Share

Merasakan Rasa Yang Sama

Keramaian dari kegiatan produksi makanan mentah masih berlangsung. Keributan kecil dari para karyawan, juga hiruk pikuk mesin conveyor yang sedang berfungsi. Menjadi irama pengiring obrolan Jonathan dengan para bawahannya.

Bu Riska sebagai kepala divisi pengolahan tahap ketiga sedang sibuk membicarakan kondisi ruang kerja pabrik yang penuh dengan kesibukan. Tidak ada satu orangpun yang terlihat sedang menganggur. Bahkan para pekerja lepas tidak ada yang diam meski sebenarnya masih tenaga baru. Hingga obrolan itu harus berhenti karena panggilan dari kepala divisi luar areanya. 

“Gimana bisa karyawan saya malah ketahuan melakukan pelanggaran. Dia ini kan masih baru? Apa dia disuruh sesuatu yang bukan bidangnya?” tanya Bu Riska, dengan sepasang mata membulat. 

Kepala divisi yang melaporkan Karina, panggil saja pak Abran, memang suka cari perhatian. Ditambah saat ini, ada sosok pemegang saham dan pemimpin tertinggi PT Internusa Sandira. Ia semakin ingin cari simpati seakan paling terakreditasi. Padahal profesional itu bukan tentang cari muka.

“Maafkan saya Bu! Saya lancang mencuri waktu untuk melepas lelah. Saya tidak tahu kalau pekerjaan saya akan sesulit ini. Sebenarnya saya sudah berjalan keliling tempat ini, dari mulai kirim sample ke bagian lain, kertas mutasi, membantu menyiapkan alat kerja. Juga mengecek sanitasi yang saya juga tidak tahu bagaimana standarnya! Dan ternyata itu semua melelahkan Bu! Saya minta maaf, saya sudah berusaha profesional. Tapi, kondisi tubuh saya butuh waktu dan penyesuaian, apalagi sarapan saya tadi tidak banyak. Jadi, saya sempat berhenti kerja, tapi tidak sampai satu menit Bu. Saya janji, saya tidak akan mengulanginya lagi!” jelas Karina. Ia menunjukkan sorot matanya yang memelas. 

“Memang karyawan divisi Anda, kualitasnya kurang Bu Riska! Sayang sekali, kalau saya jadi Anda sudah pasti akan saya pecat!” ucap pak Abran semakin mempersulit keadaan Karina. 

“Kenapa buru-buru memecatnya. Dia kan sudah memberikan penjelasan.” Tiba-tiba Jonathan ikut andil dalam perdebatan ini. Ia berjalan mendekat ke arah Karina berdiri, ada rasa penasaran dengan suara Karina barusan yang terdengar tidak asing. Tatapan matanya menatap tajam ke arah Karina yang bukan lain adalah istrinya. Ia pun berusaha mencari tahu.

Karina merasa aneh. Ia mencari sosok pria yang barusan bicara. Saat telah berada di hadapannya, dipindai dari bawah ke atas, dan pada akhirnya, ada dua pasang mata yang akhirnya saling bertatapan. Antara Karina dan Jonathan. Bertatapan mata cukup lama. Sampai akhirnya kedua manusia itu merasakan ada rasa yang lain, tapi tidak tahu itu apa. 

Kedua orang tersebut seketika merasa aneh. Ada debaran hati yang dirasakan masing-masing, dan sulit diartikan. Mengapa rasa itu malah muncul tanpa diduga di tempat yang mustahil untuk bisa bertemu dan merasakan perasaan yang demikian lama telah terkubur dalam angan.

Perasaan yang hanya dirasakan saat Jonathan dan Karina berdua. Seperti saat berpacaran dan bisa saling berpandangan mata di masa lalu. 

Karina mengalihkan wajah menyadari perasaannya mulai tidak terarah. Otaknya malah memutar lagi memori saat bisa bersama dengan sang suami, beberapa waktu lalu. ‘Ini nggak mungkin! Di pabrik begini, pabrik yang  jelas jauh banget dari kota tempat tinggal Jo,’ batin Karina. ‘Mana mungkin ada Jo disini!’ Hati Karina berkecamuk. 

‘Gadis ini, mengapa matanya mirip dengan Karin! Ah ….” Otak Jonathan malah mengingat peristiwa kecelakaan yang terjadi antara dirinya dengan Karina. Pendengarannya tiba-tiba dipenuhi teriakan Karina yang berusaha melindungi Azka. 

Rasanya menakutkan, ingin terlepas dari bencana tidak terduga itu. Seketika pusing menerjang kepala Jonathan. Ia pun terpaksa memejamkan mata sesaat. Tapi, ia tidak ingin terlihat lemah di depan para karyawan seperti sekarang.

“Pak Jo! Anda, kenapa?” tanya Pak Abran.

Bu Riska ikut cemas, juga supervisor yang ikut mendampingi.

Jonathan segera menormalkan tubuhnya. Ia menarik nafas panjang dan berusaha menatap lagi ke arah Karina. Tapi, gadis yang baginya masih asing itu, hanya menunduk, seperti tidak berani mengangkat wajah.

“Saya tidak apa-apa!” Lalu menatap ke arah Bu Riska yang juga terlihat ingin peduli padanya. “Bu, tolong urus karyawan baru Ibu ini ya. Jangan buru-buru dipecat. Mungkin saja dia memang belum bisa adaptasi. Beri tambahan briefing pagi saja. Kalau masih melakukan kesalahan, terserah ibu Riska kalau mau dipecat!”

‘Apa dipecat!’ kaget hati Karina. 

“Baik Pak, akan saya briefing langsung dia!” jawab Bu Riska dengan penuh wibawa. 

“Baik, kalau begitu saya melanjutkan ke bagian lain!”

Jonathan pun melangkah pergi. Perlahan Karina coba mengangkat wajahnya. Ia melihat punggung pria yang sebenarnya adalah Jonathan, ayahnya Azka, atau juga merupakan suaminya pergi dan mulai menghilang di antara kerumunan orang-orang yang lalu lalang silih berganti, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. 

Bu Riska masih melihat pak Abran di depannya. Ia pun segera merampas ID Card milik Karina. “Ini punya anak buah saya ‘kan?”

“Apa! Anda bisa kan meminta dulu? Kenapa langsung diambil id card itu?” Pak Abran merasa tidak terima.

“Anda sendiri, mengapa tidak bisa menunggu sampai saya selesai bicara dengan Pak Jonathan!” bela Bu Riska. “Anda terkesan menyela dan tidak sopan!”

Karina yang mendengar perdebatan itu, dan mendengar nama Jonathan. Ia merasa terguncang juga syok. Diremas sendiri kesepuluh jarinya menenangkan diri. ‘Tenang Karin! Di dunia ini kan, yang namanya Jonathan, nggak cuma suami kamu aja!’ batin Karina.

Sementara itu, Pak Abran masih menatap gusar pada Bu Riska. “Anda ini harusnya berterima kasih karena saya dengan baik hati memberitahu pelanggaran yang dilakukan karyawan magang Anda.”

“Hah! Banyak alasan!” timpal Bu Riksa. Ia lalu melihat ke arah id card milik Karina. “Kamu nanti temui saya di ruangan saya ya, pas istirahat. Saya tunggu! Saya akan briefing kamu sesuai permintaan pak Jonathan tadi!” ucapnya lagi sambil menatap ke arah Karina.

“Baik Bu!”

Bu Riska membawa id card Karina, dan berlalu pergi.

“Apa, dia langsung pergi ninggalin aku gitu aja!” oceh pak Abran kesal. Ia merasa tersinggung dan mungkin dianggap tidak ada.

Karina pun melakukan hal yang sama. “Kalau begitu saya permisi juga Pak!” 

“Hah, pergi sana! Awas aja kalau kamu ketahuan curi waktu buat istirahat lagi!” 

***

Jonathan sudah selesai berkeliling tempat produksi. Ia telah berhasil menjalin hubungan baik dan berkomunikasi dengan setiap kepala divisi dan juga petinggi produksi yang lain. Termasuk para manager, asistennya dan supervisor.

Berjalan menuju ruangannya di lantai atas. Ia mulai melepas masker dan topi standarisasi. Ya itu memang perlengkapan yang kudu dipakai saat masuk ke tempat produksi, agar kebersihan makanan olahan terjamin aman dan bersih dari benda terlarang, contoh saja rambut. 

Kenneth mulai menghampiri. “Pak, setelah ini akan diadakan rapat membahas produk baru yang akan diekspor ke Jepang. Berkasnya sudah saya siapkan di meja Pak Jo!” 

“Iya, akan saya cek!”

“Baik pak, kalau begitu saya permisi!”

“Eh tunggu Kenneth!”

“Iya Pak!”

“Tolong, kamu minta HRD, daftar laporan nama karyawan magang di pabrik kita!”

“Apa, buat apa ya Pak, itukan tugas HRD dan kepala bagian untuk kroscek. Apa pak Jo juga mau cek satu-satu! Saya rasa pak Jo tidak sesenggang itu!”

‘Kenapa dia banyak bicara sih!’ batin Jo kesal. ‘Dia pasti akan laporan sama mama kalau aku melakukan hal aneh di pabrik ini.’ Kembali batin Jo memikirkan keadaannya. “Oh gitu ya, aku kadang lupa sama job disk sendiri. Ya udah kamu pergi aja sekarang!” ucap Jonathan.

“Ketus banget!” gumam Kenneth tanpa didengar oleh Jo. Kenneth pun coba melempar senyum. “Kalau begitu permisi Pak, silahkan bekerja!” ucap Kenneth lalu pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status