Share

5. Penyelamat Hidup Yura

“Aku senang akhirnya kamu mau datang ke sini, Ra. Aku—”

“Aku mau datang ke sini karena Leon yang memaksaku. Andai saja bukan karena Leon, aku nggak mungkin ada di sini,” ujar Yura dengan sinis.

“Apa aku harus berterima kasih sama Leon karena udah mau membujuk kamu untuk datang ke sini?”

Yura memutar matanya sembari memalingkan wajahnya. Sama sekali tidak berminat untuk menanggapi ucapan Abhimana.

Bagaimana bisa Abhimana terlihat begitu tenang setelah apa yang selama ini terjadi dengan mereka? Lalu di mana Leon? Bahkan sahabatnya itu justru menghilang begitu saja disaat Yura tengah terjebak di dalam situasi memuakkan ini.

“Aku tahu kamu masih marah sama aku, Ra. Ada banyak hal mengecewakan yang telah aku lakukan terhadap kamu. Tapi, tidak bisakah kamu memberiku kesempatan sekali saja?”

Yura terhenyak selama beberapa saat. Dari sekian kalimat yang ingin didengarnya dari Abhimana, kalimat permohonan dari Abhimana itu adalah kalimat yang tidak ingin didengarnya.

“Kesempatan apa?” Sekuat tenaga Yura berusaha untuk tetap tenang. 

“Aku tahu kamu masih menyimpan perasaan untukku. Jadi, aku mau kita—”

“Jadi Om mau memanfaatkan perasaan yang aku punya, begitu? Jangan terlalu percaya diri. Seandainya apa yang barusan Om katakan memang benar, itu urusanku. Jadi Om nggak perlu khawatir soal itu.”

“Aku serius, Ra. Aku mau kita memperbaiki segalanya.

“Nggak ada yang perlu diperbaiki di antara kita, Om.”

“Mau sampai kapan kamu menghindar, hm? Jangan kekanakan, Ra. Kita bisa—”

Yura mendecih dengan tatapan nyalang yang tertuju ke arah Abhimana. “Kekanakan Om bilang? Lalu siapa yang nggak kekanakan menurut Om? Raras?”

“Ra, aku dan Raras sudah selesai. Aku sudah nggak ada hubungan apa-apa sama dia.”

“Aku sudah memaafkan Om.” Yura menundukkan wajahnya, sebelum kemudian memberanikan diri untuk membalas tatapan Abhimana. “Tapi bukan berarti aku mau memberi Om kesempatan. Ya, Om benar, aku memang—”

“Hai, Sayang.” Suara seseorang yang berasal dari belakang sana, membuat tidak hanya Yura, tapi juga Abhimana kemudian menoleh ke arahnya. “Maaf, sudah bikin kamu nunggu lama. Mau pergi sekarang?”

“Kris? Lo—”

Kalimat Yura dibiarkan menggantung begitu saja, terlebih saat pria itu mulai menjulurkan tangannya ke arah Abhimana, lalu dia bersuara. 

“Hai, Bhi. Long time no see. Apa kabar?”

“Baik. Kamu—”

“Kebetulan saya ada di Bali, dan tahu kalau Yura ada di sini. Makanya saya mau datang menjemputnya.” Lalu Krisna melingkarkan tangannya di pinggang Yura. “Bukan begitu, Sayang?”

Sementara Yura hanya tersenyum getir begitu mendengar perkataan Krisna. Ada banyak hal yang ingin ditanyakan perempuan itu, terutama sejak kapan Krisna ada di Bali? Dari mana dia tahu keberadaannya? Tapi itu bisa menunggu nanti. 

“Hm-mm. Bisa kita pergi sekarang?” tanya Yura diiringi dengan senyuman terpaksanya.

Dalam hatinya Yura ingin memaki pria itu. Tapi sialnya Yura ingin sekali mengakui bahwa akting Krisna terlihat begitu sempurna.

“Sure. Bhi, saya bawa Yura dulu, ya?”

Tanpa menunggu Abhimana menjawab, Krisna sudah lebih dulu menggandeng tangan Yura dan mengajak perempuan itu pergi dari acara memuakkan itu.

“You're welcome!” bisik Krisna tepat di samping wajah Yura.

Begitu tiba di parkiran, Yura menarik tangannya dari genggaman Krisna. Perempuan itu melotot tajam ke arahnya dengan kedua tangannya yang bersedekap, seolah menunggu penjelasan dari pria itu.

“Dari mana lo tau gue di sini?” cecar Yura dengan tatapan penuh selidik.

“Nice tato, by the way.” Krisna menelengkan wajahnya, menatap sekilas tato bunga dandelion yang ada di punggung Yura.

“Kris, lo kenapa di sini? Lo nggak sekurangkerjaan itu sampai-sampai jadi penguntit, kan?”

“Bukannya lo seharusnya berterima kasih sama gue? Kalau tadi gue nggak datang disaat yang tepat, lo pasti udah nangis tersedu-sedu di hadapan Abhimana. Ya kan?”

“Bukan urusan lo!” ujar Yura sembari berpaling.

“At least, lo nggak akan terlihat semenyedihkan itu di depan Abhimana.”

Sialan!

“Jadi lo mau di sini terus atau mau ikut gue?” ujar Krisna sekali lagi.

“Emangnya lo mau bawa gue ke mana?”

“Ke tempat di mana lo bisa lupa sama cowok itu.”

“Awas aja lo niat macam-macam sama gue!” Perempuan itu lantas mengayunkan langkahnya menuju parkiran, tak lama setelahnya Krisna sudah memberhentikan sebuah taksi. Dan detik itu juga, keduanya meninggalkan tempat tersebut.

Taksi yang dikendarai mereka berbelok di salah satu beach club yang ada di kawasan Uluwatu, keduanya lantas turun begitu taksi itu berhenti tepat di depan lobi.

Mereka lantas melangkah melewati lobi, lalu seseorang menyambut kedatangan mereka dengan ramah.

Keduanya melangkah menuju area bar. Tatapan Yura lantas mengedar ke sekitar, sedikit terpukau dengan pemandangan yang ada di sana. Bar itu tepat berada di tepi tebing Uluwatu dengan pemandangan sunset yang sempurna.

Deburan ombak terdengar menggaung di telinga ditambah dengan pemandangan cantik langit senja sore itu. Krisna lantas duduk di salah satu bar stool, lalu memanggil seorang bartender untuk menyiapkan minuman mereka.

“Lo tau dari mana kalau gue di Sixth Sense?” tanya Yura penasaran.

“Gue pasang gps tracker di badan lo,” jawab Krisna dengan entengnya. “Kenapa, sih? Kayaknya lo nggak suka banget gue di sini?”

Yura memutar matanya. “Udah tau pake nanya segala!”

“Wah, sekian lama nggak bareng sama lo, lo makin sadis aja, ya?”

“Kenapa? Lo nggak terima?” sungut Yura, bersamaan dengan segelas cocktail tersajikan di hadapannya. “But, thank you.” Perempuan itu lantas meneguk cocktail itu untuk membasahi kerongkongannya, “gue terlihat menyedihkan, bukan?”

“Sekarang gue jadi tahu alasannya kenapa lo menjauh dari gue,” ujar Krisna sembari meneguk ginger ale-nya. Tugas dan tanggung jawabnya esok hari membuat pria itu terpaksa menyingkirkan alkohol malam ini.

“Kenapa?”

“Karena lo belum bisa ngelupain dia.”

Yura tersenyum getir. Benarkah dia masih menyimpan perasaan terhadap Abhimana? Meskipun begitu, Yura juga tidak mengelak ucapan Krisna. Biar bagaimanapun Abhimana pernah hadir di hidup Yura dan telah menjadi cinta pertamanya.

“Lucu, kan? Disaat gue sudah berusaha dengan susah payah lepas dari perasaan itu, dia justru datang untuk meminta kesempatan lagi.”

“Lalu bagaimana sama lo sendiri?”

Yura mengedikkan bahu, tidak tahu harus menjawab pertanyaan Krisna. “Entahlah. Tapi gue cuma ngerasa dia terpaksa melakukannya, karena dia pernah melakukan kesalahan di masa lalu sama gue. Seandainya saja Raras tidak melakukan kesalahan waktu itu, bisa jadi momen ini nggak akan pernah ada.”

“Mending sama gue?” Sementara Yura berdecak sembari melotot ke arah Krisna. Lalu pria itu tergelak. “Salah gue apa, coba?”

“Gue nggak suka dinomorduakan, Captain. Kalau gue sama lo? Gue mungkin bakalan jadi nomor kesekian buat lo.”

“Gue single, by the way.”

“Tapi gue nggak percaya!”

“Come on, Ra.” Krisna menelengkan wajahnya. “Apa tampang gue kurang meyakinkan? Kalau lo nggak percaya, bagaimana kalau gue kenalin lo sama keluarga gue?”

Yura berdecak malas, lalu kembali menyesap cocktailnya. “Jangan bercandain cewek yang lagi patah hati, Kris.”

“Why?”

“Bisa-bisa gue baperan!”

“Malah bagus, kan? Gue jadi gampang prospek lo buat jadi calon istri gue.”

Alih-alih menjawab ucapan Krisna, Yura memilih untuk memutar kursinya agar bisa menghadap ke arah barat. Ditemani dengan segelas cocktail yang ada di tangannya dan juga matahari yang terbenam dengan sempurna, Yura merasa harinya tidak seburuk yang dia kira.

“Lo nggak minum?” tanya Yura saat menyadari jika sejak tadi Krisna hanya menikmati ginger ale di sana. 

“Sebagai partner yang baik, gue di sini nggak mungkin ikutan mabuk. Khusus hari ini gue cuma pengen nemenin lo.”

“Ck! Gue bukan cewek-cewek yang bisa lo bohongin, ya. Besok lo nugas, kan?”

Krisna tergelak. “Wah, ketahuan!”

“Dasat tukang modus!”

Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Entah sudah berapa gelas minuman yang sudah diteguk Yura, sampai-sampai kesadaran perempuan itu mulai menipis. 

“Kris?”

“Hm?”

“Apa menurut lo gue kurang menarik?” tanya Yura dengan suara lirih. Wajahnya kini terlihat seperti kepiting rebus, bahkan kesadarannya mulai terkikis.

“Kalau ada yang bilang begitu, itu artinya mereka buta.”

Dengan gerakan sempoyongan, Yura lantas turun dari bar stool. Dia berdiri di hadapan Krisna dengan posisi tubuhnya yang terkurung di antara kedua kaki pria itu.

“Then, let me kiss you.” Dan detik berikutnya, perempuan itu mulai mengikis jarak yang ada di antara mereka.

Krisna seketika membelalak. Dia tidak ingin mengambil kesempatan disaat Yura sedang kehilangan kesadarannya. Tapi yang dilakukan Krisna justru membiarkan Yura menggerakkan bibirnya. Membiarkan pria itu merasakan rasa pahit karena alkohol yang pekat dari bibir perempuan itu.

“Ra, lo udah minum banyak.”

Sebagian dari diri Krisna ingin menghentikannya. Tapi kepalanya justru berkata sebaliknya. Maka saat Yura menepis tangannya, lalu kembali menciumnya, Krisna memilih untuk pasrah.

Membiarkan bibir Yura memagut bibirnya dengan lembut, sementara Krisna memilih untuk diam. Tangan Yura lantas bergerak ke belakang tengkuk leher Krisna, lalu semakin memperdalam ciumannya.

Saat Krisna ingin menghentikannya sebelum segalanya benar-benar kacau, pria itu justru terkesiap saat dia merasakan tangan Yura bergerak ke bawah, menyentuh bagian paling keras di bawah sana.

“Ra…” desis Krisna parau.

Yura menarik diri sembari tersenyum tipis. “Lo bahkan sudah tegang hanya karena gue cium, Kris,” gumam perempuan itu lirih. “Well, how about my kiss? apa menurut lo gue membosankan?”

“Nggak, Ra. Lo—” Krisna tidak melanjutkan ucapannya, lantaran gerakan Yura yang mulai melucuti pakaiannya membuat pria itu membelalak. “Ra, lo mau ngapain!”

“Lepasin, Kris! Gue pengen lo ngecek apa yang nggak menarik dari gue!”

Krisna sudah kehilangan kata-kata, masih berusaha mencegah Yura melepaskan dress yang dikenakannya.

“Kris, lepasin gue!”

“Nggak di sini, Ra!”

“Terus di mana?” tanyanya, dan hal itu seketika membuat Krisna menggila.

“Nggak di sini!” Krisna lantas bangkit dari duduknya, usai mengangsurkan lembaran uang ke arah bartender, Krisna lantas menggandeng tangan Yura dan langsung meninggalkan tempat tersebut.

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.

Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rini Azahra Istri Mansur
asik ah...semenyenangkan itu memang
goodnovel comment avatar
prima
buaya darat vs cewek galau tapi galak... perpaduan yang unik.wkwkwkwk "jangan di sini, ra!" makany, jangan ajak yura mabok, kris ...
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status