Selama Briella sakit, Adrian merawatnya dengan baik meskipun tetap dengan sikapnya yang dingin dan seolah tidak peduli. Setiap pagi, dia memastikan Briella mendapatkan obatnya tepat waktu dan memantau keadaannya, meski dia selalu menjaga jarak emosional.
“Minumlah obat ini,” kata Adrian dengan suara datar sambil menyerahkan segelas air dan pil kepada Briella. “Kau harus cepat sembuh.”
Briella menatap Adrian dengan penuh rasa terima kasih, namun juga ada rasa kebingungan yang terlintas di matanya. “Adrian, tentang pembalasan yang kau sebutkan kemarin, bisakah kau jelaskan padaku?” tanyanya dengan suara lemah.
Adrian menatapnya sebentar, lalu memalingkan muka. “Kita bicarakan itu begitu kau pulih,” jawabnya singkat sebelum pergi dari kamar.
Setiap kali Briella mencoba membahas topik yang sama, Adrian selalu memberikan jawaban yang sama. “Nanti, setelah kau pulih,” katanya, kemudian meninggalkan ruangan dengan cepat.
Hari demi hari, keadaan Briella semakin membaik. Meski begitu, Adrian tetap menjaga jarak dan tak memberikan penjelasan lebih lanjut. Saat akhirnya Briella benar-benar sembuh, Adrian malah menghindar. Pria tampan itu mengumumkan bahwa dia harus melakukan perjalanan bisnis ke negara bagian lain selama beberapa minggu.
“Aku harus pergi untuk urusan bisnis,” kata Adrian dengan nada datar saat memberi tahu Briella tentang perjalanannya. “Kau istirahat saja di sini.”
Briella hanya bisa mengangguk, merasa kecewa karena Adrian belum menjelaskan tentang pembalasan yang dia sebutkan. Saat Adrian pergi, Briella merasakan kekosongan yang aneh, tapi dia berusaha tegar. Selama kepergian Adrian, Briella ditemani oleh Hunter, yang ternyata merupakan teman yang baik dan penuh perhatian.
Hunter sering mengajak Briella berjalan-jalan di sekitar taman mansion dan berbicara tentang banyak hal, berusaha mengalihkan pikirannya dari ketiadaan Adrian. “Kau tahu, Briella, kau adalah wanita yang aneh,” kata Hunter suatu hari saat mereka duduk di bangku taman.
“Aneh?”
“Kau tahu, sangat jarang ada putri bangsawan yang tidak manja.”
Hunter dan Briella berhenti dan duduk di taman mansion yang indah. Taman itu adalah salah satu tempat favorit Briella, dengan hamparan rumput hijau yang terawat, bunga-bunga berwarna-warni yang mekar, dan air mancur di tengah yang memberikan suara gemericik menenangkan. Mereka duduk di bangku yang menghadap ke arah kolam kecil, di mana beberapa ikan koi berenang dengan tenang. Hunter telah menyiapkan teh dan beberapa kudapan ringan di meja kecil di samping mereka.
“Apakah ini pujian?” Briella tersenyum lemah. “Terima kasih, Hunter. Aku dibesarkan dengan kesederhanaan meskipun orang tuaku cukup berkuasa. Sebenarnya, ayahku kecewa karena ibuku melahirkan anak perempuan. Ayahku sangat menginginkan anak laki-laki, karena itu, begitu adikku lahir, ayah sangat memanjakannya”
Mata Hunter terbeliak. “Wow, kau punya adik laki-laki? Kenapa aku tidak pernah melihatnya?”
“Dia meninggal saat usia 12 tahun. Dia meninggal ketika menyelamatkanku. Sejak adikku meninggal, ayahku semakin membenciku. Dia bahkan tidak sudi melihat wajahku. Ibuku membawaku tinggal di pavilion agar jauh dari jangkauan ayah. Aku terbiasa sendiri, terasingkan, dan bekerja keras.”
“Apa kau dipaksa bekerja keras juga oleh ayahmu?”
Briella menggeleng. “Tidak, orang tuaku tidak pernah memaksaku bekerja keras. Hanya saja, sejak ibuku meninggal dan ayahku masuk penjara karena bangkrut, aku tinggal bersama pamanku. Paman mengelola kebun anggur. Di sana, istri dan anak-anak pamanku tidak terlalu menyukaiku. Mereka menganggapku benalu karena aku merepotkan mereka. Sebagai balas budi pada keluarga pamanku, aku mengerjakan pekerjaan rumah, dan terkadang bekerja di kebun.”
Hunter bertepuk tangan. “Kau luar biasa, demi apa?”
“Itu bukan hal yang bisa aku banggakan, Hunter. Itu hanya masa lalu kelam, yang bagi sebagian orang dianggap aib. Kau tahu, menjadi miskin adalah dosa di kota ini.”
Setuju dengan perkataan Briella, Hunter mengangguk. “Ya, memang, tapi bagiku kau menakjubkan. Aku senang Adrian mendapatkan istri sepertimu.”
“Tapi sepertinya Adrian tidak senang memiliki aku sebagai istrinya.”
“Hey, ayolah, apa yang kau bicarakan. Aku bisa melihat Adrian sangat tergila-gila padamu.”
Briella merunduk, wajahnya mendadak muram. “Sepertinya aku melakukan sebuah kesalahan. Adrian sangat membenciku, dia bahkan menghindariku.”
“Kau merindukannya? Ya Tuhan, kau pasti sangat merindukannya sampai bicara melantur begini.” Hunter mencoba menghibur Briella. “Daripada terus bersedih, bagaimana kalau kita pergi liburan?”
Tiba-tiba, suara berat Adrian memecah suasana. “Siapa kau berani mengajak istriku pergi liburan?”
Briella menoleh, jantungnya berdetak cepat melihat kemunculan Adrian. Senang sekaligus tegang, dia merasa napasnya tersangkut di tenggorokan. Adrian berdiri dengan ekspresi tegas, tatapannya tajam tertuju pada Hunter.
“Adrian, aku hanya mencoba menghibur Briella,” jawab Hunter dengan tenang, meski ada sedikit ketegangan di suaranya.
“Dia istriku, dan aku yang bertanggung jawab untuk membuatnya bahagia,” balas Adrian dengan nada dingin.
Hunter mengangkat tangan sebagai tanda damai. “Baiklah, kau benar. Aku akan mundur kali ini.”
Adrian menatap Hunter sejenak sebelum beralih ke Briella. “Briella, ikut aku ke ruang kerja.”
Briella mengangguk patuh, berdiri dan mengikuti langkah Adrian. Mereka berjalan melalui koridor mansion yang panjang dan megah, dengan dinding-dinding yang dihiasi lukisan-lukisan klasik dan jendela-jendela besar yang menghadap ke taman. Setiba di ruang kerja, Adrian membuka pintu dan mempersilakan Briella masuk.
“Duduklah,” perintah Adrian dengan suara tenang tapi tegas.
Briella duduk di kursi di depan meja kerja Adrian, merasakan ketegangan yang kian memuncak. Adrian berdiri di depan mejanya, menatapnya dengan intens.
“Adrian, kenapa kau memanggilku ke sini? Apa ada yang kau butuhkan? Aku akan menyiapkannya segera.” tanya Briella, mencoba mengumpulkan keberanian.
Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Apakah kau siap menghadapi kenyataan?”
“Kenyataan apa maksudmu?”
“Bukankah kau ingin tahu apa yang kumaksud dengan pembalasan?”
Briella cepat-cepat mengangguk, meskipun hatinya berdebar kencang. “Aku siap, Adrian. Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?”
Adrian berjalan mendekat, tatapannya semakin tajam. “Ayahmu ... dia adalah orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa ayahku.”
Briella membeku di tempatnya mendengar itu. Air matanya mulai menggenang tanpa dia sadari, hatinya remuk mengetahui kenyataan pahit ini.
Adrian berjalan ke meja kerja, menarik laci untuk mengambil dokumen dalam map merah. Dia memberikan map itu ke Briella. “Aku telah menyelidiki dan mengumpulkan bukti. Lihatlah sendiri.”
Dengan tangan gemetar, Briella membuka map itu dan melihat dokumen-dokumen yang ada di dalamnya. Setiap lembar kertas yang dia baca membuat hatinya semakin hancur. Semua bukti menunjukkan bahwa ayahnya memang terlibat dalam kecelakaan yang merenggut nyawa ayah Adrian. Air matanya mengalir deras, merasakan rasa bersalah yang tak tertahankan.
“Adrian, aku … aku tidak tahu,” isak Briella. “Aku tidak tahu ayahku melakukan ini. Aku sangat menyesal. Maaf, Adrian.”
Adrian memandangnya dengan tatapan yang masih penuh kebencian, tapi ada juga kilatan rasa sakit di matanya. “Tentu saja kau tidak tahu, tapi sekarang kau tahu. Sekarang kau tahu kenapa bisa aku menikahimu. Pernikahan ini murni untuk membalas dendam.”
Briella menangis semakin keras. “Kau pasti sangat terluka dan tersiksa menanggung semua ini sendiri. Kau bahkan tidak membagi rahasia itu ke ibumu atau saudaramu.”
Adrian menundukkan kepala, lalu berbicara dengan suara yang lebih lembut, tapi masih penuh amarah. “Briella, aku menikahimu untuk membalas dendam. Jadi bersiaplah menerima pembalasanku. Aku ingin kau merasakan sakit yang kurasakan. Tapi …” Suaranya melemah, hampir berbisik, “Setiap kali aku ingin melukaimu, ada sesuatu dalam diriku yang menahanku.”
Briella menatap Adrian dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. “Adrian, aku tidak akan lari. Aku akan menerima apa pun hukuman yang kau berikan, karena keluargaku telah membuatmu menderita, tapi satu hal yang ingin aku katakan padamu, Adrian. Aku merasa aku tetap harus berterima kasih padamu karena kau telah menikahiku, terlepas dari semua kebencian dan dendam ini. Kau telah membawaku keluar dari rumah pamanku, aku akan berusaha menjadi istri yang baik, bagaimanapun caranya.”
Adrian menutup matanya sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. “Kau lebih baik memikirkan cara agar bisa kabur dari mansion ini. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa menahan diri.”
Kata-katanya membuat Briella semakin terkejut. “Apa maksudmu?”
Satu tahun kemudian …Sesampainya di rumah sakit, Adrian merasakan detak jantungnya semakin cepat. Langkah-langkahnya yang biasanya mantap kini terasa berat, seolah-olah setiap langkah membawa beban kekhawatiran yang tak terukur.Ruang bersalin berada di ujung koridor, tapi jarak yang harus ditempuhnya terasa seperti berpuluh-puluh mil. Cahaya lampu yang seharusnya menenangkan justru tampak suram di matanya. Dia tak bisa berpikir jernih—yang ada hanya ketakutan akan apa yang mungkin terjadi di balik pintu ruang bersalin itu.Saat akhirnya Adrian tiba di depan pintu, dia menemukan Rosalie sedang duduk di kursi tunggu. Wajah wanita paruh baya itu tampak pucat meski dia berusaha menyembunyikan kecemasannya. Rosalie yang melihat Adrian mendekat, dia berdiri dan mencoba tersenyum, tapi kegelisahan tetap terpancar di matanya.“Bagaimana keadaannya?” tanya Adrian dengan nada cemas, suaranya bergetar meski dia berusaha terdengar tegar.Rosalie mendekatinya, menyentuh lengannya dengan lembut.
Senyum seringai Adrian terbentang begitu saja setelah mendengar ucapan istrinya. Dia menarik Briella mendekat, tangan Adrian yang kuat meluncur ke bawah punggungnya. Mencengkeram bokong Briella yang membulat.Tanpa keraguan Adrian menekan batangnya yang keras ke arah kewanitaan si istri. Briella tersentak senang saat Adrian menggesek miliknya. Pria tampan itu menangkup pipi Briella, menghadiahkan ciuman lapar sehingga bibir mereka terkunci dalam ciuman yang penuh nafsu.Briella melepaskan ciuman itu, terengah-engah. “Adrian,” bisiknya, matanya berkilauan karena hasrat. “Kumohon segeralah masuk. Aku membutuhkanmu.”“Aku juga membutuhkanmu, Sayang,” jawab Adrian serak.Ciuman penuh gairah mereka semakin dalam, dan tangan mereka menjelajahi tubuh masing-masing. Membelai setiap inci. Adrian menangkup payudara penuh Briella, menggoda putingnya yang mengeras dengan ibu jari.Briella mengerang, melengkungkan punggung ke arah Adrian. Dia mengusap dada suaminya, turun ke perut Adrian yang liat
Briella tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca. “Jangan khawatir, ini air mata bahagia. Kau ... kau sering kali kasar, terburu-buru. Tapi sekarang, setiap sentuhanmu penuh cinta, penuh perhatian. Kau benar-benar telah berubah, Adrian.”Ini bukan pertama kali bagi Briella disentuh Adrian sejak mereka kembali bersatu. Sentuhan Adrian sekarang penuh dengan kelembutan dan penuh cinta. Berbeda dengan dulu yang penuh nafsu seakan dirinya adalah budak seks.Mata Adrian melembut, dia menarik Briella lebih dekat, mengecup dahinya dengan lembut. “Aku menyesali banyak hal, Briella. Dulu aku terlalu dibutakan oleh amarah dan dendam, tapi sekarang aku hanya ingin kau merasakan betapa aku mencintaimu, betapa berartinya dirimu bagiku. Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi.”Kata-kata Adrian yang tulus itu menusuk hati Briella, membuatnya tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Ini adalah air mata kebahagiaan, air mata yang berasal dari perasaan mendalam bahwa cinta sejati mereka
Malam itu, suasana ruang makan terasa tegang. Adrian duduk di ujung meja, tatapannya kosong dan mulutnya terkunci rapat. Briella yang duduk di sebelahnya mencoba tersenyum, tapi ketegangan Adrian begitu nyata hingga seluruh ruangan terasa sunyi. Hunter, yang duduk di seberang meja, langsung membaca situasi.“Nandy, bagaimana kalau sabtu besok kita pergi ke peternakan?” Hunter menawarkan dengan nada riang, mencoba mencairkan suasana. “Paman akan mengajarimu cara berkuda, dan kita bisa memerah susu sapi langsung dari sapinya. Bagaimana?”Mata Fernandez langsung bersinar mendengar tawaran Hunter. “Benarkah, Paman? Aku mau! Aku mau!” serunya dengan antusias, tapi dia segera menoleh pada Briella. “Tapi Mommy ikut juga, kan?”Hunter terkekeh pelan, lalu menggelengkan kepalanya. “Kali ini hanya kita, sesama pria yang pergi, Nandy. Mommy akan menunggu di sini.”Fernandez mengerutkan kening, tampak tidak puas dengan jawaban itu. “Tapi aku mau Mommy ikut bersama kita, Paman.”Adrian tampak sema
“Mommy, aku suka sup ini. Rasanya creamy.” Fernandez tampak senang dengan kehadiran kembali ibunya. Bocah itu selalu menempel pada Briella, dan bersikap manja. Sejak pulang sekolah, dia meminta Briella menyuapinya, padahal anak itu sebelumnya terbiasa mandiri dan makan sendiri.“Apa kau mau tambah lagi supnya, Nandy?” tanya Briella lembut, seraya menatap putranya dengan penuh kasih sayang.“Tidak, Mommy. Aku sudah kenyang. Apakah Mommy bersedia membantuku mengerjakan pekerjaan rumahku?” pinta Fernadez.Briella mengangguk dan tersenyum. “Tentu, Sayang.”Malam ini, sikap manja Fernandez tidak juga berakhir. Sehabis makan malam, dia meminta Briella membantunya mengenakan piama. Di kamar mereka yang luas dan nyaman, Adrian duduk di tepi tempat tidur, menatap Briella yang sedang membantu Fernandez mengenakan piyama. Briella tersenyum lembut, matanya penuh kasih sayang saat putra kecil mereka, duduk di pangkuannya, sudah siap untuk tidur.“Nandy, ayo tidur, Sayang.”“Mommy mau ke mana?”“Mo
Adrian dan Briella tersenyum hangat melihat Fernandez berlari-lari di tamn, bersama dengan pengasuh. Pasangan itu duduk di kursi taman bersama dengan Rosalie dan Hunter. Tampak semua orang bahagia melihat Fernadez yang bermain dengan riang penuh kegembiraan.“Aku sudah lama sekali tidak melihat Fernandez sebahagia ini,” ungkap Hunter jujur.Menghilangnya Briella, selalu membuat Fernandez menjadi muram. Tidak jarang Fernandez menangis setiap kali merindukan Briella. Tiga tahun Briella menghilang, bukan waktu yang sebentar. Bukan hanya Fernandez yang murung sejak Briella menghilang, tapi Adrian, Hunter, dan juga Rosalie sangat terpukul. Apalagi yang mereka tahu adalah Briella dibunuh Felix dengan kejam. Hal tersebut menjadi pukulan berat di keluarga Maven.“Aku akan pastikan Nandy terus merasa bahagia, Hunter. Aku akan selalu di sisi putraku,” ucap Briella tulus, dan penuh kehangatan.Adrian membelai rambut Briella. “Ya, Sayang. Nandy akan selalu merasa bahagia. Kau sudah kembali. Kebah
Hunter memanfaatkan jaringannya di kepolisian untuk mengusut tuntas masalah penculikan ini. Saat tahu anak wali kota diculik, polisi segera bergerak cepat menyelidiki. Semua bukti sudah jelas, anak buah Felix Jorell adalah dalang di balik penculikan anak wali kota Vienna.Hunter, yang duduk di seberang meja, tersenyum puas. “Polisi sudah melaporkan pada walikota kalau anaknya diculik,” katanya sambil menyandarkan punggung ke kursi dengan riang, menunggu kabar selanjutnya.Adrian mengangguk. “Seorang wali kota tentu saja tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja. Felix sudah membuat langkah terburuk dalam hidupnya.”Hunter tertawa kecil, membayangkan akibat dari kekonyolan anak buah Felix. “Dia pikir dia bisa mengancam kita dengan menculik Fernandez, tapi lihat apa yang terjadi. Felix pasti sedang menggigit jarinya di penjara saat ini.”Hanya dalam waktu beberapa jam setelah polisi melaporkan penculikan putra sang walikota, dampaknya langsung terasa. Seorang wali kota tentu memilik
Briella duduk di ruang tamu yang megah, menikmati aroma manis pie apel yang baru saja dipotong. Ini adalah momen yang sangat langka dan berharga baginya. Setelah tiga tahun diculik dan ditawan oleh Felix, akhirnya dia bisa merasakan kebebasan. Dia kini dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya, Adrian, Fernandez, Hunter dan Rosalie.“Pie ini benar-benar enak, Mom. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku bisa duduk santai seperti ini, bersama keluarga,” ucap Briella sambil tersenyum, mengambil potongan pie apel kedua.Rosalie, yang duduk di seberang meja, tersenyum hangat. “Kau pantas mendapatkan kebahagiaan ini, Briella. Setelah semua yang kau lalui, aku harap hidupmu akan terus dipenuhi cinta dan kedamaian,” balasnya sambil menyesap teh dari cangkir porselen.Briella mengangguk pelan, menikmati setiap kata Rosalie. “Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan kalau bukan karena kalian semua. Tiga tahun bersama Felix … itu seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.”“Kami semua
Ruangan interogasi terasa pengap dengan cahaya lampu terang yang menyilaukan langsung ke wajah Felix Jorell. Dua orang polisi duduk di depannya, satu dengan ekspresi datar, sementara yang lain mencatat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Di sudut ruangan, alat pendeteksi kebohongan dengan sensor-sensornya terpasang di tubuh Felix, mengukur detak jantung dan tekanan darah setiap kali dia berbicara.“Kapan tepatnya Anda mengenal Briella Maven?” Polisi pertama mulai membuka percakapan dengan suara rendah namun tegas.Felix menghela napas panjang seolah sedang mengingat. “Aku pertama kali bertemu dia di acara jumpa fans film Blind Devotion. Dia sangat ramah, manis, dan kami mulai sering bertukar pesan setelah itu.”Polisi pertama itu menatap Felix tanpa berkedip. “Dan apa yang terjadi setelah itu?”Felix tersenyum tipis, matanya tampak mencoba meyakinkan. “Aku sering mengirimkan hadiah padanya. Bunga, cokelat, bahkan perhiasan yang mahal. Aku sering mengajak keluar ke restoran. Briella