Indra berkata tenang, “Sudah jam makan, ayo kita makan.”Puspa langsung nolak, “Aku nggak lapar.”Duduk semeja dengannya, rasanya Puspa nggak bisa telan sesuap pun.Namun Indra selalu hanya peduli pada keinginannya sendiri. “Aku lapar.”Belum sempat ia nolak lagi, Puspa sudah ditarik masuk ke dalam mobil, sama sekali nggak diberi kesempatan untuk berkata nggak....Di restoran.Indra buka menu dan bertanya, “Mau yang ini?”Puspa menjawab dingin, “Nggak.”“Kalau ini?”“Nggak mau.”“Yang ini hidangan Istimewa mereka.”Seperti biasa, Puspa sengaja melawan, “Nggak suka.”Indra tetap santai, seakan nggak terganggu sedikit pun. “Kamu tahu apa hal yang paling disukai pria?”Puspa menatapnya tanpa bicara.“Menaklukkan.”Puspa tercekat.Gimana bisa ia dulu nggak sadar betapa rendahnya pria ini?Indra dengan gamblang berkata, “Provokasimu nggak ada gunanya buat aku.”Puspa hanya bisa mendidih dalam hati, marah pada kelemahan dirinya sendiri, karena selalu dibuat nggak berdaya oleh Indra.Semua h
aLisa berkata, “Kak, aku nggak mau dia jadi kakak iparku, gantiin saja dengan yang lain.”Puspa ikut bersuara, “Cerai saja, aku juga nggak mau jadi sumber perselisihan dalam keluarga kalian.”“Cukup! Kalian berdua, diam!”Wajah Indra mendung. Aura tekanan yang ia lepaskan buat Lisa langsung terdiam.Puspa menyimpan kekecewaan, betapa pengecutnya Lisa.“Aku nggak nyerang Hana, itu juga karena hormati ibu. Soal pesta, biarlah itu berlalu. Nanti jangan diungkit lagi. Lisa, Puspa itu kakak iparmu, hormati dia jangan bersikap seenaknya.” Indra berusaha menasihati.“Kak.” Wajah Lisa penuh dendam.Indra menatap dalam, suaranya rendah. “Kamu nggak mau dengar kata-kataku?”Lisa menggigit bibir, menendang kecil, dan melotot ke arah Puspa. “Jangan sok menang!”Indra biasanya lunak pada adiknya, aneh bila kali ini ia nggak nurut.Di pesta penyambutan itu, jelas Lisa nggak ingin Puspa hadir, begitu pula sebaliknya Puspa nggak ingin makan di meja yang penuh kebekuan. Ia memutar badan dan pergi begit
Suasana di dalam rumah seketika membeku.Bagi Puspa, sama sekali nggak mengejutkan Lisa akan cari-cari kesalahan. Tempat rehabilitasi hanya ajarin dia berhenti dari narkoba, bukan ajarin dia jadi manusia. Rasa merendahkan yang sudah mendarah daging dalam dirinya nggak akan hilang begitu saja.Baru saja pulang, adik iparnya sudah tahu soal “aib” dirinya. Puspa nggak perlu tebak siapa yang sebarkan itu, tentu saja, ibu mertuanya yang “baik hati”.Wajah Indra mengeras. “Kamu bicara apa? Jangan bicara sembarangan!”Endah langsung menyambar pembicaraan, “Lisa nggak salah bicara, kenapa kamu malah bentak dia?”Indra mengernyit. “Ibu.”Ekspresi Endah juga dingin. “Selama ini aku masih tahan diri demi dirimu, nggak cari gara-gara dengan Puspa. Tapi bukan berarti aku nggak punya pendapat tentang apa yang terjadi di perjamuan itu!”Ucapannya berhenti, lalu tatapannya menusuk ke arah Puspa. “Ucapan Bibi Ida memang benar, kamu sudah permalukan seluruh Keluarga Wijaya!”Ia yang seumur hidup begitu
Nenek Yanti mengelus lembut kepala Puspa. “Capek, ya?”Puspa seperti seekor anak kucing, menggesekkan wajahnya di bahu nenek. “Nenek, apa kamu pernah merasa nggak berdaya?”“Hidup ini, kebanyakan orang justru selalu berada dalam keadaan nggak berdaya."Telapak tangan nenek yang kering tapi hangat menepuk pelan punggung tangannya.“Namun selama kita mau belajar lepaskan itu, sesulit apa pun sebuah masalah, ia akan jadi kecil. Jangan kasih dirimu beban terlalu besar. Hidup ini singkat, Nak. Belajar untuk lepaskan, juga belajar mengasihi dirimu sendiri.”Puspa memejamkan mata, biarkan kata-kata itu meresap, tenangkan semua energi kelam di dalam dirinya.“Aku ingat, waktu SMA kamu pernah bilang ingin pergi ke luar negeri, melihat dunia. Puspa, pergi saja,” lanjut Nenek Yanti,Bulu matanya bergetar, kelopak mata tertutup rapat menahan rasa perih di hati. Pelukan di sekeliling nenek pun mengencang sedikit.“Nggak, aku nggak mau. Aku nggak rela tinggalkan nenek.”Mata keruh Nenek Yanti dipenu
Tubuh Wulan menegang, wajahnya seketika memucat, matanya memerah dengan luka yang nggak bisa disembunyikan.“Kak Indra…”Indra keluarkan sebatang rokok, menyalakannya, menghisap dalam-dalam lalu hembuskan asap. “Kasih HP-mu ke aku.”Wulan nggak paham maksudnya, tapi tetap patuh serahkan itu.Indra ambil HP itu. “Mulai sekarang, kamu akan tinggal di pulau ini untuk istirahat. Jika ada urusan, aku akan menghubungi Bu Aisyah.”Bu Aisyah adalah pengasuh yang Indra sediakan khusus untuk Wulan.Dengar itu, mata Wulan dipenuhi ketidakpercayaan. “Kak Indra, kamu ingin kurung aku di sini? Bukannya kamu bilang, setelah beberapa waktu kamu akan jemput aku pulang?”Indra jawab dengan tenang, “Dengan keadaan emosimu sekarang, kamu nggak pantas berada di luar.”“Aku nggak mau!” Wulan menolak keras. Ia mencengkeram lengan Indra, menangis memohon.“Kak Indra, jangan biarkan aku tinggal di sini sendirian. Aku bisa pergi minta maaf ke Puspa, aku akan berusaha dapatkan pengampunannya. Aku tahu aku salah.
Perutnya yang kosong buat Puspa tersungkur di lantai, ia duduk jongkok, memeluk lutut, wajahnya pucat seperti kertas, dan air mata mengalir nggak tertahan dari kelopak mata.Setelah tinggalkan Puspa, Indra perintahkan Cakra atur pesawat pribadi.Cakra tahu betul apa tujuan bosnya, jemput Wulan.Begitu aib Puspa tersebar, Wulan segera mengetahuinya, ia langsung buka sebotol sampanye untuk rayakan, menunggu dengan gembira saat Puspa akan dipermalukan.Dengar Indra datang, Wulan menyambutnya dengan suka cita.“Kak Indra…”Namun sebelum tangannya sempat sentuh bajunya, Indra berpaling, menghindar dengan satu langkah.Senyum Wulan kaku seketika. “Kak Indra, kamu kenapa?”Indra nggak berhenti melangkah, ia masuk ke dalam rumah, dan Wulan ikuti di belakangnya.Para pelayan di rumah menyambut kedatangannya, tetapi dengan satu kali lambaian tangan, Indra suruh mereka menyingkir.Ia duduk di sofa, menatap Wulan tanpa ekspresi, tatapan itu membuat Wulan merinding. Dengan suara gemetar ia bertanya