“Aku senang akhirnya kamu mau datang ke sini, Ra. Aku—”
“Aku mau datang ke sini karena Leon yang memaksaku. Andai saja bukan karena Leon, aku nggak mungkin ada di sini,” ujar Yura dengan sinis.
“Apa aku harus berterima kasih sama Leon karena udah mau membujuk kamu untuk datang ke sini?”
Yura memutar matanya sembari memalingkan wajahnya. Sama sekali tidak berminat untuk menanggapi ucapan Abhimana.
Bagaimana bisa Abhimana terlihat begitu tenang setelah apa yang selama ini terjadi dengan mereka? Lalu di mana Leon? Bahkan sahabatnya itu justru menghilang begitu saja disaat Yura tengah terjebak di dalam situasi memuakkan ini.
“Aku tahu kamu masih marah sama aku, Ra. Ada banyak hal mengecewakan yang telah aku lakukan terhadap kamu. Tapi, tidak bisakah kamu memberiku kesempatan sekali saja?”
Yura terhenyak selama beberapa saat. Dari sekian kalimat yang ingin didengarnya dari Abhimana, kalimat permohonan dari Abhimana itu adalah kalimat yang tidak ingin didengarnya.
“Kesempatan apa?” Sekuat tenaga Yura berusaha untuk tetap tenang.
“Aku tahu kamu masih menyimpan perasaan untukku. Jadi, aku mau kita—”
“Jadi Om mau memanfaatkan perasaan yang aku punya, begitu? Jangan terlalu percaya diri. Seandainya apa yang barusan Om katakan memang benar, itu urusanku. Jadi Om nggak perlu khawatir soal itu.”
“Aku serius, Ra. Aku mau kita memperbaiki segalanya.
“Nggak ada yang perlu diperbaiki di antara kita, Om.”
“Mau sampai kapan kamu menghindar, hm? Jangan kekanakan, Ra. Kita bisa—”
Yura mendecih dengan tatapan nyalang yang tertuju ke arah Abhimana. “Kekanakan Om bilang? Lalu siapa yang nggak kekanakan menurut Om? Raras?”
“Ra, aku dan Raras sudah selesai. Aku sudah nggak ada hubungan apa-apa sama dia.”
“Aku sudah memaafkan Om.” Yura menundukkan wajahnya, sebelum kemudian memberanikan diri untuk membalas tatapan Abhimana. “Tapi bukan berarti aku mau memberi Om kesempatan. Ya, Om benar, aku memang—”
“Hai, Sayang.” Suara seseorang yang berasal dari belakang sana, membuat tidak hanya Yura, tapi juga Abhimana kemudian menoleh ke arahnya. “Maaf, sudah bikin kamu nunggu lama. Mau pergi sekarang?”
“Kris? Lo—”
Kalimat Yura dibiarkan menggantung begitu saja, terlebih saat pria itu mulai menjulurkan tangannya ke arah Abhimana, lalu dia bersuara.
“Hai, Bhi. Long time no see. Apa kabar?”
“Baik. Kamu—”
“Kebetulan saya ada di Bali, dan tahu kalau Yura ada di sini. Makanya saya mau datang menjemputnya.” Lalu Krisna melingkarkan tangannya di pinggang Yura. “Bukan begitu, Sayang?”
Sementara Yura hanya tersenyum getir begitu mendengar perkataan Krisna. Ada banyak hal yang ingin ditanyakan perempuan itu, terutama sejak kapan Krisna ada di Bali? Dari mana dia tahu keberadaannya? Tapi itu bisa menunggu nanti.
“Hm-mm. Bisa kita pergi sekarang?” tanya Yura diiringi dengan senyuman terpaksanya.
Dalam hatinya Yura ingin memaki pria itu. Tapi sialnya Yura ingin sekali mengakui bahwa akting Krisna terlihat begitu sempurna.
“Sure. Bhi, saya bawa Yura dulu, ya?”
Tanpa menunggu Abhimana menjawab, Krisna sudah lebih dulu menggandeng tangan Yura dan mengajak perempuan itu pergi dari acara memuakkan itu.
“You're welcome!” bisik Krisna tepat di samping wajah Yura.
Begitu tiba di parkiran, Yura menarik tangannya dari genggaman Krisna. Perempuan itu melotot tajam ke arahnya dengan kedua tangannya yang bersedekap, seolah menunggu penjelasan dari pria itu.
“Dari mana lo tau gue di sini?” cecar Yura dengan tatapan penuh selidik.
“Nice tato, by the way.” Krisna menelengkan wajahnya, menatap sekilas tato bunga dandelion yang ada di punggung Yura.
“Kris, lo kenapa di sini? Lo nggak sekurangkerjaan itu sampai-sampai jadi penguntit, kan?”
“Bukannya lo seharusnya berterima kasih sama gue? Kalau tadi gue nggak datang disaat yang tepat, lo pasti udah nangis tersedu-sedu di hadapan Abhimana. Ya kan?”
“Bukan urusan lo!” ujar Yura sembari berpaling.
“At least, lo nggak akan terlihat semenyedihkan itu di depan Abhimana.”
Sialan!
“Jadi lo mau di sini terus atau mau ikut gue?” ujar Krisna sekali lagi.
“Emangnya lo mau bawa gue ke mana?”
“Ke tempat di mana lo bisa lupa sama cowok itu.”
“Awas aja lo niat macam-macam sama gue!” Perempuan itu lantas mengayunkan langkahnya menuju parkiran, tak lama setelahnya Krisna sudah memberhentikan sebuah taksi. Dan detik itu juga, keduanya meninggalkan tempat tersebut.
Taksi yang dikendarai mereka berbelok di salah satu beach club yang ada di kawasan Uluwatu, keduanya lantas turun begitu taksi itu berhenti tepat di depan lobi.
Mereka lantas melangkah melewati lobi, lalu seseorang menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
Keduanya melangkah menuju area bar. Tatapan Yura lantas mengedar ke sekitar, sedikit terpukau dengan pemandangan yang ada di sana. Bar itu tepat berada di tepi tebing Uluwatu dengan pemandangan sunset yang sempurna.
Deburan ombak terdengar menggaung di telinga ditambah dengan pemandangan cantik langit senja sore itu. Krisna lantas duduk di salah satu bar stool, lalu memanggil seorang bartender untuk menyiapkan minuman mereka.
“Lo tau dari mana kalau gue di Sixth Sense?” tanya Yura penasaran.
“Gue pasang gps tracker di badan lo,” jawab Krisna dengan entengnya. “Kenapa, sih? Kayaknya lo nggak suka banget gue di sini?”
Yura memutar matanya. “Udah tau pake nanya segala!”
“Wah, sekian lama nggak bareng sama lo, lo makin sadis aja, ya?”
“Kenapa? Lo nggak terima?” sungut Yura, bersamaan dengan segelas cocktail tersajikan di hadapannya. “But, thank you.” Perempuan itu lantas meneguk cocktail itu untuk membasahi kerongkongannya, “gue terlihat menyedihkan, bukan?”
“Sekarang gue jadi tahu alasannya kenapa lo menjauh dari gue,” ujar Krisna sembari meneguk ginger ale-nya. Tugas dan tanggung jawabnya esok hari membuat pria itu terpaksa menyingkirkan alkohol malam ini.
“Kenapa?”
“Karena lo belum bisa ngelupain dia.”
Yura tersenyum getir. Benarkah dia masih menyimpan perasaan terhadap Abhimana? Meskipun begitu, Yura juga tidak mengelak ucapan Krisna. Biar bagaimanapun Abhimana pernah hadir di hidup Yura dan telah menjadi cinta pertamanya.
“Lucu, kan? Disaat gue sudah berusaha dengan susah payah lepas dari perasaan itu, dia justru datang untuk meminta kesempatan lagi.”
“Lalu bagaimana sama lo sendiri?”
Yura mengedikkan bahu, tidak tahu harus menjawab pertanyaan Krisna. “Entahlah. Tapi gue cuma ngerasa dia terpaksa melakukannya, karena dia pernah melakukan kesalahan di masa lalu sama gue. Seandainya saja Raras tidak melakukan kesalahan waktu itu, bisa jadi momen ini nggak akan pernah ada.”
“Mending sama gue?” Sementara Yura berdecak sembari melotot ke arah Krisna. Lalu pria itu tergelak. “Salah gue apa, coba?”
“Gue nggak suka dinomorduakan, Captain. Kalau gue sama lo? Gue mungkin bakalan jadi nomor kesekian buat lo.”
“Gue single, by the way.”
“Tapi gue nggak percaya!”
“Come on, Ra.” Krisna menelengkan wajahnya. “Apa tampang gue kurang meyakinkan? Kalau lo nggak percaya, bagaimana kalau gue kenalin lo sama keluarga gue?”
Yura berdecak malas, lalu kembali menyesap cocktailnya. “Jangan bercandain cewek yang lagi patah hati, Kris.”
“Why?”
“Bisa-bisa gue baperan!”
“Malah bagus, kan? Gue jadi gampang prospek lo buat jadi calon istri gue.”
Alih-alih menjawab ucapan Krisna, Yura memilih untuk memutar kursinya agar bisa menghadap ke arah barat. Ditemani dengan segelas cocktail yang ada di tangannya dan juga matahari yang terbenam dengan sempurna, Yura merasa harinya tidak seburuk yang dia kira.
“Lo nggak minum?” tanya Yura saat menyadari jika sejak tadi Krisna hanya menikmati ginger ale di sana.
“Sebagai partner yang baik, gue di sini nggak mungkin ikutan mabuk. Khusus hari ini gue cuma pengen nemenin lo.”
“Ck! Gue bukan cewek-cewek yang bisa lo bohongin, ya. Besok lo nugas, kan?”
Krisna tergelak. “Wah, ketahuan!”
“Dasat tukang modus!”
Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Entah sudah berapa gelas minuman yang sudah diteguk Yura, sampai-sampai kesadaran perempuan itu mulai menipis.
“Kris?”
“Hm?”
“Apa menurut lo gue kurang menarik?” tanya Yura dengan suara lirih. Wajahnya kini terlihat seperti kepiting rebus, bahkan kesadarannya mulai terkikis.
“Kalau ada yang bilang begitu, itu artinya mereka buta.”
Dengan gerakan sempoyongan, Yura lantas turun dari bar stool. Dia berdiri di hadapan Krisna dengan posisi tubuhnya yang terkurung di antara kedua kaki pria itu.
“Then, let me kiss you.” Dan detik berikutnya, perempuan itu mulai mengikis jarak yang ada di antara mereka.
Krisna seketika membelalak. Dia tidak ingin mengambil kesempatan disaat Yura sedang kehilangan kesadarannya. Tapi yang dilakukan Krisna justru membiarkan Yura menggerakkan bibirnya. Membiarkan pria itu merasakan rasa pahit karena alkohol yang pekat dari bibir perempuan itu.
“Ra, lo udah minum banyak.”
Sebagian dari diri Krisna ingin menghentikannya. Tapi kepalanya justru berkata sebaliknya. Maka saat Yura menepis tangannya, lalu kembali menciumnya, Krisna memilih untuk pasrah.
Membiarkan bibir Yura memagut bibirnya dengan lembut, sementara Krisna memilih untuk diam. Tangan Yura lantas bergerak ke belakang tengkuk leher Krisna, lalu semakin memperdalam ciumannya.
Saat Krisna ingin menghentikannya sebelum segalanya benar-benar kacau, pria itu justru terkesiap saat dia merasakan tangan Yura bergerak ke bawah, menyentuh bagian paling keras di bawah sana.
“Ra…” desis Krisna parau.
Yura menarik diri sembari tersenyum tipis. “Lo bahkan sudah tegang hanya karena gue cium, Kris,” gumam perempuan itu lirih. “Well, how about my kiss? apa menurut lo gue membosankan?”
“Nggak, Ra. Lo—” Krisna tidak melanjutkan ucapannya, lantaran gerakan Yura yang mulai melucuti pakaiannya membuat pria itu membelalak. “Ra, lo mau ngapain!”
“Lepasin, Kris! Gue pengen lo ngecek apa yang nggak menarik dari gue!”
Krisna sudah kehilangan kata-kata, masih berusaha mencegah Yura melepaskan dress yang dikenakannya.
“Kris, lepasin gue!”
“Nggak di sini, Ra!”
“Terus di mana?” tanyanya, dan hal itu seketika membuat Krisna menggila.
“Nggak di sini!” Krisna lantas bangkit dari duduknya, usai mengangsurkan lembaran uang ke arah bartender, Krisna lantas menggandeng tangan Yura dan langsung meninggalkan tempat tersebut.
***
Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.
KRISNA tidak ingat bagaimana bisa mereka terjebak di tempat ini. Bagaimana ciuman yang semula terhenti, lalu dimulai lagi, dan kini berubah menjadi candu dan menggebu-gebu.“Apa gue kurang menarik?” Yura bergumam lirih, matanya terlihat sayu seiring dengan kesadarannya yang mulai menipis.“Lo mabuk, Ra.”Yura menggeleng cepat. “No, jawab gue, Kris. Apa gue kurang cantik?”Krisna menyelipkan anak rambut yang sempat menutupi wajah Yura. Bohong jika Krisna mengatakan bahwa Yura tidak cantik. “You look so damn beautiful.”“Really?”“Hm-mm. Lo cantik, Ra.”Seolah merasa dejavu, Krisna masih mengingat betul bagaimana kejadian ini pernah terjadi. Hanya tempatnya saja yang berbeda, tapi situasi ini hampir mirip dengan kejadian waktu itu.“Kiss me, please,” gumam Yura dengan sedikit memohon.“Lo mabuk, Ra. Lo tidur, ya?”Alih-alih mendengar perkataan Krisna, Yura justru semakin merapatkan tubuhnya dengan pria itu hingga kini keduanya tak lagi berjarak.“Lo bilang gue cantik, tapi lo nggak mau
YURA ingin sekali mengutuk dalam hatinya. Bagaimana bisa dia melakukan kesalahan sefatal ini, padahal jelas-jelas dampaknya tidak baik pada hati dan pikirannya?Perempuan itu lantas menarik selimutnya hingga sebatas dada. Langit masih terlihat gelap, matahari bahkan belum tampak dari balik tirai jendela. Tapi Yura sepagi ini sudah berteriak hingga membangunkan Krisna yang juga dalam kondisi sama-sama polos. “Astaga, Ra. Aku masih ada dua jam lagi buat tidur sebelum nanti terbang. Bisa nggak, sih, nggak usah pakai teriak segala?”Yura menggigit bibirnya dengan wajahnya yang tertunduk. “Kris…”“Hm?” sahut Krisna dengan wajahnya yang sedikit mengantuk.“Kita lupakan yang terjadi semalam, okay? Gue dalam keadaan mabuk dan anggap saja nggak pernah terjadi apa-apa di antara—”“Kalau aku nggak mau?”Yura termangu selama beberapa saat. Alih-alih menggunakan gue-lo sebagai sapaan seperti biasanya, Krisna sudah menggantinya dengan sebutan aku-kamu dalam percakapannya.“Kris, gue—”“Kamu menye
SEMINGGU telah berlalu semenjak kejadian di Bali saat itu, Yura tidak henti-hentinya memikirkan Krisna. Entah apa yang telah dilakukannya saat itu. Tapi bayang-bayang Krisna, bagaimana pria itu memujanya, menatapnya seolah dia menginginkannya, dan juga sentuhannya. Semuanya masih terekam jelas di benak Yura.“Wah, mulai nggak waras lo, Ra!” desis perempuan itu saat sekujur tubuhnya meremang karena memikirkannya.Mobil yang dikendarai perempuan itu berbelok melewati pagar, lalu Yura menurunkan kaca mobilnya untuk menyapa penjaga depan rumah tersebut, sebelum kembali melajukan mobilnya.Begitu mobilnya sudah terparkir dengan sempurna, Yura lantas turun dan langsung bergegas menuju teras rumah tersebut.Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu, bersamaan dengan pintu yang ada di hadapannya sudah lebih dulu dibuka, dan Bi Siti muncul dengan senyuman lebarnya.“Pagi, Bi Siti.”“Eh, Neng Yura. Apa kabar, Neng?” tanya Bi Siti dengan senyuman lebarnya.“Baik, Bi. Bibi apa kabar?”“Alhamdulil
“Mau, kan, nemenin aku ke acara keluarga?”Ada jeda sesaat sebelum akhirnya Yura memutuskan untuk menjawab. Di antara semua sikap yang pernah ditunjukkan Krisna, baru kali ini Yura melihat mata kelam Krisna memancar ke arahnya.Pria itu mendesah frustasi, wajahnya tertunduk seolah ada sesuatu yang tengah disembunyikannya, tapi tidak berhasil diungkapkan olehnya. “Aku pernah gagal bertunangan dengan seseorang. Semuanya sudah siap, tapi aku pernah mengacaukan segalanya dan membuat mereka kecewa,” aku Krisna. “Dan aku nggak mau bikin mereka kecewa untuk kedua kalinya, Ra.”“Lo nggak mungkin ngenalin gue sebagai cewek lo atau calon istri lo, kan?” tembak Yura tidak menyetujui ide Krisna.“Kalau itu bisa membantu, kenapa nggak?”Yura memutar matanya sembari berdecak. “Lo nggak mungkin bohong sama mereka kan, Kris? Bukannya mereka akan jauh lebih kecewa kalau lo bohong sama mereka?”“Kalau begitu nggak usah bohong sama mereka.”Sementara Yura hanya mendecak.“Niat awalnya kan memang pengen
“Ra, ada tamu di bawah, tuh.”Suara ketukan dari luar kamarnya, sejenak mengalihkan perhatian Yura yang sejak tadi sibuk menatap dirinya di depan layar kaca. Wulan—Mama Yura, tengah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangannya yang bersedekap.“Siapa, Ma?”“Nak Krisna.” Wulan lantas melangkah mendekati Yura, lalu duduk di tepian ranjang tidurnya dengan matanya yang tak lepas dari menatap putri semata wayangnya.“Biar aja nunggu sebentar, Ma. Aku bentar lagi selesai, kok.”“Mama udah lama banget nggak ketemu sama dia. Mama pikir… kamu udah nggak sama dia lagi.”“Aku sama Krisna memang cuma temenan doang, Ma. Mama ngarepin apa, sih?”Wulan tersenyum. “Apa kamu nggak pengen nikah juga, Ra? Mau sampai kapan kamu sendiri terus, hm? Bahkan Sasi udah punya anak, kan?”“Aku nggak sendiri, kok. Kan ada Mama di sini yang bakalan nemenin aku,” jawab Yura tanpa memalingkan wajahnya dari depan kaca.“Mama serius, Ra. Mama nggak tenang kalau kamu masih sendiri begini. Emang kamu nggak tertarik sa
Dengan diselimuti rasa gugupnya, Krisna mengayunkan langkahnya melewati pintu depan rumah itu. Tangannya yang kini tengah menggenggam tangan Yura, membawa perempuan itu masuk lebih dalam hingga langkah mereka terhenti tepat di samping taman.Samar sekali Krisna mendengar suara seseorang yang tengah berbicara di sana. Matanya lurus ke depan, sementara Yura yang kini berdiri di sampingnya, bisa merasakan genggaman tangan Krisna semakin erat.“Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh keluarga besar saya yang sudah menyiapkan acara pertunangan ini.” Sayup-sayup suara Steven terdengar. “Dan di hadapan semua orang yang ada di sini…”Jeda sesaat, tatapan Steven kini teralihkan pada sosok perempuan yang tengah berdiri di sampingnya. “Rembulan Nawang Maninggar, will you marry me?”“Terima! Terima! Terima!” Suara gemuruh semua orang membuat suasana berubah menjadi riuh. “Will you spend the rest of your life with me?”Lalu anggukan samar dari perempuan itu mengubah suasana yan
“Abang!”Suara panggilan seorang perempuan sontak membuat Krisna dan Yura menoleh bersamaan. Disha yang baru saja menyadari keberadaan mereka, lantas menghampirinya usai berbincang dengan beberapa kerabatnya.“Sha, kenalin, ini Yura.”Disha menerbitkan senyuman lebar. “Hai, Kak Yura. Aku Disha. Adiknya Abang yang paling cantik sedunia. Akhirnya, bisa kenal sama pacarnya Abang, ya.”Yura balas menjabat tangan Disha. “Aku Yura. Senang bisa ketemu sama kamu, Sha.”“Setelah sekian lama Abang nggak pulang-pulang, sekalinya dia pulang yang dibawa justru kabar bahagia.” Disha tiba-tiba berhambur memeluk Yura. “Makasih ya, Kak Yura.”Masih dalam kebingungannya, Yura memutuskan untuk menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya. Dia membalas pelukan Disha, yang anehnya, dia bisa merasakan betapa hangatnya keluarga Krisna.“Kak Yura udah makan?”“Belum, Sha.”“Bang, Kak Yura masa nggak diambilin makan, sih? Ambilin dong, Bang.”Krisna terkekeh. “Ya udah, yuk, kita ambil makannya barengan!”“Yuk, Ka
“Lo pasti udah gila, Ra!” Yura menjeduk-jedukkan kepalanya di atas meja. Menyadari kebodohan yang baru saja dilakukannya.Perempuan itu tidak yakin betul alasannya mengapa tiba-tiba dia mengajak Krisna menikah. Yang dia pikirkan adalah bagaimana caranya dia membantu Krisna untuk tidak terlihat menyedihkan di depan mantan kekasihnya. Tapi kenyataannya, dia justru terjebak dengan ucapannya sendiri.Segala penerimaan dan kebahagiaan yang memancar di tengah keluarga Krisna semalam menjadi satu-satunya alasan Yura. Terlepas dari tindakannya yang berhasil membuat hati Awan memanas, Yura menyukai bagaimana Maura dan Davin tertawa bahagia menyambut keberadaannya. Pun begitu dengan Disha, Freya, dan keluarga lainnya. “Ra, lo gila, ya!” Suara teguran Leon sontak membuat perempuan itu menoleh dengan wajahnya yang ditekuk. Leon baru saja keluar dari ruangan Wira setelah dipanggil oleh atasannya.Yura menegakkan posisi duduknya, lalu menggeser kursinya agar bergerak ke samping kubikel sahabatnya