Minggu pagi langit terlihat begitu cerah, secerah wajah Bian yang berdiri di samping mobil dengan tas kecil di punggungnya. Dia memainkan tanah dengan sepatunya. Sesekali matanya melirik ke arah pintu panti untuk menyambut Era.
"Pa, Kak Era lama. Panggil aja ya?"
"Sebentar lagi Kak Era keluar. Sabar ya." Aksa mengelus rambut Bian pelan.
Bian mengangguk dan kembali berlarian sambil bermain tanah. Aksa sendiri memilih bersandar di mobil dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. Dia sudah menghubungi Era sebelum berangkat, tapi sepertinya gadis itu belum siap. Sesuai janjinya, setelah Bian sembuh, Aksa berniat untuk mengajaknya jalan-jalan, bersama Era tentu saja. Kali ini Aksa tampak santai dengan kaos berkerah dan celana selutut. Terlihat nyaman karena akhirnya dia bisa terbebas dari setelan kemeja dan dasi yang selalu mencekik lehernya.
Aksa tersenyum saat Era keluar dengan tas yang terlihat berat di tangannya. Sama seperti Bian, wajah ga
Pemandangan pantai yang indah membuat Era tersenyum tipis. Hatinya terasa campur aduk sekarang. Dia senang bisa melihat pantai, tapi juga sedih karena harus teringat akan ibunya. Seharusnya Era tidak boleh larut dalam kesedihan, tapi ia tidak bisa menahannya.Dia merindukan ibunya.Air laut yang menyentuh kakinya membuat Era bergerak mundur. Dia sibuk melamun sampai akhirnya berakhir di tepi pantai, meninggalkan Aksa dan Bian yang sedang berada di restoranseafood."Semoga Ibuk bahagia di atas sana," ucap Era dengan tersenyum.Tepukan pelan di bahunya membuat Era tersadar. Dia menoleh dan melihat Ezra sudah berada di belakangnya. Tubuh yang basah seolah membuktikan jika pria itu baru saja berenang di pantai."Lo di sini?" tanya Ezra sambil mengusap wajahnya yang basah."Kok lo ada di sini?" Era kembali bertanya."Liburan sama keluarga." Ezra menunjuk gazebo tempat di mana keluarganya berlindung dari panasnya mataha
Perasaan bisa mengalahkan logika. Itu yang Aksa rasakan sekarang. Bergelut dengan pikirannya sendiri membuatnya lelah. Kepalanya sudah pusing karena memikirkan pekerjaan, jangan ditambah lagi dengan cinta. Dia sudah tidak bisa lagi untuk mengedepankan cinta. Namun takdir seolah memainkannya. Era berhasil membuatnya terusik. Selama beberapa hari terakhir ini Aksa berusaha mati-matian untuk mengeluarkan nama Era dari kepalanya. Dia berusaha menyangkal semuanya dengan logika jika ia dan Era tidak akan mungkin bersama. Aksa mencoba untuk berpikir realistis. Dia pikir setelah berusaha, nama Era akan lenyap dari pikirannya, tapi ternyata tidak. Melihat Era bersama Ezra membuatnya terusik. Rasa cemburu membuatnya lupa akan usia. Aksa sudah mengumpati dirinya sendiri tapi tetap saja, dia tidak bisa menahannya.Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengambil langkah dengan logika atau perasaan?"Ngelamunin apa, Sa?" tanya Bu Ratna sambil meletakkan sarapan di meja makan.
Malam akan tiba. Era sudah selesai mandi dengan pakaian Bu Ratna yang ia pinjam. Entah sudah berapa banyak baju yang ia pakai selama di sini. Mungkin Era harus memindahkan beberapa bajunya ke rumah ini."Sini, Bian. Duduk dulu." Bu Ratna berusaha untuk menggapai cucunya. Seperti tidak kenal lelah, Bian kembali berlarian dengan hanya menggunakan celana dalam.Bu Ratna berdecak dengan bedak tabur di tangannya, "Bian!" panggilnya kesal."Nggak mau pake bedak, Nek." Bian menggeleng cepat."Biar ganteng, Bian.""Nggak mau! Nanti diejek temen," ucapnya mulai keluar dari kamar."Gusti, remuk punggungku." Bu Ratna memegangi punggungnya yang mulai sakit."Sini, Buk. Biar aku yang urus." Era dengan cekatan mengambil pakaian Bian dan bedak dari tangan Bu Ratna."Makasih ya, Ra. Anak itu cuma mau nurut kalau sama kamu."Era terkekeh, "Kan aku pawangnya."Ruang tengah menjadi tujuan Era. Dari kejauhan dia bisa mendengar
Suara jari telunjuk yang beradu dengan meja makan menemani Aksa yang asik melamun. Setelah kepergian Era, entah kenapa hatinya mendadak tidak tenang. Dia merasa bodoh karena hanya dirinya sendiri yang merasakan hal ini. Bian masih duduk di sampingnya dengan ponsel yang memutar video kartun. Anak itu masih belum kenyang dan berniat menghabiskan satu ekor ikan, sedangkan ibunya duduk di depannya sambil mengupas buah."Buah masih banyak tapi Era nggak mau bawa," gumam Bu Ratna.Aksa masih melamun dengan tatapan kosong. Alisnya saling bertaut menandakan jika dia sedang memikirkan sesuatu sekarang.Perlahan Aksa mulai melirik Bian, "Bian mau ke panti nggak?" tanya Aksa tiba-tiba.Bian menatap ayahnya bingung, "Ngapain, Pa?""Main sama temen-temennya Kak Era.""Nggak. Besok Bian sekolah, nanti kecapekan nangis," ucap Bu Ratna menolak keras."Sekali-kali, Ma." Aksa menatap ibunya tenang, lebih tepatnya mencoba untuk tenang."Ngg
Usia 17 tahun adalah usia di mana manusia harus bisa mengambil keputusannya sendiri. Namun itu tidak berlaku untuk Aksa. Pemuda itu masih diam dengan rahang yang mengeras. Telinganya masih aktif mendengar ucapan keluarga besarnya yang seolah bisa mengatur apasajayangharusialakukan. Berkumpul bersama keluarga besar menjadi kegiatan rutin dan sering kali dilakukan. Pantai adalah destinasi utama keluarga Kusuma. Aksa senang bisa bermain dengan saudaranya,tapi dia juga bencisaatsemua orang mulai mengatur apa yang harus ia lakukan. Seperti saat ini, Aksa kembali dipaksa untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Aksa tidak mau karena setelah lulus dia ingin kuliah di negaranya sendiri. Omongan-omongan itu yang membuat orang tuanya mulai ikut memaksa. Mereka ingin Aksa yang melanjutkan perusahaan farmasi merekasuatuhari nanti. Sebagai penerus keluarga, orang tuanya hanya ingin yang terbaik. Apa yang b
Suasana kelas terasa begitu mencengkam. Ezra sedari tadi tidak berhenti untuk menggerutu. Bahkan meja yang tidak bersalah pun ikut ia tendang karena rasa kesalnya pada Aksa. Ezra memang pendiam saat baru pertama kali masuk sekolah, tapi siapa sangka jika pria itu juga memiliki sisi nakal sama seperti remaja lainnya."Kena kan lo? Lagian sok jago sih nantang Pak Aksa." Aldo duduk di meja sambil menikmati pentolnya."Kalo liat dia bawaannya kesel mulu.""Salah apa Pak Aksa sama lo?" Kali ini Era yang bertanya."Kesel aja, sok berkuasa banget."Lala mendengkus, "Dia emang berkuasa kali, Zra. Dia yang punya sekolah. Bego lu.""Kok lo betah sih deket sama Pak Aksa?" tanya Ezra pada Era."Bian yang bikin betah. Kalo Pak Aksa sih emang galak tapi nggak papa, suka kasih duit bensin soalnya." Era menyeringai."Cuma duit bensin, Ra."Era berdecak, "Udah dibilang gue utang budi sama keluarga Pak Wijaya.""Tetep aja dia
Hari Senin adalah hari yang Era tunggu. Khusus hari ini, dia sangat semangat untuk berangkat ke sekolah. Era ingin menemui Aksa yang rutin melakukan rapat mingguan di sekolah. Semenjak marahnya Aksa, Era tidak bertemu dengan pria itu hingga saat ini. Bahkan Bian dan Bu Ratna juga tidak berkunjung ke panti. Hal itu membuat Era berpikir, apa dia melakukan kesalahan? Jika iya, Era yakin jika itu bukanlah masalah besar. Seharusnya Aksa tidak berlebihan seperti ini bukan?Sejak dari jam pelajaran pertama dan kedua, Era berkali-kali ijin ke kamar mandi. Bukan kamar mandi yang menjadi tujuannya, melainkan ruangan kepala sekolah. Seperti orang hilang, Era berjalan hilir mudik sambil mengintip jendela ruang kepala sekolah, berharap jika akan melihat Aksa. Namun sepertinya kepala sekolah sedang tidak menerima tamu. Sedikit membuat Era kecewa dan berlalu kembali ke kelas. Bunyi bel istirahat mulai terdengar. Era tanpa menunggu teman-temannya langsung berlari ke luar ruangan. Ruang
Suasana gedung olah raga terlihat sangat ramai. Turnamen basket sudah dimulai. Bersama dengan Pak Roni, Aksa duduk di kursi khusus untuk para wakil sekolah. Hari ini ada pertandingan dari beberapa sekolah, oleh karena itu gedung ini terlihat ramai dan sesak oleh para pendukung. Aksa mulai menikmati jalannya pertandingan. Dia tersenyum bangga melihat anak-anak didiknya yang memiliki poin lebih unggul. Dia juga bisa melihat Ezra duduk di bangku cadangan. Aksa akan bersikap tidak peduli untuk saat ini.Suara melengking dari salah satu pendukung membuat semua orang tertawa tapi tidak untuk Aksa. Dia mencari asal suara itu dan terkejut saat melihat Era yang berdiri di kursi penonton dengan spanduk berukuran sedang di tangannya."Anak 12 nggak ada pelajaran tambahan, Pak?" tanya Aksa pada kepala sekolah."Ada, tapi khusus pertandingan sekolah kita aja mereka bisa ikut, Pak. Habis selesai, mereka langsung kembali ke sekolah," ucap Pak Roni menjelaskan, "Biar mere