Share

Merelakan Utang Mertua

Author: Widanish
last update Huling Na-update: 2022-01-13 20:50:26

"Nangis?" Mas Dasep mengernyit.

 

 

Aku menceritakan kejadian saat Ibu menangis, dan apa saja yang dikatakannya. 

 

 

"Akhirnya, kuberikan saja uang itu untuk Ibu, Mas. Kasihan dia," kataku. 

 

 

Namun, bukannya merasa iba, Mas Dasep malah geleng-geleng kepala.

 

 

"Kamu ini, Mur .... Gampang banget dibikin kasihan sama orang," respon Mas Dasep. "Pasti kamu gak sadar kan, kalau Ibu hanya akting?"

 

 

"Entah akting atau bukan. Yang jelas, aku gak mau kalau sampai kehilangan doa dari Ibu. Dia bilang, kalau pelit sama orangtua bisa kuwalat," jawabku.

 

 

Mas Dasep mengembus napas kasar. "Itu namanya menggertak, Murni," katanya. "Duh,begitu aja gak ngerti." 

 

 

Aku dapat melihat kekesalan di wajah Mas Dasep. Pasti dia menyangka aku ini bodoh dan mudah terpedaya.

 

 

"Mas, hari ini mataku terbuka. Aku dapat melihat wajah asli Mila dan Ibu. Mas jangan berpikir aku tidak tahu apa-apa, karena aku paham apa yang dilakukan Ibu dan Mila padaku. Tapi, apa gunanya melawan orangtua? Hanya uang lima ratus ribu, itu pun diterima Ibu secara tidak sengaja. Aku sudah ikhlas, Mas ...." Aku menjelaskan pada Mas Dasep.

 

 

"Mur—"

 

 

"Mas. Kita ambil hikmahnya saja. Selama ini kita gak pernah memberi uang pada orangtua, dan mereka juga tak pernah meminta. Jadi, kejadian ini anggap saja teguran bagi kita. Kalau tidak ada kejadian ini, mungkin Ibu dan Bapak tidak akan pernah mencicipi uang kita," potongku.

 

 

"Uangmu, Mur. Bukan uang kita," ralat Mas Dasep. "Itu uangmu. Ah ... Mas jadi malu, yang dikatakanmu itu benar. Aku memang tak pernah memberi Ibu dan Bapak uang, karena untuk kebutuhan kita saja pas-pasan."

 

 

Mas Dasep langsung menunduk. Aku tahu, saat ini dia sedang merasa malu pada dirinya sendiri. 

 

"Itu bukan salahmu jika belum bisa memberi pada mereka, karena mereka pun pasti mengerti kondisimu. Tapi, sebagai istri aku ingin membantumu berbakti pada orangtua. Aku ikhlas memberikan uangku pada mereka, Mas," kataku, mencoba mengembalikan kepercayaan diri suamiku. 

 

 

"Terbuat dari apa hatimu, Mur?" tanya Mas Dasep seraya memelukku.

 

 

Entahlah. Aku lupa menghitung sudah berapa kali uang yang kupinjamkan raib dan tak kembali. Pada akhirnya, aku selalu mengikhlaskan dan tak mau mengungkitnya lagi, karena hal itu malah akan jadi beban pikiran. 

 

 

Dan kali ini, tentang uang yang diterima Ibu ... setelah aku mengikhlaskannya, aku dapat tidur dengan tenang.

 

 

*

 

 

Subuh menjelang, aku sudah bangun bahkan sebelum azan berkumandang. Ketika aku berkutat dengan urusan dapur, Mas Dasep menepuk pundakku dari belakang. Wajahnya tampak basah, rupanya kali ini dia bangun lebih dulu dariku.

 

 

"Cepat ambil wudhu, siap-siap salat subuh," katanya.

 

 

Kutinggalkan cucian piring yang tersisa, beruntung nasi goreng dan air panas sudah siap. Aku bisa melanjutkan sisa pekerjaanku nanti, yang penting menu sarapan sudah matang.

 

 

Aku pun berdiri khusyuk di belakang Mas Dasep, memakai mukena dan menggelar sajadah setelah sebelumnya berwudhu. Menjadi makmum Mas Dasep adalah saat-saat yang paling kunantikan dalam kebersamaan rumahtanggaku.

 

 

Selesai salat, Mas Dasep mengambil selembar kertas dan pulpen dari atas meja kecil di sudut kamar.

 

 

"Murni, berapa utang ibuku padamu?" tanyanya sambil bersiap mencatat.

 

 

"Apa maksudnya, Mas?"

 

 

"Katakan. Berapa utang yang tidak dibayar Ibu padamu, aku yang akan melunasinya. Mas malu, Mur, karena Ibu pinjam uangmu dengan niat iseng, niat yang tidak baik. Tanggungjawabku melunasinya, karena itu uangmu," jawabnya.

 

 

Kuambil kertas yang dipegang Mas Dasep lalu menyobeknya. "Sudah, Mas. Tak perlulah dibahas lagi. Kan sudah kubilang, aku ikhlaskan uang itu untuk Ibu."

 

 

"Kenapa kamu seperti ini, Mur?" Mas Dasep bertanya, dia sangat heran melihatku. "Baik dan bodoh itu beda tipis," katanya.

 

 

"Karena dia ibumu, Mas. Dia mertuaku. Kalau Mas mau nagih, cobalah tagih uangku yang dipinjam Mila. Jika aku membiarkan uangku menjadi milik Ibu, itu karena Ibu adalah orangtua. Tapi Mila, dia harus belajar bertanggungjawab," jawabku.

 

 

Mas Dasep mengangguk dan menggenggam tanganku, dia pun meminta maaf atas nama ibunya dan berjanji akan bicara pada Mila.

 

 

"Lalu, apa rencanamu sekarang? Barang daganganmu habis, modalmu juga?" tanya Mas Dasep.

 

 

"Aku ada sisa uang, Mas. Cuma dua ratus ribu, tapi gak apa-apa, yang penting hari ini aku bisa jualan."

 

 

"Kalau begitu, Mas antar kamu ke pasar, ya," tawar Mas Dasep.

 

 

"Tapi ini sudah jam lima, bukannya Mas harus berangkat ke pabrik? Nasi goreng dan teh hangatnya sudah siap di meja, mending Mas sarapan aja," balasku.

 

 

Suamiku bekerja sebagai buruh sablon karung di pabrik beras, dan biasa berangkat setelah subuh karena harus gesit sebelum jatah karung diambil pegawai yang lain. Maklum, penghasilan suamiku ditentukan dari sedikt-banyaknya karung yang di sablon per hari, jadi sebisa mungkin dia berangkat lebih pagi agar tak kehabisan jatah karung.

 

 

Mas Dasep pun mengantarku hingga ke depan rumah Mang Ojak—tukang ojek yang juga tetanggaku. Aku akan pergi ke pasar naik ojek Mang Ojak.

 

 

*

 

 

Suasana pasar subuh sangat ramai. Maklum, momen ini dimanfaatkan ibu-ibu untuk berbelanja, karena harga sembako dan sayuran di Pasar Subuh relatif lebih murah. 

 

 

Pasar Subuh ini letaknya di terminal—depan pintu pasar. Sebelum pasar buka, biasanya pedagang akan menjajakan dagangannya di sini dari mulai jam tiga pagi sampai jam enam pagi.

 

 

Aku turun dari ojek dan menuju pedagang kerupuk, hendak membeli bahan-bahan untuk berjualan makaroni. 

 

 

Perhatianku tertuju pada sebuah mobil bak terbuka, banyak ibu-ibu berkerumun di sana. Sepertinya, itu adalah pedagang baru, karena aku baru melihatnya.

 

 

Bagai ada yang menggerakkan langkah, aku pun mendekat ke mobil bak. Ternyata benar, ini adalah pedagang baru. Berbagai jenis kerupuk dan bumbu dapur instan dijual di sini. Harganya pun murah. Selain itu, ada pula sampo sachet, sabun, dan kebutuhan lainnya yang dijual dengan harga grosir.

 

 

"Ayo, dipilih ... dipilih ..." seru penjual mempromosikan dagangannya.

 

 

Aku pun memilih bahan-bahan yang akan kubeli. Makaroni, penyedap rasa ayam bawang, keju, balado, jagung, dan juga bubuk cabai. 

 

 

Di saat sibuk memilih, aku dapat merasakan Ibu Penjual yang duduk di atas mobil bak memperhatikanku terus-menerus. Seakan menyelidik, matanya tak lepas menangkap gerak-gerikku.

 

 

Saat aku menggeser posisiku ke arah samping agar tak terlihat olehnya, penglihatan Ibu Penjual itu tetap mengikutiku.

 

 

Mau pergi dan tak jadi beli rasanya tak enak juga, karena aku sudah terlanjur memasukkan barang belanjaan yang kupilih ke keranjang. Akhirnya, segera kuselesaikan belanjaanku. Risih terus diperhatikan seperti ini, seolah aku pencuri.

 

 

"Berapa semuanya, Bu?" tanyaku sambil menyerahkan keranjang berisi belanjaanku, untuk dihitung oleh Ibu Penjual.

 

 

Begitu aku mendongak untuk bicara dengan Ibu Penjual, aku sangat terkejut melihat wajahnya di bawah cahaya lampu remang-remang.

 

 

"Gak usah bayar," kata Ibu Penjual itu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sawitri
siapa yaa ibu ini.... apakah masih kerabatnya??
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
siapanih ibu2 yg baik dan merhatiin....
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Miskin

    “Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Ayu Menjadi Gila

    Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tinju, Tongkat, Hingga Golok!

    "Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Yang Datang Kembali

    "Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Dipandang Rendah

    "Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Oh, Ternyata

    Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status