Share

Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati
Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati
Penulis: Widanish

BUAH SALAK

“Kak Dewi, buka pintunya dong! Aku gak bisa ngupas salak!” 

Siang ini aku hampir saja terlelap ketika mendengar suara Citra memanggil namaku. Ingin rasanya kuabaikan dan lanjut tidur saja, apalagi badanku rasanya capek sekali setelah seharian ini bebersih rumah. Ditambah aku punya anak laki-laki yang sedang aktif-aktifnya, dia sering mengacak-acak rumah dan membuatku tak bisa beristirahat karena tak henti beberes. 

“Kak Dewi, buka pintunya!” 

Lagi-lagi Citra menggedor pintu sambil berteriak. Membuat rasa kantukku jadi hilang dan menyisakan pusing di kepala. 

Aku pun membuka pintu dan tampak Citra memegang sekeranjang buah salak. 

“Ada apa Cit?” tanyaku pada adik ipar yang rumahnya bersebelahan denganku ini. 

“Tolong kupasin buah salak ini, Kak,” jawabnya. 

“Memangnya kamu gak bisa kupas buah salak itu sendiri?” 

“Gak bisa, Kak,” jawabnya. 

Aku menghela napas dan mengembuskan kasar. Kalau ada perlunya, pasti dia datang. Citra anak manja dan baru sebulan menikah. Dia langsung dibelikan rumah gedong oleh suaminya, tepat di sebelah rumah panggungku.  

“Ya sudah, ayo masuk dulu, biar Kakak ajarkan caranya ngupas salak.” 

Citra memasuki rumahku sambil berjinjit, seperti jijik menginjakkan kaki di rumahku. 

“Kenapa kok jalannya begitu?” tanyaku. 

“Aneh rasanya nginjak rumah kayu, takut roboh,” jawabnya. 

Aku tersinggung mendengar jawabannya. Entah mungkin aku yang baper. Tapi rasanya sangat nyelekit di hati. Suamiku pedagang sayur, dia hanya mampu memberikanku rumah kayu, bukan rumah gedong seperti yang diberikan oleh suami Citra. 

“Kak, kok gak ada kursi,” cetusnya. 

“Iya, Kakak belum kebeli kursi. Kamu duduk di karpet aja, ya,” kataku. 

“Tapi ini karpetnya udah lecet-lecet, Kak.” 

“Iya, Cuma karpet itu yang Kakak punya, “ jawabku. 

Citra mulai duduk dengan pelan. Seperti biasa, ia terlihat jijik saat mendaratkan bokongnya di karpet milikku. 

“Gimana kalau ada tamu, Kak?” Citra bertanya lagi. 

“Gimana apanya?” 

“Kakak gak malu keadaan rumah seperti ini?” 

Hatiku kembali nyelekit, rasanya sakit sekali. Daripada Citra jadi banyak bertanya dan berkata menyakitkan lagi, aku segera meminta sekeranjang salak itu darinya. “Mana sini salaknya, biar Kakak kupasin,” kataku. 

“Kak, pakai wadah, deh, untuk nyimpan salak yang udah dikupasnya. Jijik kalau digeletakkin di lantai kayu ini,”celetuk Citra membuatku sesak napas. 

“Ya sudah kamu ambil baskom kecil di dapur. Hati-hati jangan berisik, nanti Azfar bangun, dia lagi tidur,” kataku. 

Selagi Citra pergi ke dapur, aku membuka plastik keranjang ini. Isinya kira-kira dua kilo buah salak. Selang berapa lama, terdengar suara Citra dari arah dapur. 

“Aduh, tanah semua!” gerutunya dengan nada kesal. “Kenapa Kakak gak bilang kalau dapurnya masih tanah? Ih ya ampun, tahu gitu aku pakai sandal tadi! Jijik ih aku nginjek tanah, ntar ada cacing masuk kulitku!” lanjutnya. 

Aku meremas sebiji buah salak yang sedang kupegang ini. Geram rasanya dengan mulut adik iparku yang satu itu. Namun aku hanya bisa menahan kesal di dada, tak berani menunjukkannya di hadapan siapapun. Sebagai seorang perempuan yang merantau ikut suami ke kampungnya, aku harus pandai menjaga sikap, jika tidak maka semua keluarga suamiku akan menjauhiku. 

Tak lama, Citra kembali duduk di depanku. Sambil cemberut, dia melihatku sedang mengupas buah salak. 

“Kaya gini, Cit. Coba perhatikan baik-baik, jadi nanti kalau kamu mau ngupas salak lagi gak usah minta tolong Kakak,” ucapku. 

“Oh, jadi Kakak gak mau aku mintai tolong lagi?” tuduhnya. 

“Bukan begitu maksudku, Cit. Kamu kan sekarang sudah nikah, jadi harus bisa melakukan banyak hal sendiri. Itu namanya tuntutan. Kakak mau kok ajarin kamu masak, dan lain-lain,” jelasku. 

Citra membalas dengan menunjukkan ekspresi wajah cemberut. Aku sudah selesai mengupas lima buah salak, dan menyerahkan sisanya pada Citra. 

“Nah, ini. Sekarang coba kamu yang kupas,” kataku. 

“Kan aku minta tolong kupasin ke Kakak. Kok Kakak malah nyuruh aku sih?” cetusnya. “Kupasin aja semuanya, Kak. Sekalian buatkan manisan semuanya. Kalau mau bantu orang jangan setengah-setengah dong! Sebentar lagi ibu mertuaku berkunjung ke rumahku, dia sangat suka buah salak. Cepat, Kak, kupasin semuanya. Jangan bikin aku KESEL, deh!” Citra nyerocos tak sopan padaku.  

Apa tidak salah? Aku membuatnya kesal? Apa gak kebalik?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status