau udah seratus persen. Masih cuma kain saja ini udah cantik. Aku gak nyangka loh kamu bisa sefasih ini dalam mendesign pakaian."Aku masih mematung menatapi sebuah kebaya berwarna putih hasil rancanganku. Aslinya seindah ini? Memang ini sesuai imajinasiku. Sungguh cantik. Apa Resti berkata hanya untuk menyenangkanku atau memang ya ini bagus?"Han?" Ia mengagetkan. "Res? Ini beneran designku?"
"Mas Jimy?"Aku kaget. Ternyata mobil yang membunyikan nada nyaring itu adalah milik Mas Jimy. Aku mengatur nafas dan beristighfar. Untuk apa dia kemari? Apa dia akan ambil paksa Afni? Tidak akan. Aku tidak akan membiarkan dia merebut anakku. Iya kalau kelakuan mereka baik pada Afni, bagaimana kalau tidak?"Hanah? Lagi ngapain? Panas ini! Gak bawa kendaraan?" Astaghfirullah. Sejak kapan Mas Jimy jadi tukang mengejek."Kamu jangan ejek aku, Mas. Kamu tahu sendiri aku tidak punya kendaraan." Kujawab santai. Ada ibu-ibu yang lain pun bersamaku. Mereka sama-sama menunggu anaknya. Karena anak kami masih duduk di bangku kelas satu, jadi kami masih antar jemput dan menunggu mereka. Khawatir.Mas Jimy turun dari mobil. Pun ternyata dia bersama wanita selingkuhannya. Hemh, dasar tak tahu malu."Siapa, Mbak?" tanya seorang ibu yang memang sudah kenal denganku sejak kami menunggu anak-anak."Ehm. Suami saya, Bu, tapi sebentar lagi juga jadi mantan," jawabku pelan. "Oh." Ia hanya mengangguk tak m
[ Mas, mana surat cerainya? Sudah satu Minggu kok belum datang?] Aku mengirimi pesan untuk Mas Jimy. Menunggu surat dari pengadilan untuk panggilan sidang pertama kami.Kukirim langsung.Centang dua. Masih warna abu. Sudah sepuluh menit menunggu baru ada balasan. Sejenak sambil menunggu aku memotong sayuran untuk di masak sore ini. Afni sedang bermain di luar sambil menemani neneknya.[ Aku gak ke pengadilan. Aku akan menikah dengan Tika satu Minggu lagi. Aku akan gantung kamu. Biar kamu tahu rasa. Hahahaha.]Jleb.Emosi ini teraduk mendengar balasan darinya. Benar-benar lelaki kurang ajar. Mau enaknya sendiri.Langsung kubalas.[ Oke, kalau begitu aku saja yang ke pengadilan. Berarti kamu tidak punya harga diri. Aku yang akan bayar uang pendaftaran perceraian kita.]Kubalas cepat dengan syaraf melonta-lonta memaksa mulut untuk berteriak melupakan amarah.Tak lama muncul balasan. [ Terserah. Aku akan gantung kamu. Biar kamu tahu diri. Dasar wanita angkuh.]Melihat balasan darinya, i