Share

Merelakan Utang Mertua

"Nangis?" Mas Dasep mengernyit.

 

 

Aku menceritakan kejadian saat Ibu menangis, dan apa saja yang dikatakannya. 

 

 

"Akhirnya, kuberikan saja uang itu untuk Ibu, Mas. Kasihan dia," kataku. 

 

 

Namun, bukannya merasa iba, Mas Dasep malah geleng-geleng kepala.

 

 

"Kamu ini, Mur .... Gampang banget dibikin kasihan sama orang," respon Mas Dasep. "Pasti kamu gak sadar kan, kalau Ibu hanya akting?"

 

 

"Entah akting atau bukan. Yang jelas, aku gak mau kalau sampai kehilangan doa dari Ibu. Dia bilang, kalau pelit sama orangtua bisa kuwalat," jawabku.

 

 

Mas Dasep mengembus napas kasar. "Itu namanya menggertak, Murni," katanya. "Duh,begitu aja gak ngerti." 

 

 

Aku dapat melihat kekesalan di wajah Mas Dasep. Pasti dia menyangka aku ini bodoh dan mudah terpedaya.

 

 

"Mas, hari ini mataku terbuka. Aku dapat melihat wajah asli Mila dan Ibu. Mas jangan berpikir aku tidak tahu apa-apa, karena aku paham apa yang dilakukan Ibu dan Mila padaku. Tapi, apa gunanya melawan orangtua? Hanya uang lima ratus ribu, itu pun diterima Ibu secara tidak sengaja. Aku sudah ikhlas, Mas ...." Aku menjelaskan pada Mas Dasep.

 

 

"Mur—"

 

 

"Mas. Kita ambil hikmahnya saja. Selama ini kita gak pernah memberi uang pada orangtua, dan mereka juga tak pernah meminta. Jadi, kejadian ini anggap saja teguran bagi kita. Kalau tidak ada kejadian ini, mungkin Ibu dan Bapak tidak akan pernah mencicipi uang kita," potongku.

 

 

"Uangmu, Mur. Bukan uang kita," ralat Mas Dasep. "Itu uangmu. Ah ... Mas jadi malu, yang dikatakanmu itu benar. Aku memang tak pernah memberi Ibu dan Bapak uang, karena untuk kebutuhan kita saja pas-pasan."

 

 

Mas Dasep langsung menunduk. Aku tahu, saat ini dia sedang merasa malu pada dirinya sendiri. 

 

"Itu bukan salahmu jika belum bisa memberi pada mereka, karena mereka pun pasti mengerti kondisimu. Tapi, sebagai istri aku ingin membantumu berbakti pada orangtua. Aku ikhlas memberikan uangku pada mereka, Mas," kataku, mencoba mengembalikan kepercayaan diri suamiku. 

 

 

"Terbuat dari apa hatimu, Mur?" tanya Mas Dasep seraya memelukku.

 

 

Entahlah. Aku lupa menghitung sudah berapa kali uang yang kupinjamkan raib dan tak kembali. Pada akhirnya, aku selalu mengikhlaskan dan tak mau mengungkitnya lagi, karena hal itu malah akan jadi beban pikiran. 

 

 

Dan kali ini, tentang uang yang diterima Ibu ... setelah aku mengikhlaskannya, aku dapat tidur dengan tenang.

 

 

*

 

 

Subuh menjelang, aku sudah bangun bahkan sebelum azan berkumandang. Ketika aku berkutat dengan urusan dapur, Mas Dasep menepuk pundakku dari belakang. Wajahnya tampak basah, rupanya kali ini dia bangun lebih dulu dariku.

 

 

"Cepat ambil wudhu, siap-siap salat subuh," katanya.

 

 

Kutinggalkan cucian piring yang tersisa, beruntung nasi goreng dan air panas sudah siap. Aku bisa melanjutkan sisa pekerjaanku nanti, yang penting menu sarapan sudah matang.

 

 

Aku pun berdiri khusyuk di belakang Mas Dasep, memakai mukena dan menggelar sajadah setelah sebelumnya berwudhu. Menjadi makmum Mas Dasep adalah saat-saat yang paling kunantikan dalam kebersamaan rumahtanggaku.

 

 

Selesai salat, Mas Dasep mengambil selembar kertas dan pulpen dari atas meja kecil di sudut kamar.

 

 

"Murni, berapa utang ibuku padamu?" tanyanya sambil bersiap mencatat.

 

 

"Apa maksudnya, Mas?"

 

 

"Katakan. Berapa utang yang tidak dibayar Ibu padamu, aku yang akan melunasinya. Mas malu, Mur, karena Ibu pinjam uangmu dengan niat iseng, niat yang tidak baik. Tanggungjawabku melunasinya, karena itu uangmu," jawabnya.

 

 

Kuambil kertas yang dipegang Mas Dasep lalu menyobeknya. "Sudah, Mas. Tak perlulah dibahas lagi. Kan sudah kubilang, aku ikhlaskan uang itu untuk Ibu."

 

 

"Kenapa kamu seperti ini, Mur?" Mas Dasep bertanya, dia sangat heran melihatku. "Baik dan bodoh itu beda tipis," katanya.

 

 

"Karena dia ibumu, Mas. Dia mertuaku. Kalau Mas mau nagih, cobalah tagih uangku yang dipinjam Mila. Jika aku membiarkan uangku menjadi milik Ibu, itu karena Ibu adalah orangtua. Tapi Mila, dia harus belajar bertanggungjawab," jawabku.

 

 

Mas Dasep mengangguk dan menggenggam tanganku, dia pun meminta maaf atas nama ibunya dan berjanji akan bicara pada Mila.

 

 

"Lalu, apa rencanamu sekarang? Barang daganganmu habis, modalmu juga?" tanya Mas Dasep.

 

 

"Aku ada sisa uang, Mas. Cuma dua ratus ribu, tapi gak apa-apa, yang penting hari ini aku bisa jualan."

 

 

"Kalau begitu, Mas antar kamu ke pasar, ya," tawar Mas Dasep.

 

 

"Tapi ini sudah jam lima, bukannya Mas harus berangkat ke pabrik? Nasi goreng dan teh hangatnya sudah siap di meja, mending Mas sarapan aja," balasku.

 

 

Suamiku bekerja sebagai buruh sablon karung di pabrik beras, dan biasa berangkat setelah subuh karena harus gesit sebelum jatah karung diambil pegawai yang lain. Maklum, penghasilan suamiku ditentukan dari sedikt-banyaknya karung yang di sablon per hari, jadi sebisa mungkin dia berangkat lebih pagi agar tak kehabisan jatah karung.

 

 

Mas Dasep pun mengantarku hingga ke depan rumah Mang Ojak—tukang ojek yang juga tetanggaku. Aku akan pergi ke pasar naik ojek Mang Ojak.

 

 

*

 

 

Suasana pasar subuh sangat ramai. Maklum, momen ini dimanfaatkan ibu-ibu untuk berbelanja, karena harga sembako dan sayuran di Pasar Subuh relatif lebih murah. 

 

 

Pasar Subuh ini letaknya di terminal—depan pintu pasar. Sebelum pasar buka, biasanya pedagang akan menjajakan dagangannya di sini dari mulai jam tiga pagi sampai jam enam pagi.

 

 

Aku turun dari ojek dan menuju pedagang kerupuk, hendak membeli bahan-bahan untuk berjualan makaroni. 

 

 

Perhatianku tertuju pada sebuah mobil bak terbuka, banyak ibu-ibu berkerumun di sana. Sepertinya, itu adalah pedagang baru, karena aku baru melihatnya.

 

 

Bagai ada yang menggerakkan langkah, aku pun mendekat ke mobil bak. Ternyata benar, ini adalah pedagang baru. Berbagai jenis kerupuk dan bumbu dapur instan dijual di sini. Harganya pun murah. Selain itu, ada pula sampo sachet, sabun, dan kebutuhan lainnya yang dijual dengan harga grosir.

 

 

"Ayo, dipilih ... dipilih ..." seru penjual mempromosikan dagangannya.

 

 

Aku pun memilih bahan-bahan yang akan kubeli. Makaroni, penyedap rasa ayam bawang, keju, balado, jagung, dan juga bubuk cabai. 

 

 

Di saat sibuk memilih, aku dapat merasakan Ibu Penjual yang duduk di atas mobil bak memperhatikanku terus-menerus. Seakan menyelidik, matanya tak lepas menangkap gerak-gerikku.

 

 

Saat aku menggeser posisiku ke arah samping agar tak terlihat olehnya, penglihatan Ibu Penjual itu tetap mengikutiku.

 

 

Mau pergi dan tak jadi beli rasanya tak enak juga, karena aku sudah terlanjur memasukkan barang belanjaan yang kupilih ke keranjang. Akhirnya, segera kuselesaikan belanjaanku. Risih terus diperhatikan seperti ini, seolah aku pencuri.

 

 

"Berapa semuanya, Bu?" tanyaku sambil menyerahkan keranjang berisi belanjaanku, untuk dihitung oleh Ibu Penjual.

 

 

Begitu aku mendongak untuk bicara dengan Ibu Penjual, aku sangat terkejut melihat wajahnya di bawah cahaya lampu remang-remang.

 

 

"Gak usah bayar," kata Ibu Penjual itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
siapanih ibu2 yg baik dan merhatiin....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status