Seorang pria dengan jas tanpa dasi. Entah mengapa rasanya ia malas memakai benda itu. Ada memori mengenai dasi yang sulit dilupakan, selalu muncul setiap pagi. Hingga membuat seorang Jonathan enggan mengenakannya. “Mungkin Anda harus cari istri lagi Tuan. Yang akan bantuin Tuan memasangkan dasi setiap pagi seperti saat Nyonya Karin masih hidup.” Jonathan baru masuk ke dalam mobil usai dari makam istri dan anaknya. “Aku nggak butuh nasehat! Kamu disini cuma jadi sopir dan bawahanku kan, nggak perlu kasih petuah. Urus saja diri kamu sendiri.” Kenneth, yang bukan lain adalah fresh graduate dari universitas ternama negeri paman Sam. Bertugas menjadi sopir dan sekretaris pribadi Jonathan mulai hari ini. Ia banyak mendengar cerita tentang bosnya tersebut dari sang adik Jonathan. Hatinya yang sedikit tergelitik melihat penampilan Jonathan yang minus menurut kacamata pribadinya, membuat ia berani menilai secara subjektif. Alhasil, ia malah dapat komentar penolakan. “Iya Bos! Maaf!" Kenn
Keramaian dari kegiatan produksi makanan mentah masih berlangsung. Keributan kecil dari para karyawan, juga hiruk pikuk mesin conveyor yang sedang berfungsi. Menjadi irama pengiring obrolan Jonathan dengan para bawahannya. Bu Riska sebagai kepala divisi pengolahan tahap ketiga sedang sibuk membicarakan kondisi ruang kerja pabrik yang penuh dengan kesibukan. Tidak ada satu orangpun yang terlihat sedang menganggur. Bahkan para pekerja lepas tidak ada yang diam meski sebenarnya masih tenaga baru. Hingga obrolan itu harus berhenti karena panggilan dari kepala divisi luar areanya. “Gimana bisa karyawan saya malah ketahuan melakukan pelanggaran. Dia ini kan masih baru? Apa dia disuruh sesuatu yang bukan bidangnya?” tanya Bu Riska, dengan sepasang mata membulat. Kepala divisi yang melaporkan Karina, panggil saja pak Abran, memang suka cari perhatian. Ditambah saat ini, ada sosok pemegang saham dan pemimpin tertinggi PT Internusa Sandira. Ia semakin ingin cari simpati seakan paling terakr
Karena setiap manusia yang terlahir di dunia ini sudah membawa takdir masing-masing. Percayalah, kalau semua sudah diatur apik oleh skenario Tuhan dengan seribu satu rahasia di dalamnya.***Kelelahan yang dirasakan oleh Karina harus segera disingkirkan. Kedua lutut yang terasa lemas di setiap persendian tidak bisa membuat tubuhnya untuk duduk sejenak. Tetap ada hal yang harus segera dilakukan.Saat ini adalah jam istirahat. Karina berjalan menuju ruang ganti yang memiliki banyak lemari loker berukuran persegi. Difungsikan untuk menyimpan uang, dan ponsel, juga baju ganti yang dipakai untuk pulang.Tapi, Karina hanya perlu mengambil uang juga ponsel. Lalu berencana membeli sebungkus makanan juga minuman di kantin atas.Akan tetapi, itu pun kalau waktu mencukupi, sebab. Setelah ini, dirinya harus menemui Bu Riska di ruangannya.Berjalan dengan banyak kemelut hati dan pertengkaran pendapat gara-gara memikirkan nama Jo yang didengarnya tadi. Untung, dirinya tidak sampai jatuh terpeleset
Mata ini terasa begitu sulit berkedip. Ingin terbuka saja tapi semilir angin kencang dari depan halaman yang mulai petang, menabrak membawa debu. Akhirnya sepasang netra Karina berkedip menahan perih dan kembali meyakinkan hatinya, kalau semua yang terjadi padanya saat ini bukan mimpi. Ini nyata.Berjalan dengan daya yang sudah tidak penuh. Separuh lebih tenaganya terkuras untuk bekerja juga karena menahan diri agar tetap sadar. Ia begitu terkejut, karena pada akhirnya bisa mengetahui foto pak Jonathan dari teman kerjanya.‘Kenapa dunia ini sempit banget!’ batin Karina sambil terus berjalan menuju parkiran motor.Ia berharap setiap langkah yang diambil, tidak akan mendekat ke arah sang suami. Akan tetapi, takdir memang ingin bermain pada kehidupan yang sulit diprediksi. Karina bingung menilai kehidupan yang maunya seperti apa. Di satu sisi dirinya bahagia. Karena kalau dipikir, ternyata semesta masih ingin dirinya bertemu dengan Jo. Mungkin itu yang namanya jodoh, karena sejauh apapu
“Karin! Pendek sekali rambut kamu Nak? Kamu nggak papa potong rambut jadi segitu pendek?” tanya Bu Riya yang terkejut saat melihat putrinya yang sudah pulang dari salon dekat rumah mereka. Mendengar neneknya berisik di depan teras. Azka yang tadinya sedang mewarnai, dan sesaat sempat mendengar bunyi motor ibunya, sontak bangun dan bergerak ke arah teras. Ia kaget sampai matanya membulat sempurna tidak berkedip melihat penampilan baru ibunya. “Lho, rambut ibu kemana?”“Rambut ibu dipotong Sayang!” ucap Karina sambil menatap wajah putranya yang terlihat muram. “Dipotong! Kenapa?” tanya Azka, tampaknya pria kecil tersebut terlihat kecewa. Ia sedih melihat penampilan baru ibunya siang ini.“Ehm ….” Kirana sedang mencari penjelasan tepat, rasanya sampai harus berhenti bernafas. Ia yang sudah turun dari motor, kemudian bergerak perlahan mendekati Azka.“Nak, ibu harus potong rambut, biar ibu bisa menghemat pemakaian shampo di rumah kita! Ibu rasa sejak rambut Ibu panjang, shampo di rumah
Karina hanya bisa berharap kalau dirinya akan aman sepanjang perjalanan. Sebenarnya hanya perjalanan singkat untuk minta tanda tangan pada atasan. Tapi, rumitnya jalan yang dilalui. Membuat ia merasa waktu seperti enggan melaju. Hatinya berdebar dan was-was. Berharap tidak akan bertemu dengan Jonathan. Hingga dirinya melangkah sambil menundukkan wajah. Lalu menutupi dengan map yang dibawa dari ruang proses Kebetulan, suasana kantor sedang ramai sekali. Setiap meja terlihat digunakan pemiliknya dan staff juga terlihat sibuk. Tangan dan mata saling sinkron melakukan pekerjaan. Karina berpikir mereka begitu hebat. Mungkin dirinya kalau mau ada di ruangan ber-AC sejuk ini, harus bisa seperti mereka. Bekerja dengan hebat.Tapi untuk apa, memang disini sangat nyaman karena ruangannya berAc, ditambah tempatnya sangat nyaman. Berbeda dengan ruang proses yang penuh dengan alat produksi juga suara mesin yang berisik.'Mikir apa aku, kalau kerja di bagian ini. jelas bakal ketemu Jo setiap ha
Kedua tangan Jonathan membuat sebuah tumpuan untuk dagunya. Ia terlihat sedang berpikir keras. hatinya berdebar begitu dahsyat mengingat nama yang disebut oleh Bu Riska tadi. “Karin, Karina Andini. Ini nggak mungkin. Bagaimana bisa, ada nama yang sama persis dengan nama mendiang istriku. Mustahil, mustahil. Tapi …!” Jonathan mengingat lagi penggalan memori yang sempat terjadi antara dirinya dengan wanita yang dicurigai sebagai Karina itu. Ia ingat ada hal yang sangat menarik. Mulai dari perasaannya yang bilang wanita itu mirip istrinya. Juga tentang penampakan yang memang karakternya sangat mengingatkan pada Karina. Namun, tetap saja mustahil kalau itu adalah Karina. Karena Karina yang dikenalnya sebagai istri sudah berada di dalam gundukan tanah dan berharap dia bisa tenang di alam sana. “Mungkin aku terlalu rindu kamu Karin. Aku kangen banget sama kamu. Kangen juga sama Azka. Kenapa sih kalian berdua ninggalin aku gitu aja. Azka, ayah kangen kamu Sayang!” Jonathan menunduk menat
Jonathan sedang berkeliling di area produksi. Kebetulan harus menemui Bu Riska terlebih dahulu untuk membahas bahan mentah, dan juga ingin melihat sosok bernama Karina Andini yang sudah diketahui kalau dia adalah karyawan di divisi tiga, tempat dirinya berada saat ini.Masih berjalan dan memantau semuanya. Ia juga sedang mencari sosok Karina, dan ketemu, wanita tersebut sedang duduk di kursi administrasi.Jonathan berjalan mendekat, ia berniat meminta Karina untuk mencarikan bu Riska. Namun, setelah melihat Karina menerima telepon dan berniat mengatakan niatnya tadi. Karina bangun dan terlihat sempoyongan. Spontan Jonathan menangkapanya sebelum Karina benar-benar jatuh ke lantai yang dingin dan lembab.“Karin!’ batin Jonathan memanggil. Ia menangkapnya dan berhasil.Karina sudah berada dalam pelukannya. Ia menatap sepasang mata yang tampak menyorot lemah dengan kelopak matanya seperti akan tertutup. “Hey, apa yang terjadi?” tanya Jonathan.Karina masih setengah sadar dan merasa begi