Share

Bab 3 . Penghargaan

Para perawat berdiri di samping, membiarkan beberapa dokter langsung turun tangan, memeriksa pasien istimewa itu. 

"Lakukan pengecekan seluruh tubuh! Termasuk, tes kehamilan," ujar Leo santai. 

Para dokter membeku sejenak, lalu melakukan perintah Leonel Kim. Pihak lain yang mendengar perintah itu langsung berlari, ya berlari. Melaporkan kepada pihak yang lebih tinggi. 

Leonel menarik kursi dan duduk di samping ranjang, mengeluarkan ponsel dan mulai memeriksa surel, dengan seulas senyum di wajahnya. Sebentar lagi, ya sebentar lagi pria tua itu pasti akan segera tiba. 

Di sudut kota yang lain, Bugatti hitam membelah jalanan kota dengan kawalan mobil kepolisian, lengkap dengan sirene yang menyala, meraung-raung. Ya, ini menyalahi aturan, tetapi untuk kali pertama Tuan Lucas Kim melakukannya. Setelah mendapatkan panggilan dari rumah sakit, yang menyampaikan bahwa putra bungsunya membawa seorang wanita halim ke sana. Jelas putra bungsunya ingin dirinya tahu, maka terjadilah hal ini. 

Iring-iringan membuat semua kendaraan di jalan raya, menyingkir. Mobil mewah itu melesat begitu kencang, sebab itulah perintah Tuan Besar Kim, mengabaikan puluhan surat tilang yang akan segera diterima. 

Kembali ke rumah sakit. 

Jenna Ren masih belum sadar, tetapi warna wajahnya sudah lebih baik. 

"Ehem, Tuan Muda Kim."

Seorang dokter senior menghampiri Leonel yang duduk, sambil menyilangkan kaki panjangnya. 

"Katakan," perintah Leo, tanpa mengalihkan tatapan dari ponsel pintarnya. 

"Ehm, Nona pingsan karena anemia pasca kehamilannya," jelas sang dokter perlahan. 

Leo mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Jenna yang terbaring di ranjang rumah sakit. 

"Usia kandungan?" tanya Leo datar. 

"Empat minggu. Jika Tuan Muda tidak keberatan, kami akan melakukan pemeriksaan ultrasound, guna memastikan kesehatan janin," anjur dokter senior itu. 

Leo langsung berdiri dari duduknya dan menunduk, menatap dokter paruh baya yang hanya setinggi dadanya. 

"Buka kamar VVIP, berikan semua pelayanan kesehatan terbaik milik rumah sakit ini!" perintah Leo tegas. 

"B-Baik, Tuan Muda."

Lalu, sang dokter berlari untuk mengabarkan soal pemindahan pasien ke lantai VVIP. 

Leo berjalan dan berhenti tepat di samping ranjang. Menatap sekretaris bodohnya itu. Bodoh, tetapi itu menguntungkan dirinya. 

Tidak lama, para perawat datang dan memindahkan pasien ke salah satu kamar rawat paling mewah, milik rumah sakit ini. 

Leonel Kim turut serta, memastikan Jenna diperlakukan dengan baik. 

Tidak lama, pintu ruangan ini didorong hingga terbuka lebar dan Tuan Besar Kim yang duduk di atas kursi roda, didorong ke dalam. 

BRAKKK! 

Tongkat kayu yang selalu berada di dalam genggaman Tuan Besar Kim, dihantam kuat ke lantai. Beruntung, lantai tidak retak. 

Dokter dan perawat menunduk dan buru-buru meninggalkan kamar rawat ini. 

Sekretaris Tuan Besar Kim, pria berusia sekitar 40 tahun, mendorong kursi roda semakin mendekati Leonel Kim yang sudah bersiap menghadapi emosi ayahnya itu. 

"Jenna?" gumam Tuan Besar Kim, cukup terkejut saat menatap wanita pucat yang terbaring tidak sadarkan diri. 

"Kau bajingan! Begitu banyak wanita yang kamu temui, malah wanita baik itu yang kamu hamili!" raung Tuan Besar Kim marah besar. Lima tahun Jenna Ren menjadi sekretaris putranya, tentu ia pernah bertemu beberapa kali dengan wanita polos itu.

Kali pertama bertemu dengan Jenna Ren, Tuan Besar Kim tahu wanita itu adalah pekerja keras. Wanita itu menekan semua harga dirinya, agar mampu melayani putranya itu. 

"Aku juga tidak menyangka!" seru Leo membela diri. 

BRAKKK!

Tongkat kembali dihentakkan ke lantai dengan penuh emosi, oleh Tuan Besar Kim. 

"Tidak menyangka? Kau menidurinya dan hanya itu alasan yang keluar dari mulutmu?"

"Ayolah, Ayah! Ayah selalu memintaku segera menikah dan memberikan cucu! Saat ini aku memberikan cucu kepada Ayah, bukankah seharusnya Ayah merasa senang?"

"APA?" raung Tuan Besar Kim. 

"Aku akan menikahinya," ujar Leo yakin.

"Kamu mencintainya?" tanya Tuan Besar Kim sambil berusaha menenangkan emosinya. 

"Cinta? Yang pasti, Jenna adalah calon istri yang tepat. Dia memahami diriku, bahkan mungkin melebihi diriku sendiri. Yang penting, Jenna akan memahami dan mengerti diriku, serta akan melahirkan anakku!" jawab Leo yakin. 

BUKKK!

Kali ini tongkat Tuan Besar Kim melayang di lengan kokoh Leo dan membuat putra bungsunya itu meringis, menahan sakit. 

"Kamu harus bertanggung jawab karena menghamilinya dan yang terpenting, kamu juga harus memahami dan mencintainya!" tegas Tuan Besar Kim yang berusaha menasehati putranya itu. 

Lalu, sang Sekretaris mendorong kursi roda dan mereka meninggalkan ruang rawat ini. 

Leo mengelus lengannya yang terkena hantaman tongkat, ayahnya itu. Kembali menghampiri ranjang dan menatap, Jenna Ren. 

"Kita akan menikah," ujar Leo. Ya, dirinya tidak keberatan menikah dengan wanita itu. Seulas senyum terpatri di wajah tampannya, apakah ia mencintai Jenna? Tidak, hanya sedikit menyukainya. Apalagi, wanita itu hanya bercinta dengan dirinya seorang, jadi itu patut dihargai. Lagipula, di mana lagi dapat menemukan wanita polos dan penurut seperti ini? Setelah menikah, Leo yakin kehidupannya tidak akan berubah banyak. 

***

Jenna membuka matanya perlahan, dari aroma yang memenuhi indera penciumannya, ia tahu tempat ini adalah rumah sakit. 

"Anda sudah sadar?" tanya seorang perawat yang selalu berjaga di sisinya. 

Jenna berusaha untuk duduk dan dibantu oleh perawat itu. Seketika kesadaran Jenna pulih sepenuhnya, saat melihat ruangan kamar yang begitu mewah. Hal pertama yang terpikirkan adalah dirinya tidak akan mampu membayar tagihan. 

"Ehem, aku sudah tidak apa-apa, bisakah aku pulang sekarang?" tanya Jenna buru-buru. 

"Memang tidak ada masalah serius dengan kesehatan Anda. Anda pingsan karena anemia pasca kehamilan, setelah beberapa macam vitamin dicampurkan ke dalam cairan infus, harusnya tubuh Anda baik-baik saja, begitu juga dengan janin Anda," jelas sang perawat apa adanya. 

Jenna langsung menurunkan kakinya dan berkata, "Tolong lepaskan jarum infus ini, aku ingin segera pulang."

Jenna masih merahasiakan kehamilannya ini dan tidak berencana membiarkan Leonel Kim tahu. Sebab, reaksi buruk yang pasti akan didapatnya. 

"Tentu, Anda dapat pulang. Namun, lebih baik kita tunggu wali Anda tiba lebih dahulu," jelas sang perawat dan menaikkan kaki Jenna kembali ke atas ranjang. 

"Wali?" Jenna bingung, siapa yang akan datang menjadi walinya? Keluarganya tinggal neneknya saja. Masalahnya sang nenek yang bisu dan tuli, berada di panti jompo termahal di kota ini. Ya, Jenna bekerja keras agar dapat membayar iuran panti itu setiap tahunnya. 

"Ah, beliau sudah tiba," ujar sang perawat sambil tersenyum lebar, sebelum keluar dari kamar rawat. 

Wajah Jenna kembali memucat dan takut, saat melihat siapa yang melangkah masuk. 

"T-Tuan...."

"Sudah lebih baik?" tanya Leo dan berdiri di sisi ranjang menatap Jenna dengan tatapan yang tidak dapat terbaca. 

Mengangguk, ya Jenna hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu. 

"Mengapa tidak bilang bahwa kamu hamil?" tanya Leo langsung. 

Mulut Jenna terbuka dan tertutup, tetapi tidak ada kata-kata yang meluncur keluar. 

"Ehem, aku... Aku tidak akan menggugurkannya!" ujar Jenna dan tanpa sadar langsung menyentuh perutnya. 

Ha ha ha! 

Leonel tertawa kecil dan menatap geli ke arah Jenna Ren. 

"Tidak! Tentu itu tidak boleh terjadi! Karena, kita akan menikah!" ujar Leonel. 

Jenna mengerjapkan matanya beberapa kali dan tangannya berusaha menemukan kacamata yang tergeletak di meja sisi ranjang itu. Kemudian, mengenakannya, menatap lawan bicaranya itu. Memastikan apakah sosok itu benar-benar adalah Leonel Kim. 

Menelan ludah, Jenna bertanya, "Apakah ini lelucon?"

"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?"

"T-Tapi, mengapa?"

"Sebab kamu hamil anakku dan anggap ini sebagai penghargaan, atas menjadikan diriku yang pertama!"

Jenna terdiam dan membeku untuk sesaat. Ia cukup terkejut dan kecewa. Lucu! Sebab di dalam lubuk hatinya, Jenna berharap pria itu menyatakan cinta atau sesuatu seperti itu. Namun, itu tidaklah mungkin. Alasan yang tepat adalah karena kebodohannya yang hamil dari hubungan satu malam. 

"Besok, setelah keluar dari rumah sakit, mari kita temui orang tuamu. Malam ini, istirahatlah!" ujar Leonel sebelum keluar dari kamar rawat VVIP. 

Meninggalkan Jenna yang belum yakin apakah ini kenyataan atau mimpi bodohnya. 

Malam itu, Leo kembali berkumpul dengan para sahabatnya dan menghabiskan malam di klub ternama kota, berpesta. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status