“Thanks, Joey. Cuma lo doang yang bisa ngertiin posisi gue. Gue nggak tahu mesti gimana lagi kalau nggak ada lo.”
“Anytime, Kris. Salam buat nyokap sama bokap lo, ya?”
Setelah berbincang dengan Joey, Krisna memutuskan untuk meninggalkan bandara dan bergegas pulang ke rumah.
Taksi yang dikendarainya berhenti tepat di depan pekarangan rumah orang tuanya. Jantung Krisna mendadak berdebar kencang.
Setelah mengulurkan beberapa lembar uang pada sopir taksi, Krisna lantas turun dari mobil tersebut, lalu melangkah melewati pagar depan rumah.
Dua tahun setelah kepergiannya, dan selama itu pula Krisna tidak menjejakkan kakinya di rumah ini. Meskipun sesekali pria itu datang ke Jakarta, tapi rumah ini adalah rumah yang selalu dihindarinya. Senyum kecil terbit di wajah pria itu. Rupanya tak banyak yang berubah di sana.
Seorang perempuan paruh baya yang tadinya sibuk di taman, mengalihkan pandangannya begitu Krisna melangkah mendekat. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Senyum ibunya masih sehangat seperti terakhir kalinya Krisna bertemu dengan Maura.
“Abang…”
Maura melangkah mendekati Krisna. Matanya berkaca-kaca, seolah ingin menunjukkan bahwa ada banyak rindu yang kini berjejalan di dadanya. Namun tidak ada sepatah katapun yang mampu dilontarkan olehnya.
“Ma, Krisna pulang.”
Setelah kalimat itu meluncur dari bibir Krisna, Maura berhambur memeluk putranya bersamaan dengan tangisnya yang pecah.
Jeda sesaat. Krisna mengusap punggung Maura dengan pelan, menyalurkan kerinduan yang tak kalah besarnya dengan Maura.
“Anak Mama…” gumam Maura lirih. Perempuan itu lantas menarik diri agar bisa menatap wajah putranya. “Abang sehat?”
“Alhamdulillah, Ma. Mama sehat, kan?”
“Alhamdulillah, Sayang. Masuk, yuk!” Maura lantas melingkarkan tangannya di lengan Krisna, “Kebetulan Disha, Freya, Tante Rika, dan Tante Soraya ada di rumah.”
“Tumben, Ma. Bukannya Tante Soraya ada di Melbourne?”
“Steven mau mengenalkan calon istrinya. Karena kebetulan calon istrinya tinggal di Jakarta, makanya acara perkenalannya diadakan di sini.”
Soraya adalah adik kandung Davin—ayah Krisna, selain Rika. Meskipun sudah lama sekali tidak bertemu, Krisna tahu jika Soraya memiliki bisnis restoran di Melbourne dan hanya sesekali tantenya itu datang berkunjung ke Jakarta.
“Abang!” Disha yang pertama kali melihat Krisna melangkah bersama Maura, lantas melemparkan ponselnya dan berlari menghampirinya. Dan detik berikutnya, Disha lantas berhambur memeluk Krisna dengan erat.
Sudah dua tahun berlalu dan Krisna hanya sesekali berkunjung ke Jakarta, sempat membuat Disha khawatir sekaligus lega begitu melihat kepulangannya.
“I miss you too,” ujar Krisna sembari balas memeluk adiknya.
Baik Freya, Rika, dan Soraya lantas ikut berjalan menghampiri Krisna. Satu per satu mereka memeluk Krisna, seolah tampak bahagia melihat kepulangannya.
“Apa kabar, Mas?” tanya Freya saat itu.
“Baik, Frey. Kamu sendiri apa kabar? Tante Rika sama Tante Soraya apa kabar?”
Mereka sempat berbincang sebentar sembari bertanya kabar. Tentu saja kepulangan Krisna menimbulkan banyak tanya, mengingat bahwa dua tahun terakhir Krisna menghilang begitu saja. Dan tidak ada satupun yang tahu alasannya. Kecuali Disha.
“Ngobrolnya dilanjut nanti ya, Sayang.”
“Ma, masih belum puas ngobrol sama Abang,” ujar Disha dengan wajahnya yang ditekuk.
“Abangmu biar ganti baju dulu, Sha. Kamu manja banget ya, mentang-mentang Abangnya pulang.”
“Ish, Mama. Iya, dong. Baru juga meluk bentar.”
“Aku ke kamar dulu, ya? Habis itu aku janji langsung turun.”
Krisna mengusap puncak kepala adik perempuannya, lalu melangkah meninggalkan Disha dan Maura. Pria itu lantas menaiki anak tangga untuk menuju ke kamarnya.
Begitu tiba di kamarnya, Krisna mengedarkan matanya ke sekitar. Kamar yang sudah tidak pernah ditempatinya selama dua tahun terakhir itu, terlihat bersih dan rapi. Krisna tahu jika ibunya pasti selalu rutin membersihkannya.
“Bang…” Suara ketukan dan sapaan dari luar kamarnya, menarik Krisna dari lamunannya. Pria itu kemudian menoleh dan mendapati Disha berdiri di ambang pintu. “Boleh masuk?”
Krisna yang baru saja melepaskan seragam kebesarannya, lantas tersenyum. “Masuk, Sha.”
Disha melangkah masuk ke kamar Krisna. Dia duduk di tepi ranjang tidurnya dengan tatapannya lurus ke arah pria itu.
“I'm fine, kalau itu yang bikin kamu penasaran, Sha.” Krisna terkekeh geli, tahu jika Disha khawatir akan kondisinya. “Maaf ya, sudah bikin kamu khawatir selama dua tahun terakhir ini.”
“Aku selalu berharap Abang segera pulang. Yah, meskipun aku tahu dia seberarti itu di hati Abang, tapi aku ngerasa dia nggak pantas dapetin cintanya Abang sedalam ini.”
Krisna menghela napas sembari satu tangannya menggulung lengan kemeja yang dikenakannya. “Waktu begitu cepat berlalu, tapi perasaan seseorang tidak semudah itu langsung hilang, Sha. Tapi kamu nggak usah khawatir, okay? I can handle it, and I promise, I'll do my best.”
“Aku dengar Abang katanya dekat sama Kak Yura. Emang sampai sekarang nggak ada perkembangan apa-apa, ya?”
“Tadinya begitu, Sha. Cuma anaknya udah kabur duluan, coba?”
“Emang habis Abang apain, sih? Mustahil banget nggak sih ada yang nolak Abang?” ujar Disha keheranan.
“Aku juga cuma manusia biasa, Sha. Nggak usah lebay gitu, dong.” Krisna terkekeh.
“Ya habisan. Cowok sekeren Abang gini masa ada yang nolak.”
Yang hanya dibalas Krisna dengan kekehan.
“Aku baru tahu kalau Steven ada di Jakarta. Seingatku terakhir dia praktek di Singapura. Pindah atau nanti pas udah nikah dia bakalan boyong istrinya ke Singapura?”
“Dia masih kerja di Leander Hospital Singapura kok, Bang. Cuma mungkin calonnya aja yang stay di Jakarta. Makanya sengaja ngadain pertemuan keluarganya di sini.”
“Om Aldy nggak ikut?”
“Kata Tante Soraya nggak bisa datang. Lagian ini cuma perkenalan doang kok, Bang. Belum acara resminya. Bang Steven pasti kaget lihat Abang pulang nanti. Beberapa hari yang lalu dia sempat nanyain Abang soalnya.”
Krisna manggut-manggut mendengar penuturan Disha. “Udah lama banget sih nggak ketemu sama dia.”
“Abang besok nugas?”
“Iya. Liburku masih lusa, Sha. Itupun aku pas di Bali.”
“Janji sama aku untuk pulang ke sini ya, Bang. Dua tahun sudah lebih dari cukup. Mama dan Papa pasti memaklumi kegagalan Abang waktu itu. Jadi aku berharap sanggup atau nggak sanggup, lari nggak akan menyembuhkan lukamu, Bang. Aku mau Abang menghadapinya.”
Krisna tersenyum getir mendengar perkataan Disha yang berhasil menamparnya dengan telak. Dua tahun yang lalu dia pernah gagal dan ditinggalkan. “Okay. Aku akan menghadapinya setelah ini.”
Disha tersenyum lega. “Good. Ini baru Abangku. Ya udah, Bang. Abang mandi, gih.” Disha bangkit dari duduknya. “Bentar lagi palingan Bang Steven datang. Dia bilangnya tadi mau jemput calonnya gitu. Aku juga mau siap-siap.”
“Hm-mm. Habis mandi aku langsung turun nanti.”
“Oke.”
Disha mengayunkan langkahnya meninggalkan kamar Krisna. Dia hampir saja menjangkau pintu saat langkahnya kembali terhenti, lalu Disha menoleh ke arah Krisna.
“Bang…”
Krisna mengerutkan keningnya. “Hm?”
“Aku senang karena akhirnya Abang mau pulang ke sini.” Sebelum kemudian Disha melangkah meninggalkan kamar Krisna detik itu juga.
Krisna hanya menggelengkan kepalanya, dia tahu jika Disha merindukannya dan paling tahu banyak alasan kenapa dia memilih untuk menghindar.
Memilih untuk tidak menghabiskan waktunya berlama-lama, Krisna lantas mengayunkan langkahnya menuju ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri.
Lima belas menit setelah melangsungkan ritual mandinya, Krisna keluar dengan tubuhnya yang hanya terlilit dengan handuk. Wajah dan rambutnya yang basah, tidak menghilangkan kadar ketampanannya meskipun rasa lelahnya tercetak jelas di wajah Krisna.
Pria itu duduk di tepi ranjang tidurnya dengan satu tangannya yang memegang ponsel. Ingin rasanya Krisna memaki dalam hatinya, pesan yang dikirimkan kepada Yura lagi-lagi diabaikannya.
“Lo sengaja apa gimana sih, Ra?” Krisna bergumam lirih, lalu menekan tombol hijau di layar sebelum kemudian melekatkan benda pipih itu ke telinganya.
“Hm?”
“Lagi apa? Kenapa W******p gue nggak dibalas, sih?”
Terdengar helaan napas di seberang sana. “Gue sibuk, Kris. Ada apa, sih?”
“Sibuk ngapain sampai-sampai buat balas W******p gue aja nggak sempat?”
“Gue lagi ditato, mana sempat gue ngebales W******p lo sementara gue nahan sakit di sini, hm?”
Krisna menaikkan satu alisnya ke atas. “Tato?”
“Iya!”
“Mau lihat dong, Ra.”
“Enak aja! Udah ah, Kris. Gue tutup, ya. Gue sibuk. Bye!”
Krisna terhenyak selama beberapa saat dengan tatapannya yang tertuju ke arah layar yang kini sudah gelap. Pria itu terkekeh pelan.
Rasa penasarannya akan perempuan itu yang kini menghindarinya, membuat Krisna terus bertanya-tanya. Pria itu menghela napas, lalu mencoba mengetikkan sebuah pesan di sana.
[Acara kantor lo yang di Bali di mana, sih?]
Sembari menunggu balasan dari pesan itu, Krisna lantas melangkah menuju lemari pakaiannya untuk mengambil baju ganti.
Dia meraih kemeja dari dalam lemari bersamaan dengan sebuah balasan muncul di layarnya.
[Di Six Sense Uluwatu, Baby. Lo mau ke sini?]
[Besok kan acaranya?]
[Iya.]
[Oke, thank you.]
Usai bertukar pesan dengan salah satu kenalannya, Krisna lantas mengenakan pakaiannya dan bergegas menuju ke ruang keluarga.
Begitu tiba di sana, orang yang ditunggu-tunggu belum datang. Mereka duduk bersantai di ruang keluarga, sembari berbincang kesibukan Krisna yang jarang pulang selama ini.
“Mbak Maura, feeling aku ya, Krisna ini udah punya pacar makanya jarang pulang.”
“Tante Rika bisa aja, sih?”
“Kenalin sama kita-kita dong, Mas. Masa pacarnya cuma diumpetin terus, sih?”
“Nanti aku kenalin ya, Frey.”
Sementara yang lainnya terlihat antusias mendengar cerita Krisna. Saat mereka sedang asyik mengobrol, kehadiran seseorang yang sejak tadi ditunggu-tunggu muncul dari balik pintu depan.
“Wah! Kayaknya bukan cuma gue aja yang datang bawa kejutan.” Steven berjalan menghampiri Krisna, kemudian berhambur memeluk pria itu. “Long time no see, My Brother.”
“Hai, Stev. Apa kabar lo?” balas Krisna tak kalah senangnya.
“Always good.”
“Steve, lho, kok sendirian? Calonnya mana?” tanya Soraya dengan cepat.
“Sabar dong, Ma.”
Pandangan Steven lantas tertuju ke arah pintu depan, seorang perempuan cantik dengan balutan dress selutut itu mengalihkan perhatian semua orang yang ada di sana, tanpa terkecuali Krisna.
“Ma, Tante, Kris, kenalin… dia calon istriku.”
Senyum di wajah Krisna seketika memudar, tergantikan dengan rasa sesak di dada begitu tatapannya bertemu dengan si pemilik manik teduh itu.
Rembulan Nawang Maninggar.
***
Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja