Share

Kasus yang Sama

“Besok kamu masuk kerja? Kamu masih bakal kerja?“ Arin menatap ke arah Naya.

“Enggak apa-apa. Barang kali Naya juga nanti bingung mau ngapain kalau enggak kerja,” jawab Ghiyas mewakili Naya.

Naya menatap ke arah Ghiyas yang mengambilkan makanan ke piringnya. Ghiyas sangat perhatian, dia juga membantunya untuk beradaptasi untuk menghadapi sosok kakaknya itu.

“Kerja boleh, asal jangan lupa kewajiban di rumah.” Arin menatap Naya yang banyak diam.

Naya hanya menganggukkan kepalanya sambil melahap makanannya. Rasa makanannya membuatnya ingin menambah, namun rasanya malu jika di depan kakak iparnya.

“Mau nambah, Nay?” tanya Ghiyas saat melihat piring Naya hampir habis.

“Nambah, dong! Biar jadi nutrisi buat calon bayinya juga,” ucap Arin sambil mengambilkan nasi dan lauk lagi ke piring Naya.

Naya langsung tersedak, untungnya dia tidak menyemburkan apa yang ada di mulutnya dan sempat menahannya dengan telapak tangannya. Naya terbatuk karenanya dan membuat Ghiyas segera menuangkan air ke gelas Naya dan memberikannya pada istrinya itu.

“Ah, pengantin baru. Ngomongin soal bayi bukan hal yang aneh lagi nantinya. Termasuk cara bikinnya. Di usia Agi, temen-temennya sudah pada punya anak. Cuman dia yang belum.”

“Kak, jangan terlalu vulgar!” Ghiyas terkekeh karena melihat ekspresi wajahnya Naya di sana.

Arin langsung menatap ke arah Naya yang tampak merona. Itu membuatnya terkekeh menggoda pengantin baru tersebut. Dan Naya sendiri melanjutkan makannya dengan canggung.

Setelah kakaknya Ghiyas pulang, Naya duduk di sofa sambil memakan jeruk yang dibawakan kakaknya Ghiyas juga. Sambil menonton televisi, Naya menikmati masa liburnya.

Ghiyas menghampirinya dan kemudian berbaring di sofa, memanfaatkan paha Naya sebagai bantalnya di sana dan membuat Naya tersentak kecil lantaran paha adalah bagian sensitifnya.

“Geli!” pekik Naya seraya memegangi kepalanya Ghiyas agar tak menyentuh pahanya.

“Mau baringan,” gumam Ghiyas manja seraya menatapi Naya dari bawah.

“Jangan banyak gerak tapi. Banyak gerak Naya enggak akan segan lempar kepala Mas, loh!” ancam Naya seraya mencoba rileks di sana.

“Iya, enggak.” Ghiyas tertawa kecil dan membuka mulutnya agar disuapi jeruk oleh istrinya itu.

Dan Naya menurutinya. Dia menyuapi Ghiyas jeruk. Ghiyas berbaring di pahanya Naya dengan nyaman di sana. Dan Ghiyas melirik acara televisi yang Naya tonton.

“Kamu nonton drama? Ceritanya tentang apa?” tanya Ghiyas.

“Dokter sama tentara. Ah, dokternya enggak mau pacaran sama tentara cuman karena pekerjaannya si tentara. Padahal tentara keren banget. Sayang banget,” ucap Naya agak dramatis.

“Enggak mau pacaran karena pekerjaannya si tentara? Kenapa?” tanya Ghiyas lagi, dia tertarik.

“Karena dia tentara, pekerjaan berbahaya. Dia pasukan khusus PBB. Dan si tentara juga akhirnya memilih fokus sama kariernya ketimbang si dokter. Dan mereka hilang kontak.”

Naya menceritakannya dengan lesu. Kelihatannya dia terbawa suasana karena tontonannya.

“Itu bagus. Jadi tentara juga enggak mudah pasti, dan masa dia harus keluar dari pekerjaannya hanya karena untuk seorang wanita?” Ghiyas mengemukakan pendapatnya.

“Kan?” Naya menatap ke arah Ghiyas yang ternyata bisa diajak diskusi dengan baik.

Naya jadi terpikir tentang masalahnya sendiri yang kurang lebih sama. Benar apa kata Ghiyas. Bukan hal mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Dan merelakan pekerjaan karena pasangan itu bukan suatu pilihan. Itu membuat Naya semakin kuat akan keputusannya sekarang.

“Mas Agi kalau ada di posisi tentara itu juga bakal melakukan hal yang sama?” tanya Naya.

“Iya, tentunya. Tapi, kalau kamu bertanya dengan maksud itu antara kita, kamu dan Mas, itu hal yang berbeda. Mas bekerja untuk kamu, loh. Bukannya enggak mau memilih kamu, tapi Mas enggak bisa menghidupi kamu kalau enggak bekerja.”

Naya lantas tertawa. Memang, kasus mereka memiliki kondisi yang hampir sama namun berbeda.

“Naya enggak kayak dokter di drama itu, kok. Punya suami dokter itu luar biasa. Mas hebat,” puji Naya sambil mengangkat jempolnya dan menyipitkan matanya.

Ghiyas langsung mendudukkan dirinya dan menatapi Naya dari jarak dekat. Itu membuat Naya mengangkat alisnya kala Ghiyas tiba-tiba mendekatinya lagi seperti itu.

“Mas sehebat itu di mata kamu?” tanya Ghiyas seraya menopang kepalanya dengan percaya diri.

Naya terdiam sejenak, dan kemudian menganggukkan kepalanya dengan polosnya. Itu membuat Ghiyas langsung menyambar tubuh Naya, menggendongnya dan mengangkatnya dari sana.

“Loh?!” pekik Naya seraya berpegangan erat pada suaminya karena takut jatuh.

“Dokter ini butuh sesuatu yang bisa meningkatkan hormon bahagia dan menjadi lebih hebat lagi.”

***

Naya keluar dari mobil dengan perasaan waswas. Begitu pula Ghiyas yang mengantarkannya sampai ke lobi. Itu membuat Naya takut dilihat rekan kantornya, dan kantor akan segera mencurigainya.

“Sana pulang! Istirahat sana! Bukannya nanti dapat shift malam lagi?” Naya menatapnya gelisah.

“Iya, ini mau pulang. Habis lihat kamu masuk tapi.” Ghiyas tersenyum seraya mendekati Naya.

Ghiyas mengusap kepalanya Naya. Dan mendekatkan dirinya. Dia mengecup kepalanya Naya dengan lembut dan halus sambil menghirup aroma manis dari rambutnya Naya. Naya di sana tampak kaku.

“Kenapa Mas kayak gitu di tempat umum? Kali ini enggak apa-apa. Ke depannya, jangan! Naya enggak suka kalau di tempat umum,” ucap Naya pelan dengan wajahnya yang terlihat marah.

Ghiyas menatapi Naya sambil memasukkan tangannya ke saku. Dia memperhatikan wajahnya Naya. Naya terlihat marah, apa mencium kepalanya di tempat umum seperti itu membuatnya marah?

“Kamu marah?” tanya Ghiyas agak khawatir.

“Enggak. Pulang!” Naya menatapi Ghiyas dengan raut wajahnya tang tampak marah.

“Maaf, kalau memang kamu enggak suka perlakuan kayak tadi di tempat umum. Mas enggak akan mengulanginya. Senyum dulu, dong! Wajah kamu kaku banget perasaan,” ucap Ghiyas masih berusaha menggodanya.

“Pulang!” Naya menatap Ghiyas tajam sambil menunjuk ke arah mobilnya.

“Kamu kenapa, sih?” Ghiyas mengernyitkan dahinya heran dengan perubahan sikapnya Naya.

Naya tak menjawab dan hanya menatap ke bawah. Dirinya sungguh tak nyaman dengan ini.

“Masuklah! Mas mau lihat kamu masuk ke dalam,” ucap Ghiyas lagi sambil menghela nafasnya.

“Naya mau lihat Mas pulang.” Naya agak menekan kalimatnya meski dengan suara yang pelan.

“Okay. Mungkin sebentar lagi kamu datang bulan. Kamu jadi agak pemarah.” Ghiyas lantas mengikuti keinginan Naya untuk membuatnya tak semakin marah.

Ghiyas lantas memasuki mobilnya sambil memijat keningnya. Dia bingung, kenapa sikap Naya berubah drastis antara di rumah atau di luar. Ghiyas menatap Naya yang masih berdiri di sana. Lantas, dia segera pergi, barang kali memang itu yang Naya inginkan.

Naya menatapi mobilnya Ghiyas dan menghela nafasnya.

“Lo pacaran?”

Suara cempreng dan genit itu membuat Naya menoleh pada pemiliknya.

“Ganteng juga, boleh kenalin?” ucapnya manis.

Naya meliriknya dengan tatapan tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status