Mateo terdiam sesaat melihat berkas yang ada di tangan Miracle. Raut wajah dingin dan sorot mata yang tajam, menatap Miracle. “Bukalah, baca dokumen yang ada di tanganmu itu dan pelajari isinya.”
Kening Miracle berkerut. Dia tampak semakin tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Mateo. Perlahan Miracle mulai bangkit berdiri. Dia masih memegang kuat berkas perjanjian itu. “Bisa kau jelaskan apa maksud ini?”
“Aku akan menjelaskan jika kau sudah membacanya.” Mateo berucap dengan tegas. Sorot mata yang terpancar sifat arogantnya itu, menatap Miracle dingin.
Miracle diam. Dia masih tidak mengerti. Namun, tidak mungkin dia kembali mendesak Mateo untuk menjelaskannya. Dengan pelan, Miracle mulai membuka berkas itu. Tiba-tiba, raut wajahnya berubah kala membaca lembar pertama yang ada di perjanjian itu. Iris mata birunya menajam. Terlihat amarah disertai kebingungan di sana.
Pihak Pertama : Mateo De Luca
Pihak Kedua : Miracle Geovan
Pihak pertama akan menghidupi pihak kedua. Segala kebutuhan pihak kedua akan dipenui oleh pihak pertama.
Di hadapan publik dan keluarga, pihak pertama dan pihak kedua wajib untuk menunjukan kemesraan serta harus terlihat bahagia.
Pihak kedua dilarang melawan perkataan pihak pertama serta pihak kedua harus menuruti setiap perkataan pihak pertama.
Pihak pertama dan pihak kedua akan tidur terpisah. Namun, ke depannya pihak kedua harus siap jika pihak pertama meminta pihak kedua untuk mengandung.
Miracle menutup berkas itu. Kilat matanya menajam teralih pada Mateo yang berdiri di hadapannya. “Bisa kau jelaskan perjanjian apa ini, Mateo!” desaknya menuntut agar Mateo menjelaskan padanya.
“Yang ada di tanganmu adalah perjanjian pernikahan kita. Sejak awal, aku terpaksa menikahi saudara kembarmu karena perjodohan sialan ini. Aku sudah senang saudara kembarmu melarikan diri, tapi kau sendiri mengantarkan dirimu menggantikan posisinya. Sekarang, kau tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perkataanku.” Perkataan Mateo sontak membuat Miracle terkejut. Dia nyaris tidak percaya dengan apa yang telah di katakan oleh pria itu. Perjanjian? Membayangkan saja Miracle tidak pernah.
“K-kau membuat perjanjian ini?” Miracle mencengkeram kuat perjanjian yang ada di tangannya itu. Raut wajahnya tampak begitu menahan amarahnya.
“Kau sendiri bilang, bukan? Kau menggantikan posisi saudara kembarmu karena tidak ingin membuat keluargamu malu. Kau dan aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Kita sama-sama terjebak dalam pernikahan yang tidak pernah kita inginkan. Perjanjian yang aku buat, tentu saja menguntungkan kita. Aku tidak akan mengganggu kehidupanmu. Dan kau … tidak mengusik hidupku. Semua yang tertulis di perjanjian itu sangat adil.” Mateo berkata dengan tegas.
“Kau gila! Mana yang kau katakan adil? Jelaskan padaku point mana yang kau bilang adil? Kau memintaku untuk menuruti perkataanmu dan mengatakan aku harus siap mengandung anakmu? Kau sudah kehilangan akal sehatmu! Lebih baik kita bercerai saja! Katakan pada orang tua kita tidak ada kecocokan di antara kita!” Suara Miracle berseru berapi-api, menentang perjanjian yang diajukan oleh Mateo. Bukan karena dia menginginkan pria yang ada di hadapannya ini, tapi point nomor tiga dan empat, memberatkan dirinya.
Mateo tersenyum sinis. Dia dia menarik dagu Miracle dan menatap manik mata biru wanita itu seraya berdesis, “Bercerai? Itu hanya mimpimu! Kau sendiri yang mengantarkan dirimu menggantikan posisi saudara kembarmu yang melarikan diri, maka jangan pernah bermimpi untuk mundur. Cepat kau tanda tangani perjanjian itu dan jangan membantahku!”
Miracle menepis kasar tangan Mateo yang menyentuh dagunya itu. Kilat matanya menunjukkan kemarahan begitu terlihat kala mendengar perkataan Mateo. “Aku tidak mau menandatangani perjanjian sialan itu! Jika kau tetap memaksaku maka kau harus menghapus point nomor tiga dan nomor empat!”
Mateo mengembuskan napas kasar. Dia mulai jengah menghadapi wanita keras kepala di hadapannya itu. “Aku tidak akan menghapus apa pun isi perjanjian itu! Kau harus menuruti perkataanku, karena aku suamimu! Terakhir, di masa depan keluargaku akan menuntut aku memberikan keturunan. Kau suka atau tidak suka, kau harus siap jika waktunya kau harus mengandung!”
“Kau memiliki banyak uang! Jika kau membutuhkan keturunan, kau bayar saja wanita lain untuk mengandung anakmu! Aku tidak mau!” seru Miracle dengan tatapan menatap tajam pria di hadapannya itu. Dia tidak terima dengan perjanjian yang dibuat oleh Mateo. Mengandung? Membayangkan saja Miracle tidak menginginkannya.
Tanpa di duga, tiba-tiba Mateo mendorong tubuh Miracle, membenturkan wanita itu ke dinding. Miracle berontak, dia memukul dada bidang Mateo agar menjauh darinya. Namun, sayangnya tenaga Miracle hanya bagaikan kapas bagi Mateo. Pria tampan itu menghimpit tubuhnya pada tubuh Miracle, mengunci pergerakan wanita itu.
“Lepaskan aku, sialan!” Miarcle terus berusaha memberontak. Namun, semakin dia berontak, semakin, Mateo menekan tubuhnya.
Mateo menangkup kasar pipi Miracle. “Bisakah kau diam?” desisnya penuh dengan peringatan.
“Aku tidak akan pernah bisa diam jika kau tidak melepasku!” Miracle mengangkat wajahnya. Terlihat jelas kilat kemarahan di iris mata birunya.
Mateo menggeram kala Miracle terus berontak. Dia menarik dagu Miracle dan berbisik tajam, “Cepat tanda tangani perjanjian itu. Atau kau akan tahu akibatnya jika kau tidak menanda tanganinya. Kau mau atau tidak, aku tidak peduli. Karena kau harus mengikuti perkataanku!”
Bulir air mata Miracle kembali menetes membasahi pipinya. Rasanya dia ingin melarikan diri dari semua ini. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana mungkin pria itu membuat kesepakatan seperti itu? Ini benar-benar tidak adil baginya.
“Jika kau tidak pernah menginginkan pernikahan, lebih baik kita berpisah! Kau bisa mendapatkan wanita yang kau cintai! Menikah dengannya, begitupun dengan aku!” Mata Miracle yang memerah, menatap Mateo lekat. Suaranya kini sedikit melembut dari sebelumnya.
Miracle lebih baik memilih mengakhiri pernikahan ini. Dia tidak akan mungkin menanda tangani perjanjian itu. Membayangkan kehidupannya rumah tangganya setelah menda tangani perjanjian itu saja tidak sanggup dia pikirkan. Tidak, Miracle tidak sebodoh itu untuk hidup dalam penderitaan.
“Berpisah?” Mateo menyunggingkan senyuman sinis. Dia membelai air mata Miracle. Menghapusnya dan desis tajam, “Ketika kau mengantarkan dirimu, maka tidak ada kesempatan untuk mundur. Kita tidak akan pernah berpisah. Harusnya jika kau ingin melarikan diri, lakukan sebelum kita menikah.”
Mateo menjauhkan tubuhnya dari Miracle. Dia melepaskan cengkeramannya. Dengan raut wajah dingin dan sorot matanya yang menajam. “Cepat tanda tangani perjanjian itu!” ucapnya lagi dengan mendesak.
“Aku tidak mau! Aku tidak akan pernah menandatangani perjanjian sialan yang kau buat!” Miracle menolak dengan tegas.
Mateo menggeram. Dia langsung menangkup kasar pipi Miracle kembali. Kali ini dia melakukannya dengan begitu kasar, hingga membuat Miracle merintih kesakitan. “Jika kau tidak mau menandatangani perjanjian itu, artinya kau munafik! Kau sengaja menjadi pengganti saudara kembarmu karena kau memang menginginkan pernikahan ini,” bisiknya tajam, dan menusuk.
Wajah Miracle berubah. Kilat kemarahan diiris matanya tidak lagi bisa tertahan kala mendengar Mateo mengucapkan kata ‘Munafik’. Dia tersulut oleh emosinya yang hendak meledak. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Miracle langsung menyambar pena yang ada di sana dan menanda tangani perjanjian itu.
“Ambil ini! Jangan pernah kau coba merendahkanku!” Miracle melempar surat perjanjiannya di hadapan Mateo.
Mateo mengukir senyuman penuh kemenangan di wajahnya, dan mengambil perjanjian itu seraya berucap, “Kau telah menandatangani surat perjanjian ini. Artinya kau telah terikat dengan apa yang tertulis di sini.”
Mateo melangkahkan kakinya meninggalkan kamar pengantinya. Seketika Miracle langsung bersimpuh di lantai saat mendengar perkataan Mateo. Raut wajahnya tampak begitu pucat dan mata yang berkaca-kaca.
“Apa yang tadi aku lakukan? Kenapa aku menandatangani perjanjian itu?” Miracle meremas kuat rambutnya. Merutuki kebodohannya. Bulir air mata terus membasahi pipi mulusnya.
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te