Share

Kunjungan Kerja Ke Divisi Istri

Seorang pria dengan jas tanpa dasi. Entah mengapa rasanya ia malas memakai benda itu. Ada memori mengenai dasi yang sulit dilupakan, selalu muncul setiap pagi. Hingga membuat seorang Jonathan enggan mengenakannya. 

“Mungkin Anda harus cari istri lagi Tuan. Yang akan bantuin Tuan memasangkan dasi setiap pagi seperti saat Nyonya Karin masih hidup.” 

Jonathan baru masuk ke dalam mobil usai dari makam istri dan anaknya. “Aku nggak butuh nasehat! Kamu disini cuma jadi sopir dan bawahanku kan, nggak perlu kasih petuah. Urus saja diri kamu sendiri.”

Kenneth, yang bukan lain adalah fresh graduate dari universitas ternama negeri paman Sam. Bertugas menjadi sopir dan sekretaris pribadi Jonathan mulai hari ini. Ia banyak mendengar cerita tentang bosnya tersebut dari sang adik Jonathan.  Hatinya yang sedikit tergelitik melihat penampilan Jonathan yang minus menurut kacamata pribadinya, membuat ia berani menilai secara subjektif. Alhasil, ia malah dapat komentar penolakan.

“Iya Bos! Maaf!" Kenneth menatap dirinya yang penampilannya lebih pantas jadi Bos. Karena cara berpakaian yang lebih rapi dan eksklusif dengan setelan jas rapi juga kemeja putih. Batin Kenneth pun ingin berteriak. ‘Ya, semoga orang perusahaan tidak tertukar menilai kita nanti Bos! Karena aku cuma sopir dan bawahanmu!’ oceh Kenneth dalam benaknya. Ia pun mulai bersiap melakukan pekerjaan.

Sampai juga mobil hitam milik Jonathan di depan gerbang masuk PT. Internusa Sandira. Setelah Kenneth turun dan membukakan pintu mobil untuk Jo. Ia segera mengambil tas kerja sang bos yang ada di kursi belakang. Lalu berjalan tepat di samping Jonathan.

“Kamu hubungi pak Wahyu, tanyakan apa ruangan saya sudah siap!” ungkap Jonathan sambil berjalan masuk ke depan kantor. Lalu melihat jam mahal yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit.

“Baik Pak! Akan saya tanyakan sama resepsionis. Tapi, pak Jo, apa nggak mau masuk aja dulu!” Kenneth melihat Jonathan diam di tempatnya berdiri.

“Ehm … saya mau lihat-lihat dulu disini!” jawab Jonathan. Ia biarkan dirinya terkena sinar matahari pagi yang sudah sangat menyilaukan di depan kantor utama. 

Letak kantor utama yang memang agak sedikit ke dalam, berhadapan langsung dengan lapangan yang sering dilalui para staff dan tenaga keamanan. Juga ada sebuah lorong di bagian paling kiri. Disana adalah jalan masuk ke pabrik yang dilewati oleh para tenaga produksi khususnya wanita. Lorong tersebut memang khusus dibuat karena amat sangat dijaga kebersihannya. 

Jonathan menatap ujung lorong tersebut. Ia tiba-tiba ingat sosok perempuan yang memiliki postur tubuh mirip Karina, sang mendiang istrinya. Dalam sepersekian detik, Jonathan terjebak dalam ilusinya sendiri. Berhalusinasi kalau Karina mungkin saja muncul dari lorong tersebut. “Hah … mana mungkin. Dia kan udah meninggal. Yang ada aku bakal ketakutan kalau sampai ketemu dia beneran.” Dirinya coba menghirup udara lebih dalam dan menghembuskannya perlahan. Tidak lama setelah itu, ada panggilan menyebut namanya. 

“Iya, apa udah siap?” tanya Jonathan yang ternyata sudah ada Kenneth di belakangnya. Ia telah mengalihkan pandangan matanya dari ujung lorong masuk ke pabrik ke arah sang bawahan, juga sopir, sekaligus sekretaris pribadi di rumah juga di kantor.

“Sudah Pak, ada di lantai atas. Mari saya tunjukkan!” ucap Kenneth. Segera dirinya mempersilahkan Jonathan masuk lebih dulu.

Jonathan sudah melangkah menuju ruang kerjanya. Bersamaan itu, Karina juga baru datang. Ia kebetulan ditugaskan untuk masuk pukul delapan. Ada jatah piket akhir yang dijadwalkan untuknya usai menyelesaikan pekerjaan hari ini. 

Karena status Karina yang sudah menjadi karyawan produksi. Ia pun diharuskan untuk melewati lorong yang diperuntukkan untuk para karyawan proses. Lorong yang jauh dari polusi dan limbah pabrik. Namun, lorong itu memiliki rute berbelok melewati gedung kantor depan dan kantor utama. Setelah itu baru di bagian paling ujung, penampakan pabrik yang memiliki dua lantai terlihat. Karina sudah cukup kelelahan.

“Hah! Kenapa jalan masuk dari gerbang ke arah pabrik panjang banget sih! Belum apa-apa, kakiku udah mau patah rasanya. Gimana nanti kalau pas kerja.” Karina menggerutu. Padahal kemarin dirinya tidak melewati bagian ini saat masuk. Kecuali saat pulang, itupun rasanya cepat sekali dan tiba-tiba sudah berada di gerbang utama.

Dengan segenap hati dan tekad kalau hidup ini butuh uang. Karina harus mau kerja keras. Ia kembali mengumpulkan semangat dan kekuatan. Sudah sampai di depan gedung produksi. Ia pun lekas naik ke lantai atas bagian kantin untuk menyimpan bekalnya. Lalu segera turun ke lantai bawah dan bersiap masuk ke dalam proses produksi. Dimana ia diharuskan untuk mengenakan seragam lengkap dengan masker dan penutup wajah yang sesuai prosedur dan standarisasi perusahaan.

“Aku siap.”

***

Sebagai pendatang baru Karina cukup diperlakukan tidak adil. Hampir semua pekerjaan berat dilimpahkan pada dirinya oleh para senior.

Pontang-panting berkeliling ke area sekitar pabrik bagian produksi dalam, demi menuruti perintah anak buah dari kepala regu divisinya. Ia sudah mulai lelah dan juga lapar. Namun, jam istirahat masih sembilan puluh menit lagi. Saat berada di salah satu sudut yang sepi, Karina berusaha istirahat. 

Apesnya, dirinya justru dipergoki oleh kepala regu divisi yang lain. Diperhatikan identitas yang ada di baju Karina. “Kamu masih anak baru sudah berani mencuri waktu untuk istirahat. Sini kamu, biar saya laporkan ke kepala divisi kamu!”

Karina sontak bingung, ekspresinya yang merasa bersalah, hanya terpantau dari sepasang netra. Raut wajahnya yang menyesal sama sekali tidak terlihat karena tertutup masker dan kerudung yang seperti ninja. “Pak, saya minta maaf. Saya tadi belum sarapan, dan saya nggak tau kalau pekerjaan saya akan seberat ini.”

“Jelasin nanti! Sekarang ikut saya ketemu sama kepala divisi kamu! Tapi, sebelum itu, mana kartu identitas kamu. Saya mau sita!”

“Tapi Pak!” Karina bingung, namun dilepas saja kartu identitas yang bisa dipakai untuk masuk ke dalam proses itu dari bajunya. Ia pasrah, kecuali coba menyimpan satu harapan. Ia berharap masih akan diberi kesempatan memperbaiki kesalahan, semoga ia bisa memberikan penjelasan yang masuk akal dan bisa diterima. Hingga tidak akan ada keputusan fatal seperti dipecat misalnya.

Sementara itu, Jonathan juga manager produksi dan supervisor divisi Karina sedang mengadakan pertemuan. Tinggal menunggu kehadiran kepala divisi yang bukan lain adalah atasan Karina di ruang proses tersebut. 

Atasan Karina sudah mulai bergerak mendekati Jonathan yang hanya mengenakan masker, dan penutup rambut. Bagian lain masih terlihat jelas, seperti kening dan sepasang matanya, juga bagian pelipis, dan daun telinganya.

“Siang pak Jo, perkenalkan saya bu Riska, kepala divisi bagian ini.” Bu Riska menunduk sejenak, dan menatap Jonathan lagi. Dari sepasang matanya, bu Riska sepertinya sedang memberikan senyum.

“Oh! Saya pimpinan baru disini, baru sempat masuk ke ruang produksi hari ini. Karena kemarin saya berkeliling ke bagian kantor atas dulu!”

“Iya Pak, saya senang sekali dapat kunjungan dari pak Jo. Saya turut mengucapkan selamat datang di PT. Internusa Sandira.”

“Iya, terimakasih!”

Bersamaan dengan itu, Karina muncul dan langsung dibawa ke arah ketua divisinya berada. Ketua divisi yang sedang melakukan penyambutan kedatangan Jonathan. 

Tanpa Karina tahu, ia ahnya menuruti saja keinginan kepala divisi lain, yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia hanya bersedih dalam hati dan tidak berani menatap orang-orang yang ada di hadapannya saat ini. 

“Permisi Bu Riska, saya mau melaporkan ada karyawan ibu yang sudah melakukan pelanggaran!” sela kepala divisi yang membawa Karina. Ia langsung menunjukkan sosok Karina saat itu juga. 

Bu Riska seketika menghentikan obrolan. Ia merasa agak sedikit malu karena ada pelanggaran disaat seperti ini. Namun, menatap kepala divisi yang sedang membawa Karina. Ia jadi semakin menyimpan banyak amarah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status