Hari sudah sore, pukul lima. Sepulang mengantarkan anakku Azfar ke tempat pengajian, aku menyapu pekarangan rumah sekaligus menunggu suamiku pulang keliling jualan sayur.
Di depan rumah Citra, aku melihat mobil hitam terparkir. Mertua Citra pasti sudah datang. Lampu di rumahnya juga menyala, gordennya belum ditutup, jadi aku bisa melihat aktivitas mereka di dalam rumah. Tampak Kirno—suaminya Citra—memasukkan makanan ke dalam paper bag sementara Citra menggandeng tangan ibu mertuanya berjalan ke luar rumah. Sepertinya, mertua Citra akan segera pulang.
“Makasih lho, Cit. Tadi salaknya segar banget, manis juga rasanya. Udah gitu bersih, lagi. Kamu pinter bikin manisan salak, apa tanganmu gak sakit pas ngupas dan bersihin buah salak, Cit?" kata ibu mertuanya setelah sampai di depan mobil, diantar Citra dan suaminya.
“Ya iyalah, Bu. Harus. Kan buah salak memang kesukaan Ibu, jadi Citra semaksimal mungkin mengupasnya khusus untuk Ibu,” balas Citra.
Aku yang mendengar pengakuan Citra mendadak naik darah. Dia mengaku telah mengupas dan membuat manisan buah salak itu sendiri untuk ibu mertuanya?
“Ya, memang harus begitu. Sebagai menantu kamu harus pandai nyenengin mertua. Biar kami tambah sayang sama kamu, Citra,” ucap ibu mertuanya lagi.
Aku hanya mendengarkan sambil menyapu halaman rumahku yang masih tanah dengan sapu lidi. Sengaja aku menunduk agar mereka tak tahu aku tengah mendengarkan percakapan mereka. Sebenarnya aku tak berniat menguping, hanya saja mereka bicara sangat lantang, jadi mau tak mau aku mendengarnya.
“Oh iya, Bu. Citra sudah bekalin dua kilo manisan buah salak buat Ibu, tadi Mas Kirno udah simpan di paperbag ini. Tadi, Citra sendiri yang udah kupas dan bersihkan kulitnya, terus dicuci. Jadi Ibu tinggal makan aja,” lanjut Citra.
“Apa? Kamu ngupasin dua kilo salak buat Ibu? Citra, apa kukumu gak sakit?” respon ibu mertuanya.
“Enggak lah, Bu. Citra kan pinter, cuma ngupas buah salak doang mah gampang, Bu. Ya lagipula kalau Citra gak bisa, mau minta tolong siapa? Kan Citra gak ada saudara di sini, Bu. Jadi Citra dituntut untuk serba mandiri,” jawab Citra.
Semakin mangkel hatiku mendengar pengakuan Citra! Dia bilang kukunya gak sakit setelah mengupas buah salak? Ya jelas gak akan sakit, wong aku yang ngupas dua kilo buah salak itu sampai kukuku lecet-lecet! Apalagi saat dia bilang di sini ga punya saudara, lantas aku dianggap apa? Hanya karena rumahku terbuat dari kayu, dia tak mau mengaku saudara!
“Ya ampun, kasihan kalau kamu sendirian di kampung ini, Cit. Kamu harus kenal dan baik sama tetangga, ya. Kalau ada apa-apa kamu bisa minta tolong sama mereka,” respon ibu mertuanya sambil menoleh kiri-kanan. “Nah, itu di depan rumah kayu itu ada ibu-ibu lagi nyapu halaman. Kamu kenal kan sama dia?” lanjutnya seraya melihatku. Aku pun otomatis melihat ke arah mereka.
“Oh, iya itu tetangga udah lama tinggal di sini,” jawab Citra.
Padahal aku berharap dia akan mengatakan bahwa aku ini kakak iparnya. Bukan karena aku sangat ingin diakui, tapi apa salah aku berharap dia mengatakan yang sebenarnya kepada ibu mertuanya? Kenapa harus berbohong segala? Apa Citra malu punya kakak ipar miskin sepertiku?
Kumenangis, membayangkan kejamnya sikap adik iparku itu.
“Sebentar lagi maghrib, Ibu dan Bapak harus segera pulang, nanti kemaleman di jalan,” kata Kirno menghentikan percakapan orangtua dan istrinya itu. Dia melihat dengan perasaan tak enak padaku.
Bersamaan dengan perginya mertua Citra, Mas Bambang suamiku pulang tepat jam setengah enam sore. Aku menyambutnya dengan senyuman dan segera membukakan jaketnya.
“Gimana jualannya, Mas? Laris?” tanyaku sambil meberinya segelas air hangat.
“Alhamdulillah, gak laku, Dek,” jawab suamiku. “Jangan kecewa, ya. Hari ini jangankan untung, balik modal aja enggak. Kita rugi, Dek. Beberapa sayuran sudah mulai membusuk,” lanjutnya sambil duduk lemas di lantai kayu beralas karpet lecet.
Aku menutup mulut, menahan diri agar tak mengeluarkan keluhan. Aku harus menerima kenyataan suamiku pulang tak bawa uang.
“Tabungan kita masih ada kan, Dek? Oh iya, kemana Azfar?”
“Masih ada sedikit lagi, Mas. Mungkin cukup untuk bekal tiga harian lagi. Tadi sebagian sudah kubayarkan iuran mengaji Azfar, dia lagi ngaji sekarang,” jawabku.
Mas Bambang terlihat kecewa.
“Kalau jualan sayur sepi, bagaimana kalau Mas ikut Kirno aja jadi kuli bangunan? Dia mampu membangun rumah gedong dari hasil kuli bangunan, siapa tahu kita juga bisa menyusul jejaknya, Mas. Kudengar dia lagi ada proyek di kampung sebelah, pembangunan pabrik minyak kelapa. Siapa tahu masih butuh orang untuk bantu-bantu,” usulku.
Ayah Mertua tentu kaget Haji Sadeli tiba-tiba menagih utang."Utang apa, Pak Haji?" tanya Ayah Mertua."Bekas bangun rumah anak ente ini!" jawab Haji Sadeli sambil menunjuk rumah gedong Citra.Aku sudah tidak kaget lagi mendengarnya. Berbeda dengan Mas Bambang dan Ayah Mertua, mereka sangat terkejut dan tak percaya."Gak mungkin! Waktu bikin rumah ini, aku sudah berikan sejumlah uang yang sangat banyak pada istriku itu untuk membeli cash bahan bangunan darimu!" bela Ayah Mertua.Aku dan Mas Bambang memilih diam tak ikut campur.Haji Sadeli mengeluarkan buku catatan utang dari dalam tas nya lalu menunjukkan pada Ayah Mertua. "Ini lihat saja kalau ente kagak percaya! Utang mereka seratusjuta, ada tanda tangan istri ente juga di sini!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk pada buku utang.Ayah Mertua mengembuskan napas kasar. Sekarang, baru dia percaya bahwa istrinya banyak utang. "Ternyata benar. Ya sudah, aku minta maaf. Akan aku lunasi tapi nanti setelah aku bertemu dengan istriku. Sekaran
Mas Bambang langsung menyembunyikan balok kayu ke belakang punggung. Aku berusaha menghalangi pandangan Ayah Mertua pada gerak-gerik Mas Bambang yang mencurigakan.Ayah Mertua mengernyit. "Apa yang kau sembunyikan, Bambang?" tanyanya."Bu—bukan apa-apa, Yah," jawab Mas Bambang.Ayah Mertua tidak percaya begitu saja. Dia bertanya padaku. "Ada apa ini, Dewi?"Bibirku gatal ingin mengungkap semuanya, melaporkan perbuatan Kirno yang di kuar batas. Namun, Mas Bambang menatapku tajak, memberi kode agar aku tak mengatakan apapun."Ayah, kami sedang membangun ruko," jawabku."Terus kenapa kalian lari-larian seperti saling mengejar?"Bibirku gatal sekali ingin bicara, lagi-lagi Mas Bambang menahanku."Kenapa Dewi?" tanya Ayah Mertua lagi, saat aku hanya diam saja."Ayah, ayo lihat pembangunan ruko kami. Hari ini hari pertama pembangunan, para tukang baru membuat pondasinya, tolong lihat apa saja yang kurang. Biar jadi masukan untuk para pekerja. Ayah kan berpengalaman jadi kepala proyek dan me
“Tepat sekali.” Mas Bambang menjawab.“Terus kenapa Mas gak ngasih tahu aku, Mas?“Karena Mas gak mau kamu dan Kirno jadi bermasalah. Mas sudah membayangkan, kalau Mas ngasih tahu kamu , kamu pasti akan langsung marah sama Kirno dan akhirnya bertengkar,” jelas Mas Bambang. Dia mencoba menenangkanku yang tersulut emosi.“Tapi sama saja, Mas. Sekarang juga pada akhirnya aku dan Kirno harus bertengkar. Bahkan, dengan adik dan mamamu juga. Coba kalau Mas bilang sejak awal kalau Kirno lah yang menyimpan buhul itu, aku gak akan langsung menuduh Mama dan Citra,” kataku agak kesal.Mas Bambang tampak berpikir keras, berulang kali ia mengatur napas hingga terlihat rasa bersalah atas situasi ini. Aku tak ingin membuatnya bertambah kepikiran, jadi aku pun mengalihkan pembicaraan.“Ya sudah, Mas, semua sudah terlanjur terjadi. Lalu, bagaimana awal mulanya Mas bermasalah dengan Kirno?” lanjutku bertanya.Suamiku itu menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Semua berawal ketika Mas jual tanah Jura
"Astaghfirulloh, menaruh racun di adonan bakwan? Mana mungkin aku melakukannya, Ma! Jangan sembarangan menuduh!" ucapku."Siapa yang sembarangan menuduh? Kan kamu lagi bikin ruko buat usaha salon, bisa jadi kamu menumbalkan suamimu sendiri, Dewi!" tuduh Ibu Mertua dengan begitu kejamnya.Aku menekan dada sekuat tenaga, sesak rasanya. Jengkel dan marah bercampur jadi satu, entah bagaimana jadinya jika emosi itu tidak kutahan. Mungkin mulut Citra dan Ibu Mertua sudah babak belur."Benar atau tidak, Kak? Karena jaman sekarang itu lagi musim tumbal-tumbalan. Di depan sana pernah kejadian tumbal warung soto yang baru saja di bangun, setiap anak kecil yang lewat di depannya akan ketabrak mobil. Ada juga yang menumbalkan suaminya sendiri untuk melancarakan usahanya. Itu semua fakta lho, Kak. Lagian, Kakak kan dapat uang banyak secara mendadak ya, bisa jadi itu semua didapatkan dengan ilmu hitam yang menuntut tumbal! Dan Kakak memilih Mas Bambang sebagai tumbalnya. Wajar kan kalau kami menyan
"Kirno!" Kuberanikan diri memanggil orang itu. Seketika dia terperanjat hingga botol yang dipeganginya terjatuh dan seluruh isinya tumpah. Aku mendekat sambil terus memperhatikan wajahnya yang tidak terlihat jelas di bawah gelapnya langit dini hari dan remang lampu depan rumah kayuku. Semakin kuperhatikan, semakin membuatku terkejut. Karena yang kupergoki itu benar Kirno! Dia gemetaran dan mundur perlahan-lahan, hendak kabur saat aku mendekatinya."Kirno! Apa yang kamu lakukan?" "A—anu, Kak—" jawabnya terbata. Dia tak mampu menjawab."Apa, Kirno? Sedang apa kamu menyirami air ke sekeliling rumah kayuku? Untuk apa, hah?" tanyaku memburu.Kirno semakin gemetaran. Dia sangat ketakutan sekaligus kebingungan menjawab pertanyaanku, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Kini aku berhadapan dengannya, sehingga aku bisa melihat wajah Kirno dengan sangat jelas."Kak, anu—" jawabnya, masih terbata."Una-anu una-anu ... jawab yang bener! Kamu pasti niat jahat kan sama keluargaku? Astaghfirullo
Astaghfirulloh, rupanya karena hal itu mereka usil terhadap pembangunan rukoku? Dari mulai aku membeli tanah, membeli barang pesanan, hingga kini pembangunan ruko sudah dimulai mereka selalu memantau. Itu semua karena mereka kecewa aku tidak mempekerjakan Kirno? Ya Alloh, ampuni aku. Aku tidak bermaksud buruk atas semua ini."Tapi, Ma. Setahuku kan Kirno sedang ada proyek pembangunan kelapa sawit di kampung sebelah. Aku tidak tahu kalau proyeknya akan berkahir bertepatan dengan pembangunan rukoku, karena itulah aku memutuskan untuk menyewa tukang dari Haji Sadeli saja," jawabku menjelaskan.Ibu Mertua melipat tangan di dada, dia mendelik sinis sambil berkata, "kenapa kamu gak tanya-tanya dulu sama Citra, kapan Kirno pulang, bisa gak Kirno kerja bangun ruko kamu. Basa basi kek, apa kek, ini mah enggak ada, malah main selonong aja tau-tau kami lihat sudah ramai orang bekerja di lahanmu. Kamu juga beli tanah dan bangun rukomu itu tanpa izin dulu ke Bambang kan? Kenapa sih, Dewi kamu apa-