Share

Bab 4. Pernikahan

"Masih ada waktu lima belas menit," ucap Leo melirik benda pipih di pergelangan tangannya. "Masih ada waktu kalau kamu mau berubah pikiran," sambungnya mengalihkan pandang pada Alana.

Alana terdiam. Hanya sorot mata bening miliknya yang membalas tatapan Leo dan merespon sosok om yang beberapa menit lagi akan berubah status menjadi suaminya.

Leo tersenyum tipis melihat wajah cantik Alana dihiasi dengan mimik cemberut. Wajah yang terpoles sederhana, tapi sedih itu seharusnya tidak terlihat oleh matanya dan seharusnya pernikahan membuat sebagian orang bahagia. Sayangnya tidak untuk Leo dan Alana, pernikahan yang akan mereka langsungkan adalah pernikahan di luar rencana kehidupan mereka.

"Jawablah!" Leo melirik benda pipih yang sejak tadi ada di genggaman Alana karena ponsel milik gadis itu berdering.

"Nanti saja," jawab Alana. Jemari lentiknya menekan tombol tolak sehingga dering ponselnya berhenti.

Sejak tadi, meski tubuh Alana duduk diam, tapi jemarinya sibuk menekan tombol-tombol ajaib dalam layar ponselnya. Alana juga terlihat gelisah. Meski sudah berusaha ditutupi, tapi kegelisahan itu tidak bisa mengelabuhi penglihatan Leo.

"Kamu yakin?"

Pertanyaan Leo menjadi ambigu. Entah ini pertanyaan tentang keyakinannya untuk menikah atau pertanyaan tentang keyakinan tidak menjawab panggilan telepon miliknya?

"Aku yakin," jawab Alana mengangguk lemah dan tipis.

"Maksudku-"

"Apa kalian sudah siap?"

Kata-kata Leo terpotong oleh kedatangan pengacara orangtua Alana.

Leo mengarahkan pandangan pada Alana. Kali ini tatapannya ingin mempertanyakan, apakah Alana benar-benar yakin akan menikah dengannya.

"Siap," jawab Alana.

"Tuan, Anda?" Pengacara mengalihkan pandang pada Leo.

Sekali lagi Leo mengarahkan pandang pada Alana.

"Aku siap," jawabnya tanpa mengalihkan pandang dari Alana.

"Baguslah!" Pengacara itu tersenyum mendengar jawaban keduanya.

"Alana."

Leo mengulurkan tangan pada Alana untuk membawanya ke luar, namun Alana menolak dan memilih berjalan mendahulinya.

Menggunakan kebaya sederhana, riasan wajah sederhana, Alana dan Leo mengucap janji pernikahan di depan saksi, termasuk pengacara orangtua Alana.

"Leonardo Samudera, apakah kamu bersedia menerima Alana Samudera Biru menjadi istrimu dan berjanji akan mencintainya seumur hidupmu, baik dalam untung dan malang, dalam senang dan susah, dalam sehat dan sakit?"

Leo tidak segera menjawab, matanya malah mengarah pada Alana yang berdiri di sampingnya dengan wajah tertunduk. Kesedihan jelas terlihat. Hal itu membuat dadanya sesak. Ada rasa sakit dan perih menggores hati.

"Tuan?" Pengacara membuyarkan pandangan Leo.

"Ya, saya bersedia," jawab Leo akhirnya.

"Alana Samudera Biru, apakah kamu bersedia menerima Leonardo Samudera sebagai suamimu dan akan mencintainya seumur hidupmu, baik dalam untung dan malang, dalam senang dan susah, dalam sakit dan sehat?"

Alana bergeming untuk beberapa saat hingga kedua pundaknya terguncang kecil. Alana terisak dalam tangis.

Sangat sakit! Sakit yang tak berdarah. Sakit yang tak bisa dihindari karena ini sudah menjadi keputusannya. Menikah dengan Leo, pria yang selama ini menjadi om kesayangannya. Akankah Leo juga akan menjadi suami kesayangannya?

"Alana?"

Leo segera menyentuh kedua pundak Alana saat menyadari gadis di sampingnya menangis terisak.

Namun, Alana segera menepis saat merasakan tangan Leo berlabuh pada pundaknya. Dia juga segera mengeringkan air mata dan menyeka menggunakan kedua tangan.

"Aku bersedia," jawab Alana. Meski terlambat, namun bisa membuat Leo terdiam beku.

Seharusnya Leo merasa senang karena Alana tidak mengubah keputusannya. Ternyata perasaan itu tidak dia miliki. Mendengar Alana menyatakan kesediaannya, tiba-tiba tubuhnya menjadi lemah tak berdaya. Leo hampir terjatuh, tapi berusaha menguatkan kakinya.

Setelah janji pernikahan selesai dan keduanya menandatangani surat pernikahan, Alana segera berlari dan masuk ke dalam kamar. Tangisnya kembali pecah, bahkan sampai terisak tersedu.

"Aku sudah mengabulkan permintaan kalian, ma, pa," ucapnya dalam tangis.

Tangis Alana sedikit surut ketika kembali ponselnya berdering. Dilihatnya nama yang tersembul pada layar ponsel.

"Barca," lirih Alana membaca nama kekasihnya.

Alana segera mengeringkan air mata dan menghentikan tangis. Dia sudah mengabaikan panggilan kekasihnya selama proses pernikahan dengan Leo. Kali ini dia tidak ingin membuat Barca marah, maka cepat-cepat Alana menghentikan tangis, lalu menjawab panggilan Barca.

"Halo," sapanya dengan suara sedikit serak.

"Alana, kamu menangis?" Suara di sana terdengar cemas.

"Tidak. Tadi aku makan pedas dan tersedak, jadi suaraku serak," bohong Alana. "Ada apa?" Alana berusaha membulatkan suara.

"Alana, aku sudah beli tiket nonton. Aku jemput, ya?"

Alana terdiam sesaat.

"Alana, mau khan nonton malam ini? Bagus lho filmnya," ucap Barca merayu Alana untuk menemaninya nonton.

"Malam ini?"

"Ya, malam ini, tapi aku jemput kamu sekarang. Kita jalan dan makan dulu sebelum nonton."

"Sekarang?"

"Aku jemput, ya?"

Alana kembali terdiam.

"Tidak usah. Kita ketemuan saja."

"Kenapa?"

"Kamu tau aku belum pernah menceritakan ini pada om Leo? Yang dia tau, aku belum punya pacar dan harus fokus kuliah," bohong Alana.

Padahal sebelum memutuskan pernikahan, dia telah menceritakan siapa Barca karena Leo memaksa dan dia tidak bisa menolak paksaan Leo.

Alana segera bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi menghapus riasan dan berganti pakaian.

"Om Leo?"

Saat keluar dari kamar mandi, Alana terkejut, tiba-tiba Leo sudah ada di dalam kamarnya. Leo juga masih memakai pakaian yang dia gunakan untuk pernikahan.

Baru kali ini Alana merasa tubuhnya membeku. Saat berhadapan dengan Leo yang sekarang berstatus suami baginya, tiba-tiba rasa canggung itu ada. Padahal sebelumnya, setiap kali melihat Leo, dia merasa senang. Apalagi mendapat perhatian, Alana merasa sangat bahagia. Dia merasa menjadi keponakan kesayangan.

"Kamu sudah mandi?" Leo pun merasakan hal yang sama. Gugup.

Sembari mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil, Alana berjalan menuju meja rias. Seperti sedang diawasi hewan predator, langkah Alana sangat hati-hati. Bahkan saat duduk pun, lakunya sangat kaku.

"Biar aku bantu keringkan."

Alana semakin dibuat terkejut ketika tiba-tiba suara Leo telah berada tepat di belakangnya. Bahkan pria itu telah mengambil handuk kecil dari tangannya.

"Om, aku-" Alana berusaha merebut dan menolak.

"Duduk diam!"

Namun Leo menyentuh kedua pundaknya memberi sedikit tekanan agar Alana kembali duduk dengan tenang.

"Siang-siang begini keramas, kepalamu bisa sakit," ucap Leo sembari mengusap lembut dan perlahan rambut Alana.

Alana mengarahkan pandang pada Leo melalui pantulan cermin di depannya. Meski terlihat berbeda, wajah Leo mengembangkan senyum tipis sembari terus mengeringkan rambutnya.

Melihat wajah tenang Leo, Alana sedikit merasa rileks dan lega. Bibir yang sejak pagi kehilangan senyumnya, kini mulai melengkung tipis.

"Kamu mau pergi?" tanya Leo.

Ekor matanya tidak sengaja melihat pesan chat yang diterima oleh ponsel Alana. Meski tidak terlalu jelas, tapi Leo sempat membaca pesan dari pacar Alana dan pria itu mengajak Alana pergi siang ini.

"Em, ini." Alana gugup sembari menyembunyikan ponselnya dalam genggaman.

"Aku akan mengantarmu. Di mana kalian janji ketemu?"

"Tapi, Om?"

"Apa karena sudah mempunyai pacar, maka aku tidak boleh lagi mengantar keponakanku?" Senyum dan tatapan Leo menggoda.

"Tapi-"

"Tunggu! Aku ganti pakaian dulu. Bilang sama pacarmu, lima belas menit lagi kita otw!" ucap Leo meletakkan handuk dan berlalu.

"Om!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status