“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“I want to break up.”“Kamu ngomong apa, sih?” tanya Krisna dengan ekspresi datar. “Bercanda kamu nggak lucu.”Awan menghela napas. “Aku nggak bercanda, Kris. Aku serius.”“Why?” desak Krisna, seolah tidak sabar untuk mendengar penjelasan dari kekasihnya.“Nothing. Aku cuma ngerasa selama ini menjalin hubungan sama kamu, hanya membuatku merasa takut setiap hari. Bukannya aku bahagia, tapi aku justru tersiksa karenanya.”Krisna memaksa kelopak matanya agar terbuka dengan cepat, napasnya terengah-engah. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya seiring dengan dadanya terasa sesak.Mimpi itu lagi. Padahal Krisna tahu dua tahun telah berlalu.Dengan susah payah Krisna mengubah posisinya menjadi duduk. Napasnya masih saja tak beraturan, bayang-bayang mantan kekasihnya lagi-lagi mengusik ketenangan hidupnya.Pria itu lantas meraup wajahnya dengan gusar. Lalu melirik jam yang ada di atas nakas. Penerbangan pertamanya menuju Jakarta masih dua jam lagi. Tapi entah mengapa Krisna merasa jika kep
“Lo bisa nggak sih, nggak usah bawel? Gue udah di bandara, El. Nggak akan ada drama ketinggalan pesawat lagi, kok!” ujar Yura berkilah.“Nggak ada salahnya gue ngingetin, kan? Terakhir kali liputan kemarin, gue kena amukan Wira kalau lo lupa!”Yura mendecak pelan. Jika diingat-ingat kejadian waktu itu, kesalahan memang ada pada Yura. Saat itu Yura memang tengah sibuk menekuri laptopnya dengan mengenakan earphone, sampai-sampai dia tidak mendengar suara operator bandara yang memberitahukan penerbangannya. Alhasil perempuan itu ketinggalan pesawat.“Bahas terooooos! Gue kan udah ganti rugi, El. Kenapa mesti dibahas lagi, sih!” Yura bersungut-sungut. Saat itu suasana hatinya memang sedang tidak baik.“Gue nanti malam mau kencan, Ra. Lo sendirian gue tinggal nggak apa-apa kan, ya?”“Emang biasanya juga gimana? Nanti gue coba cari cowok ganteng deh pas di sana.”Leon mendecak pelan. “Sok-sokan lo! Kayak udah move on aja dari si Om. Eh btw, Ra, kenapa lo nggak berangkat bareng sama Om lo aj
YURA masih terlihat limbung meskipun dia sangat yakin jika kesadarannya sudah mengumpul dengan sempurna. Perempuan itu baru saja mendarat sempurna di Bandara Ngurah Rai, Bali. Dia lantas menarik kopernya, saat bersamaan dengan ponselnya yang berdering.“Halo?”“Lama amat sih lo! Keburu garing gue nungguin di sini!”Yura mengerutkan keningnya. “Nungguin? Lo jemput gue?”“Ya menurut ngana aja? Siapa lagi kalau bukan gue yang jemput lo? Nggak mungkin si Om lo, kan?”“Berisik lo ah! Bukannya lo bilang sibuk? Gue barusan keluar dari pintu kedatangan, nih.” Yura celingukan untuk menemukan keberadaan Leon. “Lo di mana?”“Gue lagi ngadem di Despresso Coffee. Buruan susul ke sini!”“Gitu bilang garing nungguin! Gigi lo yang garing!”Leon tergelak di seberang sana. Lalu tanpa mengatakan apa-apa Yura mengakhiri panggilan tersebut.Cuaca Bali siang itu terasa terik padahal waktu masih menunjuk angka sepuluh pagi waktu Bali. Yura lantas mengayunkan langkahnya menuju salah satu kedai kopi yang ada
“Thanks, Joey. Cuma lo doang yang bisa ngertiin posisi gue. Gue nggak tahu mesti gimana lagi kalau nggak ada lo.”“Anytime, Kris. Salam buat nyokap sama bokap lo, ya?”Setelah berbincang dengan Joey, Krisna memutuskan untuk meninggalkan bandara dan bergegas pulang ke rumah.Taksi yang dikendarainya berhenti tepat di depan pekarangan rumah orang tuanya. Jantung Krisna mendadak berdebar kencang.Setelah mengulurkan beberapa lembar uang pada sopir taksi, Krisna lantas turun dari mobil tersebut, lalu melangkah melewati pagar depan rumah.Dua tahun setelah kepergiannya, dan selama itu pula Krisna tidak menjejakkan kakinya di rumah ini. Meskipun sesekali pria itu datang ke Jakarta, tapi rumah ini adalah rumah yang selalu dihindarinya. Senyum kecil terbit di wajah pria itu. Rupanya tak banyak yang berubah di sana.Seorang perempuan paruh baya yang tadinya sibuk di taman, mengalihkan pandangannya begitu Krisna melangkah mendekat. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Senyum ibunya ma
“Aku senang akhirnya kamu mau datang ke sini, Ra. Aku—”“Aku mau datang ke sini karena Leon yang memaksaku. Andai saja bukan karena Leon, aku nggak mungkin ada di sini,” ujar Yura dengan sinis.“Apa aku harus berterima kasih sama Leon karena udah mau membujuk kamu untuk datang ke sini?”Yura memutar matanya sembari memalingkan wajahnya. Sama sekali tidak berminat untuk menanggapi ucapan Abhimana.Bagaimana bisa Abhimana terlihat begitu tenang setelah apa yang selama ini terjadi dengan mereka? Lalu di mana Leon? Bahkan sahabatnya itu justru menghilang begitu saja disaat Yura tengah terjebak di dalam situasi memuakkan ini.“Aku tahu kamu masih marah sama aku, Ra. Ada banyak hal mengecewakan yang telah aku lakukan terhadap kamu. Tapi, tidak bisakah kamu memberiku kesempatan sekali saja?”Yura terhenyak selama beberapa saat. Dari sekian kalimat yang ingin didengarnya dari Abhimana, kalimat permohonan dari Abhimana itu adalah kalimat yang tidak ingin didengarnya.“Kesempatan apa?” Sekuat t
KRISNA tidak ingat bagaimana bisa mereka terjebak di tempat ini. Bagaimana ciuman yang semula terhenti, lalu dimulai lagi, dan kini berubah menjadi candu dan menggebu-gebu.“Apa gue kurang menarik?” Yura bergumam lirih, matanya terlihat sayu seiring dengan kesadarannya yang mulai menipis.“Lo mabuk, Ra.”Yura menggeleng cepat. “No, jawab gue, Kris. Apa gue kurang cantik?”Krisna menyelipkan anak rambut yang sempat menutupi wajah Yura. Bohong jika Krisna mengatakan bahwa Yura tidak cantik. “You look so damn beautiful.”“Really?”“Hm-mm. Lo cantik, Ra.”Seolah merasa dejavu, Krisna masih mengingat betul bagaimana kejadian ini pernah terjadi. Hanya tempatnya saja yang berbeda, tapi situasi ini hampir mirip dengan kejadian waktu itu.“Kiss me, please,” gumam Yura dengan sedikit memohon.“Lo mabuk, Ra. Lo tidur, ya?”Alih-alih mendengar perkataan Krisna, Yura justru semakin merapatkan tubuhnya dengan pria itu hingga kini keduanya tak lagi berjarak.“Lo bilang gue cantik, tapi lo nggak mau