Share

Bab 5. Bersama Pria Lain

"Kamu yakin membiarkan Alana pergi bersama pria itu?"

Leo tetap mematri pandangnya pada gadis yang baru beberapa menit lalu duduk di sampingnya dan meninggalkannya, sedangkan kini tempat itu telah ditempati oleh Damian, sahabatnya.

Leo dan Damian memang telah bersahabat sejak lama. Apa yang terjadi pada Leo, Damian tau. Sebaliknya, apa yang terjadi dalam hidup Damian, Leo pun tau. Leo memang sengaja menghubungi Damian saat berganti pakaian dan mereka bertemu setelah Alana meninggalkan mobil untuk menemui kekasihnya, Barca.

"Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Alana," jawab Leo meski sedikit terlambat karena telah membiarkan Damian menunggu sedikit lama. Bahkan sahabatnya itu berpikir Leo tidak akan memberinya jawaban.

"Tapi sekarang dia istrimu," sahut Damian.

Leo menarik perhatiannya, lalu berganti mengarahkan pada Damian. Tatapannya lekat dan mendalam. Hanya saja kali ini tatapan itu cukup sulit ditebak oleh Damian. Dia tau perasaan Leo saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bukan karena dia cemburu melihat Alana yang kini berstatus menjadi istrinya, Leo tidak baik-baik saja karena terpaksa menikahi Alana yang sejak kecil telah dirawat dan dibesarkan olehnya.

"Aku akan menceraikannya setelah dia dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri," ucap Leo kembali meluruskan pandangnya ke arah perginya Alana.

"Kamu yakin?" Lagi-lagi pertanyaan ini yang dilontarkan oleh Damian untuk merespon perkataan Leo.

"Damian." Leo kembali memberi Damian tatapan lekat. "Kamu tau alasanku menikahinya?" sambungnya mengingatkan Damian pada alasan mereka menikah.

"Aku tau, tapi-"

"Aku tau kamu akan mengatakan bila pernikahan itu sakral, tapi aku tidak bisa memenjarakan Alana dengan alasan pernikahan."

Damian terdiam. Yang dikatakan Leo memang benar. Pernikahan itu sakral dan dia paham bagaimana Leo menyayangi Alana. Bahkan demi membesarkan dan merawat gadis kecil itu, Leo rela kehilangan kebahagiaan masa mudanya.

Demi Alana, Leo tidak pernah mendekati wanita, apalagi memikirkan pernikahan karena dia tidak ingin Alana merasa kasih sayangnya terbagi. Leo tidak mau Alana merasa cemburu karena yang dimiliki Alana hanya dia. Meski Damian juga sering memberi perhatian pada gadis itu, tapi sosok Leo untuk Alana adalah sosok orangtua pengganti.

"Alana berhak bahagia. Lagi pula saat umurnya telah genap dua puluh satu tahun, aku pun akan menyerahkan perusahaan padanya."

"Kamu yakin Alana sudah bisa mengelola setelah umurnya genap dua puluh satu tahun? Menurutku, dia harus belajar terlebih dahulu sebelum kamu benar-benar melepaskan," ucap Damian meragukan rencana yang telah dipikirkan oleh Leo.

Leo kembali menatap Damian, tapi kali ini disertai dengan senyuman.

"Kamu meragukan kemampuan keponakanku? Kamu meragukan hasil didikanku?"

Damian tertawa kecil.

"Bagaimana aku bisa meragukanmu, Leo? Itu sangat lancang," sahut Damian mengimbangi senyum Leo. Dia juga menepuk pundak Leo, tepuk persabahatan. "Okelah. Apa kamu mau terus menunggunya di sini? Kenapa kita tidak pergi minum sedikit untuk merayakan pernikahanmu?"

"Pernikahan ini hanya formalitas, kenapa kamu menganggapnya sungguhan?"

"Sinting! Kalian mengucap janji nikah di hadapan Tuhan dan aku salah satu saksinya, bagaimana kamu bisa mengatakan pernikahan ini hanya formalitas?"

Leo tertawa kecut.

"Bukankah sudah aku katakan? Aku tidak akan mengikat Alana dengan pernikahan ini? Alana tetap keponakanku dan aku masih om yang baik dan satu-satunya," ujar Leo, lalu menginjak pedal gas dan mengarahkan lingkaran setir meninggalkan tempat itu.

"Ingat masih ada aku, Leo! Aku juga om yang baik untuk Alana," protes Damian merasa tidak terima Leo melupakan jasanya dan tidak mengakui bila dia juga mempunyai andil dalam membesarkan dan menjaga Alana.

Leo tertawa dan tetap fokus pada jalanan. Dua pria itu telah sepakat pergi untuk minum, tapi bukan minum bir atau alkohol yang bisa orang muda lakukan. Mereka berdua lebih memiliki pergi ke cafe dan minum kopi atau yang lainnya.

Di saat Leo dan Damian menikmati siang mereka dengan minum kopi di sebuah cafe tempat mereka sering pergi dan nongkrong, Alana pun duduk manis dengan seorang pria di sebuah restauran.

"Alana, apa kamu sakit?"

Barca meraih dan menggenggam tangan Alana. Sejak kedatangan Alana, kekasihnya itu tampak tidak bersemangat dan murung. Pembawaan Alana tidak seperti biasanya. Hal ini membuatnya penasaran dan merasa ada yang telah terjadi pada kekasihnya.

Alana mengangkat wajah dan membalas tatapan Barca, bahkan bibirnya tersenyum memberikan respon baik-baik saja.

"Tidak," jawabnya singkat sembari membalas genggaman tangan Barca. "Aku baik-baik saja," sambungnya meyakinkan Barca.

Barca tersenyum. Meski Alana mencoba memberinya senyum, tapi wajah dan sorot mata Alana tidak bisa menipunya. Hanya saja dia tidak mau memaksa, apalagi hal itu bisa memicu keributan antara mereka.

Alana sendiri berusaha membuat air mukanya berseri. Dia tidak mau Barca cemas dan khawatir, apalagi sampai berpikir yang bukan-bukan. Alana tidak mau Barca mengetahui titik kecemasannya.

"Kita pesan makanan. Perutku sudah lapar," ucap Alana mengalihkan topik.

Barca membiarkan Alana melepaskan genggaman mereka untuk melihat-lihat menu makanan dan pesan.

"Aku mau pesan ini, ini, ini dan ini," ucap Alana sembari menunjuk gambar menu makanan. "Aku juga pesan minum ini dan ini," sambungnya menunjuk beberapa minuman.

Apa yang dilakukan Alana, terlebih apa yang ditunjuk Alana membuat mata Barca membola. Seketika itu juga Barca mengangkat wajah dan memperhatikan wajah Alana. Sayangnya, gadis yang diperhatikan sama sekali tidak mempedulikannya. Alana masih sibuk berbicara dengan pelayan restauran mengenai pesanannya.

"Barca, kamu mau pesan apa?" tanyanya.

Alana berbicara dan bertanya pada Barca, tapi matanya tidak lepas dari daftar menu makanan. Dia juga tidak sadar bagaimana Barca memperhatikan dirinya karena Alana selalu menghindari beradu padang dengan Barca.

"Barca," panggil Alana setelah beberapa saat tidak mendengar jawaban kekasihnya.

Alana baru mengangkat wajah untuk melihat Barca.

"Ada apa?" tanyanya saat mendapati tatapan Barca padanya lekat dan aneh.

"Alana, apa yang terjadi padamu?" Barca malah balik bertanya.

Alana mengernyitkan kedua alis membuat matanya sedikit menyipit.

"Memangnya apa yang terjadi padaku?" Alana berlagak tidak paham.

"Alana, aku mengenalmu bukan satu atau dua hari. Aku tau kamu tidak akan pernah bisa menghabiskan makanan sebanyak itu, tapi sekarang kamu memesan banyak makanan, pasti ada yang tidak beres," ucap Barca melontarkan kecurigaannya.

Alana tertawa kecil, lalu mencondongkan tubuh ke arah Barca. Bahkan salah satu tangannya dibentangkan di sisi wajah, lalu bersuara lirih, "Aku sedang datang bulan, makanya napsu makanku meningkat."

Alana membuat seolah-olah dia malu bila ucapannya terdengar oleh pelayan yang masih menunggu pesanan mereka.

"Kamu yakin?" Barca masih tidak muda percaya.

"Hemm." Alana mengangguk. "Kalau tidak percaya, tanya saja pada mbaknya!"

Alana mengarahkan ekor mata melirik pelayan yang berdiri di sampingnya dan kebetulan pelayan itu seorang wanita muda.

"Mbak-"

"Oke, oke. Aku percaya," ucap Barca menghentikan Alana saat memanggil pelayan.

Alana tersenyum menang. Pada akhirnya Barca percaya. Padahal dia hanya ingin melampiaskan perasaan kacaunya dengan makan. Dia tidak mungkin mengungkapkan perasaannya di rumah, di hadapan Leo. Hanya saat jauh dari Leo, Alana bisa mengekspresikan perasaannya yang kacau.

"Alana, pelan-pelan!" Barca kembali dikagetkan dengan cara makan Alana yang seperti orang kesurupan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status