Share

Bab 3. Setuju Dengan Syarat

"Maafin Alana, ya, Om," ucap Alana berwajah sedih.

Leo tersenyum mendengar kata maaf dari Alana. Gadis kecilnya itu akan mengucap kata maaf bila dia merasa bersalah.

Leo kembali mendekat dan duduk di tepi ranjang menghadap Alana.

"Tidurlah, sudah malam!" Leo menepuk punggung tangan Alana.

Sekali lagi pria itu merapikan selimut Alana. Meski merasa sedih melihat wajah Alana, tapi bibirnya tetap tersenyum.

"Selamat malam, Om," ucap Alana ketika Leo di ambang pintu.

"Selamat malam, Honey," balas Leo, lalu menutup pintu dan meninggalkan Alana.

Setelah kepergian Leo, Alana belum juga bisa memejamkan mata. Apa yang tidak sengaja dia dengar membuat hatinya gelisah dan tidak tenang.

Selama ini Leo telah berkorban banyak untuknya, bahkan berkorban setengah dari kehidupannya. Apa sekarang saatnya giliran Alana yang berkorban untuk Leo?

"Pa, kenapa aku harus menikah dengan om Leo? Kenapa tidak dengan cara lain saja?" lirih Alana. Pandangnya lurus ke langit-langit kamar dengan penerangan redup.

Kembali Alana menangis dalam diam. Pilihan yang dihadapkan padanya terlalu berat di usianya yang masih terlalu muda. Dia masih ingin menikmati masa mudanya seperti gadis yang lain.

Salah satunya, Alana juga memiliki kekasih. Bagaimana bisa menikah dengan Leo? Bagaimana kehidupan di kampus bila teman-temannya tau dia telah menikah dengan om sendiri?

"Aaa!!"

Alana berteriak sembari menutup kedua telinga. Kepalanya terasa sakit dan pusing. Banyak benang kusut yang tidak bisa diurai dengan cepat.

Karena tidak juga menemukan jalan ke luar, gadis itu meraih ujung selimut dan menutup seluruh wajah hingga kepala pun tak terlihat. Alana pasrah pada malam yang terus berlalu dan terbangun oleh pagi yang menyongsong.

***

"Aku mau menikah dengan Om Leo," ucap Alana tiba-tiba.

"Uhuk!"

Tiba-tiba juga Leo tersedak oleh teh hangat yang baru saja diseruput. Dia terkejut. Alana yang baru saja keluar dari kamar dan mendekat, tiba-tiba menyatakan setuju menikah dengannya.

"Alana, apa yang kamu katakan?" tanyanya setelah meletakkan cangkir teh di atas meja.

Alana tidak segera menjawab. Gadis itu menatap Leo lekat, lalu duduk di samping Leo dengan meja bundar kecil di antara mereka.

"Aku setuju menikah dengan Om Leo," ucapnya lagi memperjelas apa yang sudah dia katakan.

Leo mengernyitkan kedua ujung alis dengan mata sedikit menyipit, namun tatapannya penuh selidik menusuk manik bening mata Alana.

"Alana, kamu masih tidur dan mengigau?"

"Tidak." Alana menggelengkan kepala.

"Kamu kesurupan?" Leo masih tidak percaya.

"Aku serius, Om. Aku setuju menikah dengan Om Leo," seru Alana geram. "Tapi dengan syarat," sambungnya.

Leo semakin menajamkan mata. Bahkan kali ini menatapnya dengan sedikit lirikan.

"Syarat?"

"Ya." Alana mengangguk. "Aku setuju menikah dengan Om Leo, tapi pernikahan ini hanya kita yang tau. Aku tidak mau ada orang lain yang tau, terlebih teman kuliahku," sambungnya.

Leo kembali terdiam. Kesadarannya masih di ambang bawah sadar untuk menelaah apa yang terjadi.

"Aku juga tidak mau ada hubungan badan antara kita. Kita tetap tidur terpisah kamar," sambung Alana.

Lagi-lagi Leo masih belum bisa memberi respon dengan kata-kata.

"Satu lagi! Aku sudah punya pacar. Aku tidak mau pacarku tau tentang pernikahan ini. Aku juga tidak mau putus dengannya," sambungnya lagi tanpa menunggu umpan balik Leo.

Mendengar Alana telah memiliki pacar, kali ini wajah Leo mulai memberikan ekspresi berbeda. Ada senyum tipis terukir pada bibirnya. Sayangnya, senyum itu tidak membuat Alana senang.

"Om, aku serius," seru Alana lagi.

"Kamu sudah punya pacar?"

"Ya? Dia kakak seniorku di kampus. Hubungan kami baru beberapa bulan ini, tapi aku sangat menyukainya."

Leo menarik napas panjang, lalu menghembuskan secara perlahan sembari menyenderkan punggung.

"Alana, kamu tau apa yang kamu katakan ini?"

"Ya, aku tau," jawab Alana penuh percaya diri.

"Kamu tau apa itu pernikahan?"

Alana terdiam. Gadis seusianya, mana tau apa itu pernikahan yang sesungguhnya?

"Alana, menikah itu bukan perkara sederhana. Menikah itu-"

"Aku tau," potong Alana.

Padahal Leo belum benar-benar menutup bibir karena masih ada hal lain yang akan dikatakan, tapi Alana sudah memotong dengan suara nyaring.

"Kamu tau?" Leo kembali memberinya tatapan menyelidik.

"Semalam aku sudah memikirkannya dengan baik," ucap Alana.

Lagi-lagi keponakan Leo itu menunjukkan kepercayaan dirinya.

"Aku setuju menikah dengan syarat yang aku katakan tadi. Satu lagi, meski kita sudah menikah, aku mau antara kita tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing, termasuk urusan pribadi dengan pacarku. Yah, anggap saja seperti pernikahan kontrak atau pernikahan palsu seperti yang terjadi dalam cerita-cerita novel. Mereka menikah hanya sebagai status saja."

Wajah Leo mengerut. Apa yang dikatakan Alana semakin membuatnya tidak mengerti.

"Kamu tidak paham, Alana." Leo mendengus.

"Aku paham, Om. Om Leo juga pasti tidak setuju bukan dengan isi surat wasiat papa? Aku dan Om Leo sudah hidup bersama sejak lama. Om Leo sudah seperti papa bagiku. Om Leo juga sebagai mama untukku. Sekarang kita harus menikah. Aku tau perasaan Om Leo juga berat."

Ya. Yang dikatakan Alana benar. Permintaan dalam surat wasiat itu memang berat baginya, tapi sebelum Charles mengalami kecelakaan, papa Alana itu telah memberi isyarat bahwa pernikahan itu harus terjadi. Hanya saja selama ini Leo selalu mengabaikan dan menganggap isyarat itu hanya omong kosong saja.

"Kamu tau ini berat, kenapa kamu setuju?"

Alana terdiam membalas tatapan lekat Leo. Dia tau sebenarnya Leo tidak ingin membuatnya sedih karena terpaksa menyetujui wasiat papanya.

"Selama ini Om Leo sudah menjaga aku hingga sekarang. Om Leo juga sudah berkorban untukku. Aku pikir, sekarang saatnya aku membalas budi Om Leo," jawab Alana dengan suara sedikit pelan, bahkan semakin lirih di akhir kalimat.

Salah satu sudut bibir Leo tertarik ke samping. Pria itu memberikan senyum kecut mendengar perkataan Alana.

"Kamu pikir, apa yang aku lakukan selama ini, aku memintamu membalas budi?"

Leo tidak suka dan tidak setuju dengan apa yang Alana pikir tentang apa yang sudah dia lakukan selama ini.

"Aku tidak menginginkan hal itu, Alana. Aku merawat dan membesarkanmu karena aku mau. Karena aku menyayangimu. Aku tidak membutuhkan balas budi darimu," sambung Leo sedikit memberi nada kesal.

Alana masih terdiam. Jelas saja dia tau, Leo melakukan semua ini tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan apa pun darinya. Apa yang dilakukan padanya semua terlalu nyata dan tulus.

"Aku tau Om Leo melakukan dengan tulus, tapi aku tidak bisa membiarkan Om Leo terus berkorban untukku. Lagi pula aku tidak mau Om Leo kehilangan perusahaan dan jatuh miskin," ucap Alana memberi wajah sedih, bahkan cenderung cemberut.

"Ha! Ha! Ha!" Leo tertawa sedikit keras. "Dasar gadis bodoh! Siapa yang akan jatuh miskin? Meski aku kehilangan perusahaan, aku tidak akan jatuh miskin. Aku punya ilmu, punya pengalaman, aku bisa bekerja di tempat lain," sahut Leo mematahkan pikiran Alana.

"Tapi aku tidak mau jadi orang miskin, Om," seru Alana.

Leo tercengang. Bahkan matanya membola mendengar pengakuan konyol Alana.

"Jadi, kamu setuju menikah karena kamu tidak mau jadi orang miskin? Bukan karena wasiat papamu? Begitu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status